Agenda Global Rajab; Romantisasi Khilafah di Tengah Gejolak Geopolitik Global

Agenda Global Rajab; Romantisasi Khilafah di Tengah Gejolak Geopolitik Global

- in Narasi
25
0
Agenda Global Rajab; Romantisasi Khilafah di Tengah Gejolak Geopolitik Global

Memasuki bulan Rajab, sel-sel Hizbut Tahrir di seluruh dunia bergeliat. Termasuk para simpatisannya di Indonesia. Rajab memang menjadi bukan istimewa bagi kaum pemuja khilafah ini. Jika golongan Ahlussunnah menganggap Rajab sebagai pintu masuk Ramadan, simpatisan HT justru menganggapnya sebagai bukan revolusi.

Rajab menjadi pengingat jatuhnya kekhalifahan Usmaniyah di Turki. Sehingga Rajab selalu dijadikan momentum untuk mengampanyekan kembalinya khilafah di muka bumi. Hizbut Tahrir sendiri menyebut kampanyenya sebagai “Agenda Global Rajab”.

Peringatan jatuhnya kekhalifahan Usmaniyah yang terjadi lebih dari seabad ini dilakukan melalui beragam kegiatan. Antara lain halaqah, seminar, talk show, dan lain sebagainya. Kegiatan itu ada yang digelar secara daring, dan ada pula yang dilakukan luring. Tentu dengan berkamuflase demi mengelabuhi aparat keamanan.

Di tahun 2025 ini, Agenda Global Rajab yang dimotori Hizbut Tahrir tampaknya berusaha menunggangi isu geopolitik global. Terutama peperangan antara Rusia dan Ukraina. Konflik Palestina dan Israel. Serta jatuhnya rezim Bashar Al Assad di Suriah. Kondisi geopolitik global yang diwarnai gejolak di sejumlah wilayah itu di-framing ke dalam narasi kekalahan umat Islam.

Menunggangi Isu Politik Kontemporer

Bagi Hizbut Tahrir, perang Rusia dan Ukraina adalah kelanjutan dari ekspansi Rusia menaklukkan negara-negara tetangga. Setelah sebelumnya mereka mencaplok Crimea. Penaklukan Crimea oleh Rusia menandakan kekalahan Islam, karena sebagian penduduk Crimea terutama suku Tatar adalah muslim.

Konflik Israel dan Palestina juga diframing oleh Hizbut Tahrir sebagai kekalahan dunia Islam menghadapi kekuasaan Barat yang sekuler dan kafir. Bagi Hizbut Tahrir, negara-negara Islam saat ini dikuasai oleh ruwaybidah, yakni kelompok yang menjadi boneka kekuatan asing. Penguasa ruwaybidah ini lebih cenderung membela kepentingan Barat ketimbang memperjuangkan umat Islam.

Hizbut Tahrir lantas mem-framing kemenangan milisi jihadis di Suriah sebagai semacam inspirasi agar umat Islam di seluruh dunia mereplikasi apa yang terjadi di Suriah. Mereka juga mengglorifikasi kemenangan Suriah sebagai awal kebangkitan khilafah.

Agenda Global Rajab yang digaungkan Hizbut Tahrir ini pada dasarnya tidak lebih dari sebuah Romantisasi Khilafah. Sebuah upaya membangun imajinasi bahwa masa lalu Islam di bawah khilafah adalah periode paling ideal dalam sejarah. Romantisasi khilafah ini bertujuan agar umat Islam bersimpati pada gerakan Hizbut Tahrir dan mendukung kembalinya khilafah di era modern ini.

Romantisisasi barangkali adalah satu-satunya modal Hizbut Tahrir untuk meyakinkan umat Islam agar mendukung kembalinya khilafah. Hizbut Tahrir tidak mampu menggaransi masa depan dunia Islam jika khilafah benar-benar berdiri. Alih-alih, Hizbut Tahrir hanya menyodorkan fakta sepenggal bahwa di masa kekhalifahan, dunia Islam pernah menikmati masa jaya.

Romantisme Khilafah Tidak Mengubah Keadaan Islam

Dalam teori perubahan sosial, romantisasi itu nyaris tidak ada signifikansinya dalam transformasi sosial-politik. Glorifikasi sejarah masa lalu tidak akan berdampak apa pun pada perubahan saat ini. Lantaran, pada dasarnya sejarah peradaban manusia itu dinamis. Sebuah ideologi politik bisa saja sukses mengantarkan sebuah negara atau bangsa di puncak kejayaan. Namun, ketika zaman berganti, ideologi tersebut bisa jadi justru menjadi problem bagi umat manusia.

Sebagai contoh, di era 60-70an, komunis dianggap sebagai ideologi yang kuat dan mampu menghadirkan kesejahteraan bagi negara atau bangsa yang mengadaptasinya. Di masa jayanya, negara-negara komunis, seperti Ini Sovyet dikenal sangat kuat. Bahkan, Uni Sovyet memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Pasca keruntuhan Uni Sovyet, ideologi sosialisme komunisme pun bangkrut. Di masa sekarang, ideologi komunis justru menjadi momok menakutkan bagi mayoritas warga dunia.

Demikian pula dengan ideologisl khilafah. Di fase Abad Pertengahan Islam, khilafah memang mampu mengantarkan dunia Islam ke puncak peradaban. Namun, pasca runtuhnya Turki Usmani, khilafah justru lebih sering menjadi ancaman, ketimbang harapan bagi umat Islam.

Seperti kita tahu, agenda mengembalikan khilafah berbanding lurus dengan meningkatnya angka teror dan kekerasan di dunia Islam. Dimana ada gerakan khilafah, disitulah kekerasan dan teror mewabah.

Romantisasi khilafah dengan mendompleng gejolak geopolitik global sudah sepatutnya diabaikan. Romantisasi khilafah tidak akan menyelesaikan krisis politik di sejumlah wilayah, apalagi mengubah tatanan global. Kemandirian dunia Islam tidak akan terwujud dengan berdirinya khilafah.

Sebaliknya, kemandirian Islam itu dibentuk dengan membangun kualitas umat Islam itu sendiri. Pendidikan yang berorientasi pada penguasaan teknologi masa depan, seperti Articial Intellegence, Internet of Things, dan sejenisnya harus dikembangkan bagi generasi muda muslim.

Tidak hanya itu, membangun karakter yang moderat dan progresif juga mutlak untuk membangun kemandirian dunia Islam di masa depan. Generasi yang progresif itu mengupayakan perubahan dengan menatap ke depan. Sebaliknya, generasi regresif selalu melihat ke belakang, salah satunya dengan merantisasi khilafah.

Facebook Comments