Diktum perihal kerumunan orang di suatu tempat memberikan satu gerak kesamaan. Itu terjadi bila kerumunan diseragamkan. Massa alias banyak orang mempunyai tujuan yang koheren. Massa ini bisa kompak dengan sendirinya dan atau dikompakkan/diinstruksikan. Namun, saat kerumunan mengalami segresi atau gesekan yang menimbulkan chaos/kekacauan, maka kerumunan menjadi keberingasan yang merusak. Tidak ada lagi akal sehat di antara kerumunan, semuanya akan berjalan tak beraturan. Sementara yang masih berpunya kewarasan, minggir jauh-jauh.
Tamsil kerumunan massa di atas kiranya sesuai dengan fenomena sosial masyarakat hari ini. Masyarakat yang khusyuk seksama dalam meniti layar gawai. Hanya saja, kerumunan massa ini tidak mewujud dalam satu tempat bersifat fisik. Sekat jasadi tidak lagi relevan sebagai pembentuk kekuatan. Meski demikian, bukan berarti kerumunan model ini sekadar sambil lalu. Justru, kita bersama tahu, kerumunan era digital terasa lebih merusak dan mengacaukan. Ya, kehadiran kerumunan itu bermetamorfosis sebagai akun-akun di media sosial.
Celakanya, akun tidak bisa dianggap sebagai representasi kedirian seseorang. Ada celah ruang ketidakjujuran yang bisa dimanfaatkan. Membedai kerumunan lahiriah, akun media sosial menghamparkan pada kondisi unknown. Berpunya akun bodong, untuk kemudian digunakan serampangan, bisa mengubah kehidupan di jagat maya menjadi sarana kebencian dan penuh umpatan. Kehidupan medsos yang begitu imajinatif namun begitu terasa, juga kerap berbuntut panjang di ranah kehidupan fisik. Tentu sudah sekian banyak kejahatan bermula dari media sosial kemudan terlanjutkan di ranah nyata.
Akun-akun bisa bergerak sendiri maupun berkerumun dengan membentuk grup atau saling mem-follow. Di grup itulah, bak kerumunan massa di ranah fisik, akun-akun menampilkan perangai si penggunanya. Semakin banyak anggota grup maupun follower, suatu akun mempunyai pengaruh dan kuasa untuk menggerakkan tempo sedetik melebihi instruksi di dunia nyata. Ketika admin suatu grup melemparkan isu sensitif, maka hampir-hampir seluruh anggota grup akan mengamini tanpa melakukan pengecekan informasi.
Baca juga :Bersihkan Hati dari Benci, Sebarkan Cinta di Dunia Maya
Pelbagai kepentingan manusia yang melandasi laku lampahnya yang beratributif mulai politik sampai agama, barang tentu telah menghilirkan ragam sengkarut. Begitu pun di jagat media sosial; saling caci di antara akun bersentimentil urusan primordial apapun, terasa lebih sangat mengerikan. Hal ini lantaran media sosial bak hutan belantara. Satu dengan yang lain, saling membidik, saling menegasi, dan saling memangsa. Ketiadaan pentingnya identitas perihal siapa aku di dunia maya, sememangnya mengandaikan manusia terjerumus ke polah kebinatangan.
Bahkan, rasa-rasanya, uaran-uaran si akun bisa melebihi watak binatang. Lantaran tidak saja saling memaki dan berkata kasar yang telah menjadi kelumrahan, namun juga memproduksi sekaligus menyebar kabar bohong (hoaks) dan ujaran kebencian. Ditunjang kemajuan teknologi-informatika, media sosial bisa sebabkan pudarnya nilai-nilai kemanusiaan. Mengedit gambar dan atau video dengan hasrat menjatuhkan si liyan, merupakan praktik jahat pendegradasian kemanusiaan era kini.
Namun, teranggap gagal paham saat teknologi dijadikan kambing hitam. Teknologi adalah medium; sekadar sarana yang bebas nilai. Seperti halnya pisau yang bisa digunakan memotong sayuran atau menikam orang. Sudah saatnya persepsi media sosial sebagai hutan belantara mesti diubah. Media sosial adalah taman yang penuh bunga-bunga. Menyuplai udara segar. Pada suasana taman, orang-orang berbincang penuh keakraban dan melepas tawa. Seperti pada pemandangan taman lah, percakapan dan kondisi media sosial bisa dikreasikan demikian.
Ikhtiar pertama, perlulah kejujuran menjadi basis utama pengguna media sosial. Jujur dengan memasang foto profil dengan diri sebenarnya. Ketika eksistensi kedirian ini enggan ditampilkan, maka sama saja telah menyebarkan hoaks. Pada taman pula, bunga-bunga indah bermekaran. Ada ucap kekaguman dan ketakjuban keluar. Begitulah mestinya, taman media sosial idealnya dipenuhi ujaran kebaikan dan muatan-muatan positif.
Banyak orang mendatangi taman. Orang-orang tersebut tidak datang dari satu arah. Tidak pula berasal dari satu tempat. Ada ragam kultur dan rupa orang-orang tersebut. Dan, di taman, masing-masing orang mampu bersikap saling respek. Berbagi tempat tanpa mengusir. Semburat senyum ketika saling tatap meski tidak saling mengenal. Bahkan, masing-masing person yang berbeda muasal, pada lokus taman, mereka berupaya saling mengenal. Pluralitas berjalan sangat baik dalam semerbak bunga-bunga taman. Pun, mestinya media sosial menjadi wahana untuk saling mengenal macam-macam orang di jagat Bumi ini.
Pada taman, ada ayunan, rumah-rumahan, kursi berputar, dan sebangsanya. Kerumunan orang-orang di taman itu lantas digunakannya untuk sejenak bermain-main, bersenang-senang. Maka seperti itulah idealnya prinsip saat diri ini bermedia sosial ria. Ada keriangan dan penghiburan yang mestinya didapat dari media sosial. Sehingga bakal berdampak positif pada kehidupan nyata. Karena media sosial adalah wahana atau alat yang bebas nilai, maka baik-buruknya tergantung para pengguna. Karena itu, mari jadikan media sosial sebagai taman cinta; bukan hutan belantara.