Graham E. Fuller, mantan Wakil Ketua National Intelligence Council, mantan ilmuwan politik senior RAND yang kini seorang guru besar sejarah di Simon Fraser University Kanada mencatat (2014; 236), Islam di Eropa lahir dari proses imigrasi besar-besaran yang terjadi pada tahun 1960. Dipicu kebutuhan Eropa akan para pekerja kasar untuk melakukan pelbagai jenis pekerjaan yang tak diingini orang-orang Eropa. Yang semula dilihat sebagai situasi sementara oleh kedua belah pihak justru malah menjadi semipermanen. Jumlah mereka pun meningkat, terkonsentrasi pada ghetto-ghetto etnis. Masalah utamanya terletak pada latar belakang sosio ekonomi kaum imigran yang tidak berketerampilan dan rendah pendidikan, sehingga kurang mampu beradaptasi dan berintegrasi ke dalam tatanan sosial yang ada. Akibatnya, mereka merasa terpinggirkan, dipandang sebagai orang luar, merasa diasingkan, dan mundur ke dalam cangkang budaya mereka sendiri. Semua itu mengarah pada stereotip tentang keengganan Muslim untuk berasimilasi. Jadi, andaikata Islam bukanlah agama mereka, krisis sosial tetap akan ada, meski dampaknya mau tak mau merembet ke arah sentimen agama.
Fuller juga menambahkan, krisis yang berjalan dari dua arah itu diperparah dengan lemahnya psikologis sejumlah kecil dari para imigran muslim tersebut. Hasilnya, mereka pun dapat dengan mudah menerima teori-teori konspirasi yang digelembungkan, dan penafsiran-penafsiran berlebihan atas perbuatan-perbuatan jahat kolonial Barat masa lampau. Teori-teori tersebut memiliki banyak unsur kebenaran namun tak memiliki proporsi dan sudut pandang sejarah.
Kegagalan-kegagalan Islam politis dalam memecahkan aneka persoalan itulah yang menjadikan International Crisis Group mencatat sebagian dari kaum Muslim pun kemudian lari ke ‘fundamentalis’ (istilah lebih aman, di dalam fundamentalis sendiri pun ada beragam lagi golongan; dari yang moderat, sampai kelewat radikal), sebuah gerakan yang secara keagamaan berfokus menekankan ketaatan individu pada ajaran Islam. Sempit lantaran segala penafsiran yang mereka ajukan selalu mendorong Muslim untuk menjauhi masyarakat non-muslim, berpaling ke dalam diri sendiri, dan menolak budaya setempat. Pergumulannya cenderung ke arah sebuah perang kebudayaan. Jadi, jelas tampak besar perbedaannya dengan Islam tanah air, yang justru terlihat melebur dengan budaya setempat.
Keengganan untuk melebur dengan kebudayaan lokal inilah yang seharusnya diperhatikan oleh berbagai pihak, lantaran hal itu merupakan jarak dan ruang kosong yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dengan cara menggelembungkan isu-isu bernuansa politis dan tekesan merugikan mereka.
Jika kita menilik makna Islam—baik secara lughawi (bahasa) maupun ma’nawi (makna), sebenarnya tidak akan ada masalah jika hendak menyandingkan individu-individu Islam dengan kultur budaya lokal yang juga sama-sama membawa filosofi hidup yang disandarkan pada harmonisasi hubungan dengan Tuhan dan alam lingkungan sekitar. Hanya saja, cangkang-cangkang itu dibentuk oleh mereka sendiri dengan opini frontal yang mengatakan bahwa sebagian besar dari tradisi kultur budaya lokal tersebut merupakan kesyirikan yang harus dijauhi. Sebuah opini yang sebenarnya justru bertolak belakang dengan semangat dakwah yang mengedepankan toleransi, merangkul, dan mengedepankan kemaslahatan bersama. Sampai kapan pun dua sumbu ini tak akan pernah menyatu, jika kita tidak mampu memberikan pengertian yang memadai perihal nilai-nilai luhur yang terkandung dalam berbagai tradisi budaya lokal.
Kita ambil contoh misalnya ritual Seren Taun yang hampir setiap tahun diselenggarakan warga Makasari, Nanggung, Bogor. Hanya dengan memahami makna penyatuan lima jenis dedaunan dan batang lidi dalam ritual mereka, kita akan tahu bahwa para petani tersebut jelas menggantungkan pengharapannya kepada Allah SWT. Tradisi Lubuk Larangan yang masih dilestarikan sebagian masyarakat Jambi, juga bisa dijadikan contoh kearifan manusia terhadap alam lingkungan. Mereka mengambil ikan di sungai, hanya pada masa-masa tertentu atas ikan-ikan yang sudah memenuhi syarat untuk dipanen. Jika terhadap alam sekitar saja mesti bijaksana, mengapa terhadap manusianya tidak?
Kita juga bisa melongok dan belajar dari kearifan Suku Badui di Kampung Naga ketika membangun atau memindahkan rumah salah satu warganya. Atau juga pelestarian balai adat Lobo di daerah Kulawi, Sigi, Sulawesi Tengah. Asas kegotongroyongan selalu menjadi ciri khas masyarakat komunal. Dengan mengedepankan prinsip kebersamaan ini, sedikit saja terendus ‘ketidakberesan’ salah satu individunya, akan coba langsung dipecahkan secara musyawarah/kekeluargaan.
Sentimen ‘kekafiran’, ‘kemusyrikan’, ‘thoghut’, adalah beberapa senjata yang sering digunakan para radikalis untuk memisahkan diri dari lingkungan sekitarnya, dari tradisi budaya lokal. Sebuah judgement yang sebenarnya terkesan menggelikan, lantaran yang dituduh ‘sesat’ itu sendiri justru mengagungkan keselarasan dan kedamaian dengan Tuhan dan alam sekitar.
Dari titik inilah kita bisa melihat akan peran pentingnya sebuah keluarga untuk kembali menanamkan pentingnya melestarikan kultur budaya lokal kepada anak-anak yang hidup di dalamnya. Bisa dibayangkan kehidupan anak-anak yang memahami dan melakoni unggah-ungguh nilai kultur lokal. Semangat masyarakat komunal akan menyuburkan nasionalisme di masa depan.
Jika menilik catatan kemunculan kecenderungan baru kejahatan dunia maya yang tiap tahunnya meningkat, perkembangan pasar dan teknologi media sosial tampaknya tak bisa dituding sebagai penyebab tunggalnya. Prinsip individualisme yang mulai menggerogoti semangat kebersamaan masyarakat komunal, adalah juga bahaya laten yang akan menjadi bom waktu dan mengantarkan kita pada kondisi ‘Islam Eropa’ yang digambarkan Fuller. Kultur budaya lokal (meski tidak sepenuhnya bisa dijadikan jalan utama) bisa dijadikan jalan alternatif untuk kembali menanamkan nilai-nilai masyarakat komunal yang penuh semangat kekeluargaan, tenggang rasa, dan keselarasan. Toh ini juga seperti ‘pulang ke rumah sendiri’. Tidakkah itu indah?