Agama: Dialektika Antara Kebisingan dan Keheningan

Agama: Dialektika Antara Kebisingan dan Keheningan

- in Narasi
148
0
Agama: Dialektika Antara Kebisingan dan Keheningan

Peristiwa 9/11 konon adalah tonggak di mana dunia global tengah didera oleh gelombang deprivatisasi agama. Setelah sekian lama agama diletakkan di tempat sunyi oleh sekularisme, kemudian agama, pada banyak bidang kehidupan, seperti mendapatkan ruangnya kembali yang pernah tersisih oleh perkembangan sains dan teknologi di abad modern.

Sekularisme memang sangat tepat ketika menyisihkan agama sekedar di ruang-ruang privat ketika yang menjadi dasar adalah efektifitas dalam mengelola perbedaan, atau dengan kata lain mengeliminir sumber-sumber konflik yang tak pernah dapat diukur. Namun, yang ia lupa, dan hal ini terjadi di berbagai belahan dunia, sekonyol apapun agama ternyata dapat pula menjelma daya yang dapat cukup produktif untuk kehidupan. Taruhlah di dunia Islam dimana tasawuf atau sufisme justru menjadi elan bagi sebuah kebudayaan dan menjadi kiat dalam beragama yang lebih luwes dan toleran terhadap keberagaman.

Beruntunglah Indonesia yang sejak mula memang tak menaruh agama di pojok ruangan dan tak pula mengedepankannya di ruang publik. Konsep negara beragama pada dasarnya adalah sebuah perpaduan antara kelebihan sekularisme (yang dapat mengatasi radikalisme agama) dan negara agama (yang dapat mengatasi nihilisme modern). Namun, dalam beberapa kasus keberagamaan mutakhir, konsep negara beragama itu justru diobrakabrik oleh agama sendiri dan celakanya bukannya oleh gelombang deriligiusasi yang nyata memampang dalam perkembangan peradaban digital abad terkini.

Terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan orang beragama di hari ini terlihat konyol dalam meletakkan agama di tengah negara yang, sebagaimana yang disepakati, memilih beragama. Negara beragama, entah sengaja atau tak sengaja, terkesan dimengerti sebagai negara agama serupa negara Islam atau negara Katolik, dsb. Ketika yang dihidupkan adalah pemahaman seperti ini jelas yang berhak atas negara ini adalah agama yang bersangkutan. Konflik yang ada, tanpa pun orang perlu mengkampanyekan status negara beragama, justru membuktikan bahwa pemahaman yang demikian adalah tak tepat. Bukankah ketika ada konflik antaragama membuktikan bahwa Indonesia bukanlah negara agama, dimana ketika tak ada konflik barulah berstatus sebagai negara agama?

Kemungkinan lain, karena konsep negara beragama terancam oleh agama sendiri, tertinggal satu kemungkinan yang timbul: kedangkalan dalam memahami dan melakoni agama yang pada dasarnya merupakan dialektika antara kebisingan dan keheningan.

Untuk mengatakan bahwa agama itu bising adalah sama tak tepatnya dengan mengatakan bahwa agama itu sunyi. Bagi para pelaku agama yang sejati konon terdapat adagium yang menyatakan bahwa bagi mereka kebisingan dan kesunyian bukanlah sebuah perkara. Konon para pelaku agama yang sejati itu sudah pada tahap menemukan sebuah keramaian-dalam-kesunyian dan sebuah kesunyian-dalam-keramaian.

Kearifan dalam beragama yang seperti itulah yang pada dasarnya dibawa oleh konsep negara beragama sebagaimana yang diimani di Indonesia. Bukankah sebenarnya religiusitas kita masih rendah ketika masih merasa terganggu oleh suara adzan atau juga doa-doa kebaktian yang tengah dipanjatkan, ketika masih hirau pada bising dan sunyi dalam keberagamaan?

Facebook Comments