Secara historis, tak dapat dimungkiri bahwa lahirnya agama-agama yang ada tak lain adalah untuk ‘menegakkan kebaikan’ dan ‘memerangi kemungkaran’. Itulah ajaran universal atau universalisme dari setiap agama itu sendiri. Dalam kamus pengetahuan umum, hal itu dikenal dengan ajaran moral yang melekat pada diri setiap manusia. Dan, kata Thomas Aquinans, perintah paling dasar dari moral itu sendiri adalah melakukan kebaikan dan tidak melakukan kebaikan. Jadi, terlepas dari ritual-ritual keagamaan yang bersifat khusus, seperti shalat, misalnya, dalam Islam, secara universal beragama itu sejatinya sederhana, yakni cukup berbuat baik dan tidak melakukan hal-hal buruk yang dapat merugikan orang lain. Itu saja.
Dalam konteks kekinian, guna untuk menegakkan kebaikan dan memerangi keburukan itu, yang merupakan ajaran paling fundamental dari setiap agama itu, adalah dengan cara menaati hukum agama dan hukum negara itu sendiri. Keduanya harus sama-sama ditaati. Sebab, kedua-duanya sama-sama punya misi menegakkan kebaikan dan memerangi keburukan, baik hukum agama maupun hukum negara itu sendiri. Karena itu, dapat dipastikan, setiap orang yang taat kepada hukum agama secara baik dan sempurna, hal itu akan meniscayakan orang tersebut untuk juga turut serta taat pada hukum negara. Sebab, orang yang taat pada setiap hukum agama secara baik, ia mesti sadar bahwa melawan dan membangkang terhadap hukum negara sudah pasti akan menciptakan kekacauan, karena hukum negara lahir adalah untuk kebaikan bersama, karena itu, orang tersebut tidak akan menentang hukum negara.
Jadi, adalah sebuah kesalahan fatal, jika kita dengan dalih ingin menegakkan hukum agama, atau mengaku taat kepada hukum agama jika pada kenyataannya tidak taat pada hukum negara yang merupakan konsensus bersama untuk menciptakan kebaikan untuk semua. Sekali lagi, itu adalah kesalahan fatal. Sebab, seperti disinggung di atas, adalah tidak mungkin orang yang secara sempurna taat pada hukum agama akan bersedia membangkang kepada hukum negara yang secara umum juga punya kesamaan misi, yakni menegakkan kebaikan dan memerangi keburukan. Jadi, membangkang itu bukanlah jalan yang terbaik. Pun, misal, hukum negaranya bermasalah, tak ada pintu bagi pembangkangan itu.
Jika hukum kenegaraannya dirasa memang betul-betul bermasalah, dan cenderung lemah dalam menegakkan kebaikan (keadilan) dan berpotensi melahirkan keburukan (ketidakadilan), maka bicarakanlah semuanya secara baik-baik—Islam menyebutnya dengan istilah ‘musyawarah’—untuk mencari solusi dan jalan keluarnya. Bukan dengan cara melakukan pembangkangan. Pembangkangan bukalah jalan terbaik dan tidak diajarkan oleh agama-agama yang ada.