Akhlak Nabi sebagai Manifestasi Pendidikan Karakter

Akhlak Nabi sebagai Manifestasi Pendidikan Karakter

- in Narasi
2166
3
Maulid Nabi, Nilai Kepemimpinan, dan Persaudaraan Kebangsaan

Cara terbaik untuk melakukan kaderisasi generasi bangsa adalah melalui pendidikan. Terutama pendidikan yang dilembagakan dalam bentuk sekolah, tentu memiliki andil besar dalam mendidik generasi bangsa, agar memiliki etika-moral yang baik dan juga memiliki keterampilan untuk berkompetisi di kancah nasional dan internasional.

Berdasar pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 menyebutkan, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

UU tersebut mengamanatkan kepada segenap pemangku kepentingan, terutama dalam sektor pendidikan, untuk mendidik generasi bangsa supaya cerdas secara moral-spiritual, terampil, dan ikut serta dalam menjaga dan memajukan bangsa Indonesia. Dikutip dari guruppkn.com, bahwa tugas warga negara antara lain adalah saling mendukung dalam usaha pembelaan negara dan saling menghormati dalam kehidupan beragama. (guruppkn.com/2018)

Artinya, etika-moral, pemikiran, dan keterampilan yang dimiliki peserta didik mesti mampu memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan negara-bangsa Indonesia. Upaya bela negara dan saling menghormati dalam kehidupan beragama, tidak bisa terwujud jika peserta didik tidak memiliki wawasan kebangsaan, dan apalagi jika telah terjangkiti virus radikalisme yang cenderung bersifat intoleran; alergi perbedaan.

Baca juga :Maulid Nabi, Nilai Kepemimpinan, dan Persaudaraan Kebangsaan

Survei terbaru yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah pada 2018, menunjukkan fakta yang mencengangkan. Bahwa guru, sebagai aktor utama pembentuk nilai-nilai, pandangan, dan pemikiran peserta didik, ternyata memiliki opini intoleran yang cukup tinggi. Sebanyak 63,07 persen guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari guru yang memiliki opini toleransi terhadap pemeluk agama lain, yakni 36,92 persen. (voaindonesia.com/2018)

Tentu saja, hal ini menjadi keprihatinan kita bersama. Logikanya, bagaimana mungkin pendidikan Indonesia mampu melahirkan generasi cerdas nan toleran, jika guru-gurunya memiliki perspektif intoleran dalam memandang pemeluk agama lain? Padahal, toleransi adalah salah satu prinsip pokok dalam pembentukan NKRI.

Maka dari itu, upaya untuk mengikis paham intoleran di kalangan guru mesti segera dilakukan. Maulid Nabi sebenarnya bisa dijadikan momentum untuk menyemai nilai-nilai toleransi, dengan merefleksikan kehidupan Nabi Muhammad Saw. dalam menjalankan roda pemerintahan atau ketika berhadapan dengan gesekan-gesekan di masyarakat.

Beda bukan berarti musibah, jusru itu adalah fitrah yang patut kita syukuri. Tanpa perbedaan, persatuan tidak bakal terwujud, dan perdamaian pun sulit menjejakkan kakinya di bumi. Keberhasilan dalam mengelola perbedaanlah yang membikin kehidupan negara-bangsa menjadi harmonis, dan semangat gotong royong menjadi prasyarat dalam membangun kehidupan yang makmur dan sejahtera; karena pada hakikatnya, manusia tidak bisa hidup tanpa kehadiran orang lain.

Ada banyak kisah yang menunjukkan sikap toleransi Rasulullah Saw. kepada pemeluk agama lain. Misalnya, ketika beliau dicaci maki oleh pengemis buta yang hampir setiap hari disuapi oleh Rasulullah Saw. Beliau tetap tenang dan menyuapi si pengemis buta tersebut, tanpa terganggu dengan cacian yang barangkali untuk ukuran manusia biasa sangat menyakitkan.

Kisah lain juga datang setelah Fathul Makkah, penaklukan kota Mekah. Sebagaimana diceritakan Afzalur Rahman (2015), bahwa waktu itu, salah seorang pemimpin Kafir Quraisy, Tsumamah bin Atsal, ditangkap oleh orang-orang Islam. Ia dibawa ke hadapan Rasulullah Saw., lalu beliau memerintahkan untuk mengikat pemimpin tersebut di pilar masjid. Nabi menemuinya dan menanyakan apa keinginannya.

Tsumamah berkata, “Wahai Muhammad! Jika engkau membunuhku, engkau membunuh seorang pembunuh. Jika engkau berbaik hati dan memberi pertolongan, engkau akan menolong seseorang yang tahu terima kasih. Dan jika engkau menginginkan uang sebagai tebusan, sebutkan saja, akan kuberikan kepadamu.”

Mendengar perkataan Tsumamah, Rasulullah Saw. diam saja. Kemudian, beliau melontarkan pertanyaan yang sama selama tiga hari. Ketika Rasulullah Saw. mendengar jawaban yang sama pada hari ketiga, beliau memerintahkan kepada para sahabat untuk melepaskan Tsumamah.

Lelaki ini sangat terkesan dengan kemurahan hati Nabi Muhammad Saw. terhadapnya. Ia membersihkan diri, lalu kembali ke dalam masjid dan mengucapkan kalimat syahadat.

Ia juga berkata, “Wahai Rasulullah, sebelumnya tiada seorang pun yang lebih menjijikan dan dibenci dalam pandanganku selain dirimu. Namun, kini tiada seorang pun yang lebih dicintai dalam pandanganku daripada dirimu. Sebelumnya, tiada ajaran yang lebih buruk dalam pandanganku daripada ajaranmu, tetapi kini ajaranmulah yang terbaik dalam pandanganku. Sebelum ini, tiada kota yang lebih buruk di pandanganku daripada kotamu, tapi kini aku menyukai kotamu melebihi kota manapun.”

Sikap Rasulullah Saw. dalam menghadapi orang-orang yang mencaci beliau, terbukti mampu membuat mereka simpati kepada Islam, dan akhirnya memutuskan untuk menjadi muslim. Hal ini, tentu muncul dari kedalaman batin dan kecerdasan beliau yang melihat manusia setara, dalam artian memiliki kesempatan yang sama; yang sekarang sesat bisa jadi selamat di akhir hayatnya, demikian juga sebaliknya.

Maka, terpancarlah sikap toleransi Nabi kepada mereka. Beliau tidak serta merta berlaku reaksioner, begitu mendapatkan makian orang lain. Karena, yang mencaci maki beliau bisa jadi karena belum tahu bahwa ajaran yang dibawa Rasulullah Saw. adalah kebaikan dan untuk kemaslahatan manusia lintas zaman.

Jika dengan para pencaci maki saja Rasulullah Saw. berbuat santun, apalagi kepada pemeluk agama lain, yang secara latar historis memiliki pijakannya kepada kitab-kitab samawi –terlepas dari perubahan dari zaman ke zaman.

Dalam konteks pendidikan, akhlak Nabi Muhammad Saw. tersebut merupakan manifestasi dari pendidikan karakter. Sehingga, karakter dan pemikiran yang terbentuk dalam diri peserta didik mendekati standar moral yang digunakan Rasul Saw., dan tentu juga selaras dengan ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin.

Facebook Comments