Hari raya Idul Fitri merupakan puncak dari kehangatan spiritual setelah melaksanakan Ibadah puasa selama satu bulan pada bulan Ramadhan. Secara literal “id” memiliki makna “kembali”, dan “fitri” diartikan sebagai “buka puasa dan makan”. Sebab pada hari ini, dilarang melaksanakan puasa dan dianjurkan berbuka puasa dan makan (festival of fast-breaking). Karena itu, dalam tradisi di Indonesia, Idul Fitri atau juga disebut hari lebaran ini diekspresikan dengan membuat ketupat, rendang dan berbagai kuliner khas yang ada di tanah air.
Di hari ini pula, dari keluarga ke keluarga, dari rumah ke rumah, dan dari suatu lingkungan masyarakat yang luas, kita saling berkunjung, bersilaturrahim, saling memaafkan serta mendoakan diantara sesama diiringi dengan kehangatan jabat tangan dalam senyum tulus penuh persaudaraan. Minal Aidzin Wal Faidzin, Takabbalallahu Minna Wamingkum (mohon maaf lahir dan batin, Semoga Allah menerima amal kami dan kalian) demikian tutur maaf dan bait doa yang terucap di hari yang istimewa ini.
Aura kekeluargaan dan persaudaraan yang tulus nampak terasa dan menggema di hari yang istimewa ini. Ada yang mengatakan, hari lebaran adalah hari kemenangan, hari pengampunan dosa. Sebuah kredo yang acapkali terdengar di mimbar-mimbar khutbah. Kemenangan untuk siapa dan penghapusan dosa untuk siapa? Tak mudah untuk menjawab ini.
Yang jelas tidak untuk mereka yang mengumbar dengki dan kebencian, tidak untuk mereka yang menyembah hawa nafsunya ingin menghancurkan manusia lain, tidak untuk mereka yang melakukan kekerasan dan diskriminasi karena perbedaan suku, budaya, ras, maupun agama, tidak untuk mereka yang korupsi dan menghisap darah rakyat, tidak untuk mereka yang pandai menjual ayat-ayat Tuhan untuk kepentingan politik pribadi dan kelompok, dan ringkasnya, tidak untuk mereka yang masih merawat nafsu animal yang serakah.
Dalam terminologi Alquran, puncak kemenangan itu adalah milik orang-orang yang bertakwa. Yakni orang-orang yang mencintai Tuhan, mencintai dirinya, mencintai kemanusiaan dan mencintai tanah airnya dengan tulus dan sepenuh hati serta menebar rahmat bagi seluruh manusia dan alam.
Orang-orang yang mencapai ketakwaan adalah mereka yang berpegang kepada diktum Alquran yang mengatakan bahwa: manusia merupakan umat yang tunggal (Qs 2: 213). Oleh karenanya, tugas manusia bukan untuk saling menjarah, saling menghancurkan, saling berpongah. Justru sebaliknya, manusia yang mencapai kemenangan adalah mereka yang saling menghargai, saling memberi dan menerima dengan landasan toleransi yang kokoh.
Setelah perayaan Idul Fitri tahun 2018 ini, bangsa Indonesia akan menghadapi tahun yang signifikan dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Yaitu pemilihan kepala daerah yang akan diadakan secara serentak pada hampir seratus tujuh puluh satu (171) daerah di Indonesia dengan rincian 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten dan puncaknya nanti adalah Pileg dan Pilpres 2019. Tentu suasana politik ini sangat rentan dengan terbelahnya atau terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karenanya, umat Islam Indonesia yang disebut sebagai The Biggest Muslim In The World berkewajiban sepenuhnya untuk menjaga, merawat dan memastikan Indonesia tetap utuh, terjaga dari disintegrasi dan sekaligus dapat membangun demokrasi yang berkualitas. Dengan kata lain, “pilihan politik boleh berbeda, persaudaraan kebangsaan tetap terjaga”.
Idul Fitri 1439 H tahun ini dengan puasa Ramadhan yang purna dilaksanakan, diharapkan dapat menjadi perekat dan semakin meneguhkan persaudaraan keindonesiaan kita. Dalam konteks kebangsaan, Idul Fitri bermakna untuk meneguhkan persatuan nasional, idul fitri untuk meneguhkan jiwa keindonesiaan, keislaman dan kemanusiaan sekaligus, idul fitri untuk merekatkan persaudaraan dan kasih sayang dalam perbedaan, idul fitri juga untuk menebar keadilan sejati. Demikian pesan-pesan yang dapat digalih dari tradisi mudik, ketupat, silaturrahim, kewajiban zakat dan lain-lainnya. Wallahu’alam