Agama Bukan Alat Memecah Belah Persatuan dan Berbuat Kerusakan

Agama Bukan Alat Memecah Belah Persatuan dan Berbuat Kerusakan

- in Narasi
1011
0
Salah satu motivasi terbesar ketika Bom Bali meledak di Indonesia yang diklaim oleh pelaku dan simpatisannya saat itu sebagai jihad adalah sebagai bentuk balas dendam terhadap para korban di Palestina. Beginilah bentuk narasinya: korban bom Bali belum seberapa dengan penderitaan rakyat Palestina. Jadi bom yang mereka katakana jihad adalah balas dendam ? Dan tidak melihat korbannya siapa, yang penting untuk Palestina. Gerbong kelompok kejahatan dan teroris yang memakai nama islami Mujahidin Indonesia Timur (MIT) juga berteriak lantang sebagai aksi balas dendam atas penderitaan umat Islam dalam konlik Poso dan Ambon. Banyak umat Islam menjadi korban dari konflik yang mempertemukan antara penganut Islam dan Kristen. Lalu, artinya kekerasan sampai saat ini adalah jihad untuk balas dendam? Pada tahun 2000-an banyak sekali Bom meledak di Indonesia dari bangunan yang merepresentasikan Barat hingga gereja yang tentunya korbannya adalah masyarakat yang tidak berdosa itu dimaknai sebagai jihad untuk balas dendam terhadap perang Barat di negara Islam. Semangat balas dendam ini misalnya terungkap dalam penelitian lama tahun 2012 yang dilakukan oleh teman-teman INSEP dan Mabes Polri terhadap pelaku teror. Balas dendam menempati urutan ketiga sebagai motivasi selain karena ideologi jihad dan solidaritas komunal. Menarik kalau kita telisik kembali bahwa dalam benak pelaku teror dan mereka yang mengklaim jihad itu adalah bentuk balas dendam terhadap kekejaman yang dilakukan oleh musuh. Lalu, ekspresi balas dendam ini diwujudkan dalam bentuk kekerasan bukan terhadap musuh yang mereka asumsikan tetapi kepada masyarakat yang tak berdosa; orang tua, perempuan bahkan anak kecil. Jika umat Islam memahami betapa dalam perang pun Rasulullah mempunyai akhlak yang sangat mulia. Pesan Rasulullah terhadap para pasukannya dalam peperangan untuk tidak membunuh para pendeta, orang tua, anak-anak, perempuan, dan tidak merobohkan bangunan suci. Bahkan tidak boleh menebang pohon. Betapa nyawa dalam perang pun sangat diperhitungkan oleh Rasulullah. Lalu, kenapa jihad menjadi sangat disalahartikan dengan pembunuhan atas nama balas dendam terhadap mereka yang tidak bersalah? Apakah itu maksudnya jihad? Benarkah logika balas dendam itu dipraktekkan dalam jihad perang yang dilakukan oleh Rasulullah? Apakah perang Nabi juga menyerang mereka yang tidak berdosa pemuka agama, gereja, perempuan, anak-anak dan lainnya? Dari mana logika balas dendam menjadi semangat jihad? Sungguh suatu penghinaan ajaran jihad dan penyesetan luar biasa sebagai fitnah bagi umat Islam. Kadang juga tidak habis pikir dengan ulah segelintir orang yang melakukan aksi kekerasan dengan mengatasnamakan membantu masyarakat yang sedang dalam perang. Mereka mengekspresikan kekerasan atas nama jihad untuk membalas dendam. Logika yang tidak hanya sesat tetapi juga menistakan makna jihad itu sendiri. Itulah persoalan umat Islam saat ini ketika memaknai jihad dengan sempit dan logika balas dendam.

“Kau bakar rumah ibadah umat lain, imanmu yang sejatinya hangus. Kau bunuh nyawa orang lain, jiwamu yang sejatinya mati”

~Habib Husain Ja’far Al Hadar~

Ungkapan beliau ini sejatinya menjadi landasan etis, bahwa pada hakikatnya tidak ada agama mana-pun yang mengajarkan tentang kekerasan, bermusuhan, terpecah-belah dan bahkan melanggar norma-norma kemanusiaan. Agama sebagai counter kesadaran umat manusia untuk melindungi itu semua. Jadi, jika ada seorang “pendakwah” yang mengajarkan nilai-nilai agama yang memecah-belah, merusak, ujaran kebencian dan memperkeruh keadaan. Maka sebetulnya dia telah melanggar norma-norma dalam agama itu sendiri.

