Mengulik Sejarah, Mengikis Kebencian ber-Media

Mengulik Sejarah, Mengikis Kebencian ber-Media

- in Narasi
1244
1
Mengulik Sejarah, Mengikis Kebencian ber-Media

Belakangan ini sepertinya lakon ujaran kebencian semakin menguat eskalasinya. Karena berlatar semakin dekatnya gelaran kontestasi calon wakil rakyat dan calon pemimpin negara, keriuhan di jagat maya pun ternyata mulai meluap hingga ke wilayah media layar kaca macam televisi. Setidaknya beberapa hari terakhir ini kita bisa menyaksikan bagaimana sejumlah isu berseliweran dalam ruang informasi kita. Beberapa di antaranya merupakan informasi bernada kebencian atau setidaknya informasi yang dipasang dengan tujuan memancing komentar bernada umpatan atau makian. Sepertinya garisan takdir bangsa ini seolah menunjukkan bahwa hingga tahun ini berakhir, masyarakat kita belum-lah mampu untuk keluar dari jebakan politik kebencian. Meski begitu keinginan untuk menghindari kenyataan pahit tentang pecahnya persatuan suatu negara, sambil menatap impian berbangsa yang diidealkan tetaplah mesti diperjuangkan.

Pertanyaan yang paling sering kita dengar adalah bagaimana caranya? Tentunya pertanyaan di atas tidak akan mampu terjawab hanya dengan sekali lontaran respon. Kerumitan dan kompleksitas manusia dengan kehidupannya masing-masing menjadikan hal demikian bukanlah hal yang mengejutkan. Karena kerumitan tersebut, ada baiknya bila sebelumnya kita menilik dan memahami dulu hal tersebut melalui rekaman kronik yang pernah terjadi, termasuk pada salah satu peradaban bangsa ini. Dengan mengetahui rekaman yang ada, setidaknya memberikan peluang bagi kita untuk membuka cara pandang baru dalam melihat realitas hari ini, yang sejatinya tidak berdiri lepas dari lintasan hidup manusia sebelumnya.

Rekaman kronik Politik Kebencian

“Tidak ada sesuatu hal yang baru di bawah Matahari”. Ungkapan tersebut sepertinya tepat untuk menggambarkan realitas hari ini, yang ternyata tidak berdiri terpisah dari rekaman sejarah sebelumnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa peristiwa semacam ini pernah dipraktikkan di beberapa negara di luar negeri, salah satunya oleh Hitler dengan pemerintahan NAZI Jerman. Ketika itu dengan tujuan menghegemoni banyak wilayah di Eropa, pemerintahan ini menggunakan politik kebencian yang ditujukan salah satunya terhadap etnis Yahudi di wilayah Eropa. Akibatnya peristiwa ethnic cleansing terjadi terus-menerus dalam kurun waktu rezim tersebut berkuasa.

Baca juga :Siskamling Medsos : Wujudkan Hidup Sehat Tanpa Hoax

Selain itu, untuk konteks Indonesia, fenomena demikian ternyata juga barang baru. Telah lama pandangan strategi macam ini dikelola dalam pola fikir bangsa ini. Dalam sebuah pencatatan yang bersoal mengenai kebudayaan Indonesia secara kritis, seorang Ariel Heryanto, akademisi Indonesia dari kampus Australian National University, melihat bahwa peristiwa politik kebencian bukanlah produk baru di bangsa ini. Dalam beberapa kutipan yang dihadirkan dalam karyanya, ia melihat bahwa sejak periode kolonial Belanda benih politik kebecian telah dihadirkan melalui segregasi antar etnis (Heryanto, 2018). Diyakini dengan segregasi yang dihadirkan, pemerintah kolonial akan mampu mengontrol semua pergerakan di wilayah Hindia Belanda. Sayangnya pasca berdiri seutuhnya sebagai sebuah negara, benih politik semacam itu kembali dikembang-biakkan. Hal tersebut jelas terlihat ketika pola nativikasi diidealkan bangsa ini, persisnya ketika rezim orde baru berkuasa. Pengakuan keragaman suku asli Indonesia ternyata tidak menyentuh etnis tertentu, contohnya etnis Tionghoa yang notabene telah lama bermukim di bumi Indonesia. Penempatan etnis Tionghoa sebagai pendatang serta stereotype bahwa mayoritas etnis menguasai sektor dagang menjadi latar penghembusan politik kebencian.

Dari narasi di atas sebenarnya kita harusnya bisa melihat bahwa sejatinya peradaban manusia telah lama bersentuhan dengan strategi politik yang demikian. Kita mesti memahami bahwa legitimasi yang terbangun untuk sebuah rezim yang berdiri melalui pilar politik kebencian tidak akan pernah membawa kedamian atau bahkan kesejahteraan. Sebab kecurigaan, kekhawatiran, politik kebohongan akan terus menyelimuti jalannya pemerintahan. Politik hasutan melalui ujaran kebencian selain bermuara pada kepunahan manusia karena tragisnya konflik, juga menempatkan manusia pada strata terendah dalam peradabannya. Melalui politik semacam itu manusia sejak awal sudah diposisikan sebagai instrumen yang tidak memiliki kecerdasan dan hanya memiliki emosi semata.

Semestinya kita bisa memahami bahwa literasi khususnya sejarah menjadi harga mati untuk bisa memahami setiap realitas yang ada. Dinamika yang tidak statis dari kehidupan manusia, sebenarnya telah memaksa setiap individu untuk banyak belajar terutama dari banyak teks dan konteks. Keengganan untuk mengkonsumsi teks yang beragam atau bahkan kemalasan untuk membaca, hanya akan melahirkan koridor pemikiran yang sempit dalam melihat realitas. Akhirnya tidak heran bila pada gilirannya politik kebencian dikonsumsi berjamaah secara banal.

Facebook Comments