Mengelola “Kebisingan” Umat Beribadah

Mengelola “Kebisingan” Umat Beribadah

- in Narasi
69
0
Mengelola “Kebisingan” Umat Beribadah

Di tengah masyarakat multikultural seperti Indonesia, keragaman budaya, etnis dan agama sudah tidak bisa dipungkiri. Praktek budaya dan keyakinan sering lalu lalang di depan mata kita sebagai sebuah kewajaran. Kita bisa mentolerir itu semua hingga ujian sebenarnya muncul. Mampukah kita tolerir jika praktek yang berbeda itu dianggap menggangu ketenangan kita?

Persoalan kata ketenangan ini juga multitafsir, tentu sesuai kepentingan masing-masing kelompok. Apa maksud ketenangan sosial? Apakah orang yang sedang beribadah dengan suara keras dapat mengganggu ketenangan sosial? Apakah suara-suara Toa di masjid dianggap mengganggu ketenangan sosial?

Persoalan “kebisingan” (dalam tanda kutip untuk tidak memberikan asosiasi negatif) umat beribadah memang menjadi persoalan di tengah masyarakat yang multikultur. Bahkan, dalam masyarakat homogen saja, kebisingan umat terkadang dianggap menggangu di waktu yang tidak tepat, misalnya ada orang sakit yang membutuhkan istirahat cukup.

Konflik terkadang muncul akibat kebisingan ini. Dalam teori konflik realistis, misalnya, dinyatakan bahwa konflik antar kelompok yang berbeda terkadang muncul karena saingan sumber daya yang terbatas (limited resources). Persaingan memperebutkan ruang publik dengan suara-suara ibadah di lingkungan menjadi persoalan.

Kata “ketenangan” diperebutkan dalam relasi sosial antar masyarakat yang berbeda yang memunculkan diskriminasi dan pra sangka. Persoalannya memang karena keragaman sosial. Sangat jarang terjadi kebisingan dipersoalkan di tengah masyarakat yang homogen. Di kampung yang homogen atau di pesantren misalnya kebisingan tidak menjadi persoalan dan tidak dianggap menggangu ketenangan sosial.

Ketenangan ini menjadi sumber daya sosial yang diperebutkan dalam konteks relasi antar umat beragama. Kelompok yang merasa kalah atau merasa terenggut ketenangannya dalam perebutan itu harus melakukan tindakan yang bisa menimbulkan konflik.

Ruang-ruang yang terbatas di ruang publik ini memang diperlukan negosiasi dan dialog. Butuh kearifan untuk saling memahami dan saling menghormati. Egoisme dan kesombongan kelompok terkadang bangkit karena merasa dirinya sedang diserang dan didzalimi oleh orang yang sedang menguasai ruang publik.

Karena itulah, dalam Islam, Nabi saat sedang I’tikaf pernah menegor orang yang membaca al-Quran secara lantang yang dianggap bisa menganggu dan menyakiti yang lain. Nabi bersabda : ‘Ketahuilah, setiap kamu bermunajat kepada Tuhan. Jangan sebagian kamu menyakiti sebagian yang lain. Jangan juga sebagian kamu meninggikan atas sebagian lainnya dalam membaca.’ Atau ia berkata, ‘dalam shalat,’” (HR Abu Dawud).

Artinya, kebebasan beribadah bukan berarti ia bebas melakukan apapun tanpa menghiraukan kondisi sosial yang ada. Titik poinnya bukan pelarangan ibadah sebagaimana Nabi menegor sahabat, tetapi cara mereka harus mampu melihat kepentingan orang lain. Kata kepentingan orang lain ini patut digaris tebal agar tidak ada klaim kebebasan beragama yang seenak tafsirnya sendiri.

Karena itulah, persoalan kebisingan umat beribadah ini telah menjadi konsen berbagai pihak, termasuk pemerintah. Salah satunya misalnya persoalan aturan penggunaan pengeras suara rumah ibadah. Pengaturan ini bukan pelarangan dan pembatasan, tetapi semata untuk mengelola relasi sosial antar umat beragama. Tidak hanya di Indonesia bahkan di Timur Tengah sekalipun, persoalan pengeras suara ada aturannya.

Bukan hanya suara yang muncul dari pengeras suara, persoalan lain misalnya kegiatan ibadah dan tradisi keagamaan yang di rumah-rumah warga yang berpotensi menimbulkan kebisingan sosial harus menjadi kesadaran bersama. Sebagaimana kasus yang menimpa sejumlah mahasiswa Katolik yang sedang berdoa Rosario beberapa hari silam.

Tentu saja, harus ada ruang negosiasi dan dialog yang harus dikedepankan, bukan masalah prasangka dan kebencian yang muncul. Di tengah keragaman seperti itu, baik kedua belah pihak sejatinya mempunyai tanggungjawab dan hak yang sama untuk saling mendapatkan ketenangan. Ketenangan beribadah dan ketenangan masyarakat sekitar.

Cara keluar dari konflik realistis seperti itu kedua belah pihak harus bertemu dengan menemukan dan menyamakan hirarki tujuan yang lebih tinggi di atas tafsir kepentingan masing-masing. Artinya, dialog dan negosiasi harus dilakukan untuk menyamakan persepsi ada kepentingan bersama yang harus dijaga sehingga muncul aturan dan kesepakatan yang tidak mengekang peribadatan, tetapi juga tidak mengganggu ketenangan sosial.

Kasus yang terjadi di Pamulang bisa saja terjadi atau sedang terjadi di tempat lain, tetapi mereka mendiamkan dan hanya menyisakan kegondokan prasangka. Jika itu terjadi suatu saat akan meledak menjadi konflik seperti yang terjadi kemaren.

Dialog dan negosiasi harus dilakukan dalam area konflik seperti itu. Tidak boleh ruang itu diisi dengan pra sangka dan klaim saling menang sendiri. Kepentingan masing-masing harus dinegosiasikan dengan menyamakan tujuan dengan hirarki yang lebih tinggi yang dapat dicapai bersama.

Facebook Comments