Sudah sejak lama, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan damai. Masyarakat kita dikenal ramah dan terbuka terhadap siapa pun. Bahkan, berbagai budaya dan tradisi dari luar bisa berakulturasi secara harmonis dengan budaya dan tradisi lokal yang sudah mengakar di masyarakat. Di samping itu, bangsa yang terdiri dari beragam suku, ras, etnis, agama, ini juga mampu hidup rukun dan damai dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
Namun, bangsa yang dikenal ramah dan damai ini sekarang mulai mendapatkan catatan. Sebab, belakangan masyarakat kita mulai gampang bertikai satu sama lain. Alih-alih bersatu dan hidup rukun, belakangan kita malah begitu mudah saling menuduh, mencaci, dan menyerang satu sama lain hanya karena perbedaan. Persaingan politik di kalangan elite yang menularkan pertikaian ke masyarakat luas, hingga penyebaran paham radikalisme-terorisme, menjadi beberapa faktor yang turut menciptakan ketegangan dan pertikaian di tengah masyarakat.
Hal tersebut terjadi di tengah kemajuan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi, di mana kabar dan berita menyebar dengan sangat cepat setiap hari dan siapa pun bisa melontarkan pendapat dan perasaan dengan mudah lewat media sosial. Sejak saat itu, di dunia maya kita begitu mudah melihat orang saling mencaci dan bertikai hanya karena perbedaan pandangan. Yang mengkhawatirkan, pertikaian di dunia maya tak jarang bisa merambah dan berpengaruh ke dunia nyata yang kemudian memunculkan sikap-sikap intoleran, bahkan kekerasan yang ditampilkan sebagian orang untuk menekan kelompok lain.
Kondisi tersebut semestinya sama-sama kita renungkan. Kita perlu kembali melihat ke dalam jati diri bangsa ini dan bertanya; kemanakah bangsa yang dikenal ramah dan damai itu sekarang? Dimanakah hilangnya sikap saling menghargai dalam keragaman itu? Bukankah, dahulu kita dikenal ramah, bahkan terhadap bangsa lain? Mengapa kita sekarang begitu mudah bertikai dan bermusuhan, bahkan dengan saudara sebangsa sendiri? Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus direnungkan dalam sanubari kita masing-masing, agar bisa melakukan refleksi dan evaluasi.
Make Indonesia Peaceful Again!
Sudah semestinya kita sama-sama bergerak untuk mengembalikan wajah ramah, harmnonis, dan damai yang sempat terkikis beberapa waktu belakangan. Sudah waktunya kita membuat bangsa ini kembali menjadi bangsa yang damai tanpa pertikaian dan pertengkaran. Dalam upaya tersebut, kaum muda memiliki peran strategis untuk bisa bergerak menanamkan nilai-nilai yang bisa mengembalikan wajah ramah dan damai bangsa ini.
Di samping masih memiliki idealisme kebangsaan dan energi yang besar untuk berjuang, kaum muda juga memiliki ide-ide dan gagasan yang lebih segar untuk bisa dicurahkan guna membangun perdamaian di tengah masyarakat. Di satu sisi, kaum muda juga relatif tidak memiliki beban sejarah konfliktual. Tidak seperti generasi pertama dan kedua bangsa Indonesia—yang kadang masih susah melepaskan diri dari peninggalan konflik dan gesekan politik yang pernah terjadi di masa lalu. Kaum muda yang lebih terbuka, maju, dan kreatif ini dapat digunakan dan dimobilisasi untuk membangun sebuah “Indonesia yang bersemangat baru dan berkemajuan” (Subkhi Ridho, 2018: 82).
Semangat baru generasi muda tersebut harus disalurkan untuk mengembalikan kehidupan yang rukun, aman, dan damai di tengah masyarakat. Generasi muda, atau yang sekarang populer disebut generasi milenial memegang peran penting yang menentukan sejauh mana peradaban damai bisa tercipta di masyarakat. Hal ini tak sekadar karena potensi besar yang tersimpan dalam diri setiap muda, namun juga karena secara populasi atau jumlah, generasi muda sedang mendominasi.
Di tahun politik tahun 2019 mendatang misalnya, jumlah pemilih akan didominasi oleh generasi milenial. Generasi yang lahir dalam rentang tahun 1981-1999 ini akan berusia 20-38 tahun dan jumlahnya mencapai sekitar 86 juta jiwa. Dengan kata lain, 48% pemilih pada pemilu 2019 mendatang adalah generasi milenial. Ini jumlah yang sangat besar dan bisa memberi pengaruh signifikan terhadap atmosfer politik beberapa waktu ke depan.
Apa yang hendak penulis ungkapkan adalah, generasi milenial yang mendominasi jumlah pemilih diharapkan bisa mengambil peran terdepan untuk bisa menciptakan suasana pemilu yang damai dan sejuk. Karena ini penting sebagai bekal membangun kembali keharmonisan dan kehidupan yang damai di tengah masyarakat. Anak muda harus bisa memberi contoh bagaimana memberi dukungan politik dengan cara yang santun dan beradab.
Di media sosial, yang sudah menjadi bagian dari keseharian generasi milenial, upaya tersebut bisa dilakukan dengan mengkampanyekan pentingnya saling menghargai dan menghormati pilihan politik setiap orang. Ketika ada berita provokatif, hoax, atau kampanye hitam beredar di media sosial, generasi muda harus tanggap dan melakukan langkah-langkah yang bisa dilakukan agar hal tersebut tak memancing pertikaian dan dampak negatif secara luas.
Mengembalikan kehidupan yang damai di tengah masyarakat memang butuh langkah komprehensif dan peran aktif semua elemen bangsa. Namun, setidaknya dengan gerakan perdamaian yang dilakukan generasi muda yang mendominasi jumlah pemilih di tahun politik mendatang, akan mampu memberi dampak siginfikan dalam upaya membangun kembali kehidupan masyarakat Indonesia yang aman, tentram, rukun, dan damai.