Menghadirkan Kembali Kerukunan

Menghadirkan Kembali Kerukunan

- in Narasi
1438
0
Menghadirkan Kembali Kerukunan

Intoleransi masih kerap dilakukan oleh orang-orang yang memiliki penyakit akut dalam keberagaman. Kasus-kasus baru selalu saja hadir, membuat kita perlu membuat langkah yang lebih baik untuk menanganinya. Dua peristiwa terakhir dapat menggambarkan problem keberagaman di masyarakat. Berdasarkan laporan tempo.co, Pada Jumat, 12 Oktober 2018, sekelompok orang merusak persiapan acara yang akan digunakan untuk upacara sedekah laut di Pantai Pandansimo, Bantul, Yogyakarta.Kegiatan sedekah laut sejatinya akan dilaksanakan Sabtu, 13 Oktober 2018. Selain merusak perlengkapan adat sedekah laut, kelompok ini juga memasang spanduk dengan tulisan “Kami menolak semua kesyirikan berbalut budaya, sedekah laut atau selainnya”.

Hanya dalam kurun waktu 3 hari, kembali hadir tindakan intoleransi. Pada 15 Oktober 2018, terjadi upaya pengusiran terhadap salah seorang tokoh agama yang akan memberi ceramah di Manado. Puluhan orang, yang mengklaim merupakan kumpulan ormas adat, berdatangan ke Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, untuk menolak kehadiran tokoh tersebut. Meskipun aksi ini merupakan respons atas ketidaksepakatan terhadap pandangan tokoh itu, tetap saja upaya pengusiran paksa -dengan melibatkan massa- tidak bisa dibiarkan. Hal ini justru akan memicu aksi-aksi tandingan sehingga menutup ruang dialog. Masyarakat sipil terlarang melakukan tindakan yang bukan menjadi wewenangnya. Kejadian ini pun dapat mencoreng citra Manado yang kerap dianggap sebagai daerah yang toleran. Sekedar informasi, Setara Institut pernah merilis Indeks Kota Toleran 2017. Dan Manado menjadi salah satu kota dengan skor indeks toleransi tertinggi yaitu sebesar 5,90 poin.

Dua kejadian di atas tidak akan terjadi jika dua pihak yang berbeda pendapat tidak memelihara egonya masing-masing. Mampu menahan diri dan berlapang dada terhadap perbedaan. Sebab keberagaman merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, kemajemukan perlu dikelola dengan cara beradab. Jika ada suatu hal yang bertentangan dengan keyakinan kita, tidak perlu menganggap pihak tersebut salah. Karena bagi mereka, pandangan kita yang justru menyimpang. Perbedaan perspektif ini perlu dikomunikasikan sehingga muncul sikap lapang dada menerima pihak lain. Jika tidak, akan terus terjadi konflik dan permusuhan akibat ketidakmampuan menerima panndangan berbeda. Saling merasa sebagai pihak yang benar dan harus diikuti.

Langkah di atas merupakan gerbang awal untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang damai dan sejahtera. Hidup bersama dalam suasana tenang dan nyaman. Tidak terganggu oleh perilaku-perilaku intoleran yang makin membuat “panas” bumi ini. Masing-masing bebas menjalankan pandangan dan keyakinannya tanpa khawatir akan diganggu oleh kelompok-kelompok yang ingin memaksakan ide-idenya. Apalagi bangsa ini secara tegas menyatakan menjamin kebebasan berekspresi warga negaranya. Selama tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, maka negara wajib menjaminnya.

Kita semua berkeinginan kuat agar Indonesia dapat terus menjadi negara yang penuh kedamaian. Memiliki tradisi mumpuni dalam mengelola keanekaragaman masyarakatnya. Apalagi penduduk negeri ini kadung dikenal sebagai pribadi yang toleran. Dan perilaku ini telah mendarah daging dan menjadi bagian dari jati diri warganya. Bahkan jauh sebelum negara Indonesia hadir, perilaku toleran selalu ditunjukkan dalam keseharian. Tengok saja bagaimana masyarakat nusantara merespons hadirnya pandangan-pandangan yang baru dan berbeda. Tidak seganas dan sebrutal saat ini. Warisan keteladanan sikap inklusif ini yang perlu ditangkap dan dilestarikan. Sekaligus diturunkan kepada generasi muda. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang damai dan toleran.

Untuk menciptakan hal tersebut, dibutuhkan usaha yang besar dan kuat. Tidak berserah diri hal tersebut akan datang begitu saja. Mengupayakan segenap tenaga agar perdamaian hadir di masyarakat. Koffeman, seperti dikutip Suhadi (2018:6), menyatakan bahwa dalam kompleksivitas sosial dan politik yang berkembang, toleransi akan menemukan tantangan barunya. Toleransi yang sekedar basa-basi tidak akan memadai lagi, karena akan rentan dan goyah. Maka dibutuhkan toleransi yang mahal karena mensyaratkan kesediaan kesediaan untuk menerima satu sama lain dengan sepenuhnya. Dengan catatan, perbedaan tersebut tidak menyebabkan kekerasan. Dibutuhkan kesediaan untuk mengendalikan diri, bukan karena takut akan pembalasan, tetapi keluar untuk menghormati orang-orang dengan pandangan lain tersebut.

Facebook Comments