Karena keragaman yang ada merupakan kemutlakan dari Allah SWT untuk kita jaga, rawat dengan baik dan menjaga hubungan antar umat beragama agar tidak terpecah-belah dan melanggar kemanusiaan. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW mencontohkan kepada kita semasa di Madinah yang membentangkan toleransi dan bersatu untuk membangun “Civil society”. Beliau membangun persatuan bukan terpecah belah dan memberikan hak-hak kebebasan satu sama lainnya di dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

Hal ini dipertegas dalam Islam misalnya dalam Surat Al-Baqarah ayat 256: “La Ikraha Fiddin” Bahwa tidak ada (paksaan) dalam beragama. Artinya, keimanan, pengakuan dan penghayatan dalam suatu agama bukan berdasarkan “paksaan” seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan atau bahkan diskriminasi. Agar mereka mau mengikuti ajaran-Nya. Tentu patologi keimanan yang semacam ini hanya sia-sia belaka. Karena keimanan tersebut bukan berdasarkan hati, rasa dan kecintaan yang tulus. Tetapi karena sebuah keadaan darurat yang memungkinkan orang tersebut penuh dengan kepura-puraan.

Maka langkah paling preventive dalam agama adalah menjaga persatuan dengan membangun kesadaran toleransi. Serta mengupayakan dakwah-dakwah yang arahnya kepada kebaikan sosial, kemanusiaan dan pelestarian akan keragaman yang ada. Karena tidak ada paksaan dalam agama. Semua orang bebas memilih jalan keselamatan berdasarkan rasa percaya diri yang mereka miliki. Mereka juga boleh melakukan ibadah berdasarkan keyakinan yang dianut. Kita perlu berdamai dengan diri kita sendiri untuk memantapkan keimanan masing-masing. Bukan sibuk mengurusi akan keimanan orang lain.

Maka, apa yang disebut dengan keshalihan spiritual itu sejatinya akan berdampak baik kepada keshalihan sosial. Artinya, nilai-nilai agama itu sangat koheren dengan “imbas” positif kepada perilaku, rasa dan tindakan akan kebaikan bagi tatanan sosialnya. Karena tolak ukur dari seberapa besar manfaat keimanan seorang itu bisa kita tinjau seberapa besar itu bisa berpengaruh ke luar permukaan.

Tugas seorang pendakwah, adalah mengajak kepada kebaikan dan meninggalkan keburukan. Bukan memaksakan seseorang dengan cara-cara yang menyakitkan agar bisa pindah dan mengikuti ajaran-Nya. Karena yang memiliki hak prerogatif akan hidayah untuk seseorang bisa memeluk ajaran-Nya adalah Allah SWT itu sendiri. Itu pun bermula dengan dakwah atau ajakan-ajakan yang santun, penuh kasih dan menggembirakan.

Dari sini tampak sekali bahwa agama pada hakikatnya bukan alat untuk memecah belah atau menghancurkan akan kemanusiaan. Sekalipun itu mengatasnamakan akan sebuah ajaran-ajaran agama. Karena agama itu sendiri juga memberikan semacam “norma” bahwa tidak ada paksaan di dalam beragama yang mengacu kepada bentuk-bentuk kebebasan dan kehendak-Nya akan keragaman untuk dijaga dengan baik. Bagaimana agama pula sangat melarang akan perpecahan satu sama lainnya.

Tentu selain menjadikan nilai atau prinsip kesadaran akan keshalihan spiritual menuju keshalihan sosial. Agama juga memiliki ruh penting akan semangat kecintaan terhadap tanah air. Sebagaimana Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah fil Ard. Artinya, mandat akan (penerus) di muka bumi ini adalah bentuk-bentuk kesadaran “materil’ yang harus dimunculkan untuk mencintai tanah airnya. Agar terhindar dari kerusakan alam dan perpecahan sosial.

Sebagaimana yang diakibatkan oleh dakwah-dakwah yang mementingkan “ego” beragama. Sehingga melanggar hak prerogatif kehendak-Nya. Padahal, tidak ada paksaan dalam beragama. Tidak ada perpecahan karena agama dan tidak ada kebenaran untuk menghilangkan nyawa orang lain dengan mengatasnamakan agama. Karena agama adalah cinta kasih, keselamatan, kemanusiaan dan kepedulian.

Facebook Comments