Moderasi Islam dan Pancasila guna Mengikis Radikalisme Politik

Moderasi Islam dan Pancasila guna Mengikis Radikalisme Politik

- in Narasi
2270
0
Moderasi Islam dan Pancasila guna Mengikis Radikalisme Politik

HOS Tjokroaminoto pernah berkata bahwa “Islam memajukan nasionalisme sejati dan bukan nasionalisme yang sempit”. Sepenggal pernyataan seorang guru bangsa yang juga pendiri Sarekat Islam tersebut, dapat menjadi penguat bahwa Islam merupakan agama yang mendukung nasionalisme dan kebhinekaan. Seiring dengan proses perjalanan sejarah nasional, Islam pun mudah masuk ke Nusantara yang notabene mempunyai latar struktur sosial dan kultural beragam. Meski kala itu, agama mayoritas yang berkembang ialah Hindu dan Budha, akan tetapi karena Islam begitu lembut dan cinta damai, membuatnya mudah diterima.

Di era globalisasi ini, perkembangan teknologi semakin pesat. Namun di sisi lain, Indonesia dihadapkan pada persoalan patologi sosial dan dekadensi karakter yang semakin kompleks. Teknologi berhasil mengubah kehidupan manusia (life style). Berbagai bentuk penyakit bangsa mulai dari hal kecil (sepele) seperti bullying, sampai hal besar tindaan radikalisme politik.

Ancaman radikalisme politik dewasa ini begitu nyata dan mengerikan. Apalagi pasca-pilkada dan menjelang pilpres. Berbagai macam manuver, cyber-war, ujaran kebencian, perang tagar, dan konflik lainnya senantiasa mewarnai baik di dunia nyata, maupun maya (medsos). Salah satu penyebabnya berbagai patologi sosial tersebut ialah krisis akhlak manusia serta banyak tindakan yang menyimpang dari Al-Qur’an. Padahal, kita tahu Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya, yang kemudian dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim karena mengandung ajaran-ajaran pokok yang harus dijadikan rujukan utama (absolute reference frame). Islam adalah agama sejuk dan cinta damai.

Sementara itu, di sisi lainnya banyak oknum bangsa yang menghianati nilai-nilai luhur ideologi bangsa, yakni Pancasila. Padahal kita paham Pancasila sebagai philosofische gronslag atau weltanschauung, sebagai fundamen, filsafat, pikiran, jiwa, dan hasrat yang menyatu dalam kemerdekaan Indonesia. Artinya, Pancasila ialah pedoman pokok dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini harusnya menyadarkan kita untuk kembali ke Pancasila. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila harus benar-benar diinternalisasikan secara nyata.

Dari berbagai persoalan bangsa tersebut, patut menjadi renungan bahwa kita sebagai umat muslim harus berpedoman pada Al-Qur’an. Begitupun juga sebagai bangsa Indonesia harus perpegang teguh pada Pancasila sebagai ideologi negara. Dua terma tersebut terintegrasi dalam narasi besar moderasi Islam dan Pancasila. Demikian juga sikap bangsa ini usai gelaran Pilkada.

Moderasi Islam dan Pancasila saling menguatkan. Buktinya, banyak nilai-nilai luhur yang ada dalam Pancasila selaras dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, sangat tidak elok tentunya jika kita sebagai anak bangsa membandingkan, apalagi membenturkan Islam dan juga Pancasila ke dalam ranah ke-Indonesiaan. Karena jelas, keduannya berbeda dalam banyak dimensi, akan tetapi bukan berarti keduanya bertentangan. Sejarah telah mengajarkan bahwa jangan sekali-kali membenturkan antara agama dengan ideologi. Apabila dipaksakan, maka yang ada hanyalah akan melahirkan berbagai bentuk militansi dan radikalisme bangsa, termasuk radikalisme politik.

Karenanya, persandingan antara Islam dan Pancasila harus dibangun sebagai bentuk kontruksi yang saling mengisi, bukanlah kolonial yang saling menguasai atau berebut dominasi. Pancasila merupakan “grand idea” dan Islam ialah agama mayoritas bangsa Indonesia. Gusdur pernah mengungkapkan bahwa hubungan Islam sebagai agama dengan Pancasila sebagai ideologi terjalin hubungan saling mengisi yang akan menyuburkan keduannya. Islam dan Pancasila harus terjalin harmonis, tanpa saling merusak tatanan dasar satu sama lain.

Islam dan Pancasila yang terbangun harmonis dalam sistem demokratisasi Indonesia diharapkan akan mampu menangkal virus radikalisme politik yang hanya bertumpu pada satu sisi. Nilai-nilai luhur (values) universal yang dimiliki keduannya menjadi kekuatan pengokoh ke-Indonesiaan. Pola pikir yang dibangun adalah pola kontruksif bukan pembenturan. Dengan pola kontruksif ini, Islam dan Pancasila disandingkan dan diramu untuk menguatkan nasionalisme.

Tentu untuk mewujudkan itu, Pancasila harus mampu hadir sebagai ideologi terbuka dan bersifat fleksibel, serta menerapkan azas umum, bukan azas khusus. Sebagaiman telah dicontohkan Al-Qur’an, dimana bahasa umum lebih cenderung digunakan daripada bahasa khusus. Demikian juga Islam yang merupakan agama rahmatal lil alamin, yang tentunya mengajarkan agar cinta kasih terhadap sesama.

Islam dan Pancasila di Indonesia ibarat satu tubuh, yang ketika disakiti salah satunya akan melukai yang lainnya juga. Pancasila tidak terima jika Islam dihina, demikian juga Islam sangatlah menentang tindakan anti-Pancasila. Pendek kata, Islam dan Pancasila saling menjaga dan mengokohkan satu sama lain. Nilai-nilai suci nan mulia keduanya saling menyuburkan satu sama lain. Harapannya dengan adanya moderasi Islam dan Pancasila radikalisme politik akan terkikis habis.

Facebook Comments