Menerapkan Kerangka Nilai Kebangsaan dan Adab Politik Pasca Pilkada

Menerapkan Kerangka Nilai Kebangsaan dan Adab Politik Pasca Pilkada

- in Narasi
1504
0

Pilkada serentak memang telah usai. Akan tetapi riak-riak buah dari pilkada tersebut masih ada. Beberapa hari yang lalu di media sosial sempat viral terkait pemecatan seorang guru di kota Bekasi, Jawa Barat. Dia adalah Robiah Adawiyah, seorang guru Sekolah Dasar Islam Terpadu (SD IT) Darul Maza.

Menurut keterangan yang dilansir Kompas.com berdasarkan postingan Facebook atas nama Andriyanto, Robiah dipecat secara tidak hormat melalui grup Whatsapp karena memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yakni Ridwal Kamil-UU Ruzhanul Ulum dalam pilkada Jawa Barat yang tidak sesuai arahan dari pihak sekolahan.

Pihak sekolah belum mengeluarkan tanggapan secara resmi terkait kasus ini, tetapi salah satu guru dari sekolahan tersebut, Tri mengatakan bila tragedi tersebut merupakan sebuah kekhilafan dari pihak sekolah. Hal tersebut terjadi karena kondisi kelelahan dan kelalaian dari pihak sekolah. Tri juga mengungkapkan bila pihak sekolah sudah menyelesaikan kasus ini secara kekelurgaan dengan mendatangi rumah Robiah di kelurahan Jatisari, kecamatan Jatiasih, kota Bekasi untuk meminta maaf. Dan akhirnya pun Rabiah memaafkannya tetapi memilih melanjutkan mengajar di sekolah lain.

Fenomena ini dapat menjadi pembelajaran bagi sekolah-sekolah lain ataupun instansi apapun di Indonesia agar peristiwa serupa tidak terulang kembali. Selain tidak etis, peristiwa tersebut jelas menyalahi hak setiap warga negara terkait pilihan politik. Selain itu juga menyalahi salah satu prinsip dalam pemilihan umum yakni Bebas dari LUBER JURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia seta Jujur dan Adil). Bebas di sini berarti bebas menentukan pilihan dan tidak mendapat tekanan dari pihak manapun.

Eksistensi Kerangka Nilai Kebangsaan dalam Politik

Politik merupakan jalan untuk mencapai tujuan, khususnya kekuasaan. Ia merupakan konsekuensi dari demokrasi yang dianut bangsa Indonesia. Meskipun demikian, tidak seharusnya dalam berpolitik menggunakan jalan yang merugikan rakyat. Mengingat esensi dari demokrasi adalah kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat.

Selayaknya dalam politik tidak boleh lepas dari kerangka nilai kebangsaan. Seperti dalam esai Mahyu Darma, seorang ketua Ika FH Uda wilayah Jawa dan Indonesia Timur, kerangka nilai kebangsaan itu terdiri dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial. Yang pertama yakni ketuhanan. Setiap warga negara berhak untuk melaksanakan dan memeluk keyakinan yang dianutnya. Ketuhanan menjadi batasan norma bukan sebagai sumber kekuasaan. Konsekuensi logisnya itulah mengapa Indonesia bukan negara agama melainkan negara berketuhanan.

Kedua, yang menjadi acuan dalam bertindak dan berprilaku adalah nilai-nilai humanisme universal. Dalam konteks ke-Indonesiaan, humanisme digambarkan dalam konsep tenggang rasa atau tepa salira yang berarti kita harus memperlakukan orang lain sesuai dengan perlakuan yang kita inginkan dari orang lain. Menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, saling bantu dan bekerjasama, tidak menyakiti serta toleransi.

Ketiga persatuan. Dalam konteks Indonesia tidak identik dengan keseragaman. Justru Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi keberagaman seperti yang terkandung dalam UUD 1945. Kita berbeda akan tetapi tujuan dalam berbangsa dan bernegara membutuhkan persatuan dan kerjasama. Maka integralitas sosial dan politik wajib dijunjung tinggi.

Sedangkan yang terakhir yakni demokrasi dan keadilan sosial. Dengan adanya dua nilai tersebut, ini menjadi bukti jauh sebelum dunia mengakui hak-hak sipil dan politik serta hak azas ekonomi, sosial budaya, bangsa Indonesia sudah mempunyai nilai tersebut. Dasar dari nilai ini yakni kesadaran bila semua rakyat Indonesia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang punya hak dan kedudukan sama.

Adab dalam Politik

Berkaca pada fenomena pemaksaan dan pemecatan yang dilakukan oleh sebuah institusi sekolahan dalam pilkada di Jawa Barat terhadap salah seorang gurunya beberapa waktu yang lalu adalah sebuah tindakan yang menyalahi nilai-nilai kebangsaan dalam berpolitik. Seharusnya beberapa kerangka nilai-nilai kebangsaan dalam berpolitik di atas benar-benar di wujudkan dalam kehidupan sehari, terlebih kehidupan politik. Nilai-nilai di atas seyogianya menjadi batasan pikiran dan prilaku, sehingga menjadi adab kebangsaan kita. Termasuk dijadikan adab dalam berpolitik

Terkait kultur politik, Indonesia mempunyai kultur top down yang kuat. Apa yang menjadi pikiran, sikap dan prilaku pemimpin biasanya menjadi contoh bagi masyarakat. Ini terjadi bukan hanya terjadi dalam masyrakat sosial, melainkan juga pada masyrakat politik dan birokrasi. Maka sudah menjadi keharusan bagi para pemimpin di setiap lini kehidupan untuk mempunyai dan menerapkan adab atau tata nilai kebangsaan tersebut.

Masih menurut Mahyu Darma, ada dua hal yang harus dilakukan oleh para pemimpin dan tokoh politik. Pertama, mereka harus memberikan keteladanan dalam menerapakan adab kebangsaan itu. Keteladanann pemimpin biasanya membentuk habit, sistem bahkan budaya yang jika terakumulasi menjadi restorasi nilai kebangsaan.

Kedua, para pemimpin dan tokoh politik harus menyebarkan keteladanan itu secara lintas generasi. Dalam perspektif politik, berarti para pemimpin dan tokoh politik yang baik harus melakukan rekruitmen politik berbasis pada tata nilai kebagsaan. Maka akhirnya ada kesinambungna dan kelanjutan.

Apabila kedua hal tersebut berhasil diterapakan, kehidupan politik kita tidak akan ramai dengan debat identitas, ketimpangan akan menurun, kehidupan akan lebih maju dan sejahtera. Dan ini akan menjadi bukti bila pilar-pilar kebangsaan seperti pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika tidak hanya menjadi sekedar wacana.

Facebook Comments