Akhir-akhir ini di Youtube banyak perdebatan tentang akidah yang sampai pada tahap memvonis kafir atau syirik, setelah beberapa tahun lamanya kita diuji dengan perdebatan fikih-bid’ah yang juga berujung pada vonis tersebut. Saya kira mungkin ada sebuah misi besar di balik fenomena-fenomena yang terjadi pada kita ini. Setelah menyerang sisi fikih dan akidah, kemudian apalagi kira-kira yang akan kita hadapi yang nantinya akan berimbas pada vonis kafir.
Tapi kalau mau diteliti lagi, perdebatan sengit netizen di mana pun ujungnya adalah sebuah vonis. Mulai dari perbedaan politik, perbedaan fikih, perbedaan pemahaman dan lain-lain. Kenapa harus ditarik ke araf kafir-syirik?
Dulu Menyerang Sekarang Berlagak Jadi Korban
Jika kita kembali pada puluhan tahun yang lalu. Ada sekelompok orang yang tiba-tiba datang membawa semangat pemurnian agama. Mereka menyalahkan segala amal-amal yang biasa dilakukan oleh orang Islam di Indonesia. Untuk menghindari generalisasi, saya katakan bahwa beberapa orang dari kelompok tersebut memvonis pelaku amalan bid’ah sebagai orang yang tersesat. Namun ada juga beberapa orang dari mereka yang tidak tanggung-tanggung memvonis kafir.
Pemurnian tersebut menjadi sebuah keresahan sosial yang dulu mungkin tidak terlalu besar, sebab penyebaran informasi tidak semudah pada hari ini. Tentu saja, ada yang mulai tertarik dengan mereka dan ada yang masih teguh mempercayai bahwa amalan-amalan yang biasa muslim Indonesia lakukan bukan lah kesesatan, kekafiran atau kesyirikan.
Mereka datang seakan membawa kunci surga dan mencari daftar orang yang mau masuk surga bersama mereka. Keresahan ini semakin menjadi-menjadi ketika pemurnian ini menjadi konflik di sebuah keluarga yang kemudian merembet ke masyarakat. Karena melihat hal tersebut, beberapa cendekiawan muslim membela orang-orang Islam di Indonesia dan mengatakan bahwa amalan-amalan mereka selama ini bukan lah kesesatan dengan membawa dalil-dalil yang kuat.
Setelah usaha-usaha kelompok tersebut terbantahkan oleh dalil-dalil yang dibawa cendekiawan Islam Indonesia, kelompok tersebut mencoba mencari jalan dalam memberikan vonis. Kali ini melalui jalur akidah. Sekali lagi, mereka menghembuskan nafas-nafas keresahan yang membuat orang awam bingung. Saya kira mereka suka terhadap vonis dan label. Mereka menyebut kafir dan sesat juga orang yang berselisih paham dengan mereka. Namun, sekali lagi cendekiawan muslim Indonesia yang ingin menjaga perdamaian mencoba memberikan dalil tandingan.
Dengan beradu argumen, kelompok tersebut merasa dituduh sebagai orang kafir dan sesat oleh cendekiawan muslim Indonesia. Mendadak, mereka lupa tentang apa yang mereka lakukan dalam beberapa puluh tahun lalu. Dulu mereka memvonis kafir sekarang mereka merasa jadi korban vonis kafir. Dengan strategi itu, mereka menyerang bahwa orang yang beradu argumen dengan mereka suka memvonis kafir.
Perilaku playing victim ini tidak mencerminkan mental Islam. Jika mereka mengaku sangat berperilaku Islami mereka telah melanggar akhlak Islam. Selain, menunjukkan ketauhidan dan ibadah, Islam datang untuk menyempurnakan mental. Sehingga mental bisa membangun peradaban yang baik. Playing Victim bukanlah manhaj salaf.
Islam Berbudaya Adalah Manhaj Salaf
Islam adalah agama yang ajarannya mempunyai nilai-nilai universal. Bagi orang yang berakal sehat dan mempunyai hati nurani yang waras, tentu ajaran-ajaran Islam ini sangat diterima. Islam datang untuk membangun mental masyarakat di mana ia singgah sehingga bisa membangun peradaban.
Misi peradaban Rasulullah saw. bukanlah sesuatu yang dimulai dari nol. Bukan pula membangun dari awal. Tetapi lebih memperbaiki hal-hal yang belum layak, melestarikan hal-hal yang sudah baik dan mengkreasikan terobosan yang tentu saja baik untuk kemaslahatan masyarakat. Oleh sebab itu, Islam tidak menghapus semua tradisi dan budaya yang sudah berlaku sejak zaman Jahiliyah. Islam datang dengan adil dalam menilai suatu produk budaya.
Umat Islam pun harus demikian. Jika umat Islam mengaku bermanhaj salaf (yaitu orang-orang yang ada di masa sahabat dan tabiin) maka umat Islam itu perlu mengkaji metode para sahabat dan tabiin dengan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman yang disebabkan oleh kedangkalan dalam mengkaji ulang.
Manhaj adalah suatu metode, bukan suatu pendapat atau perkataan. Sebab suatu perkataan atau pendapat yang pada masanya dianggap hal yang sudah benar, ketika terjadi perkembangan zaman dan kondisi, pendapat atau perkataan tersebut bisa jadi tidak relevan lagi. Manhaj adalah sebuah metode. Dengan menggunakan suatu metode, maka pendapat yang dihasilkan dari metode tersebut akan bersifat relevan.
Mengaku bermanhaj salaf mempunyai konsekuensi untuk mempelajari tabiat sahabat, kondisi budaya di masa itu, konflik di masa itu dan lain-lain. Bagi kita tidak mungkin untuk mempelajari semua hal tersebut tanpa perantara dari guru. Maka kita perlu seorang murid dari sahabat untuk mengajari muridnya dan muridnya tersebut mengajari seorang murid yang berkualitas dan nantinya sampai pada kita. Itu yang dimaksud dengan sanad keilmuan. Bermanhaj salaf artinya mempunyai sanad keilmuan, karena kadang yang kita baca dari buku saja akan bisa menimbulkan salah paham. Karena di dalam buku tidak bisa berdialog. Jika sudah bersanad, maka tidak akan terjebak pada pemahaman tekstual semata. Oleh sebab itu penting menjaga sanad, karena di dalam sanad terdapat mental, emosi dan sosio-kultural yang tidak bisa didapatkan dari membaca teks.
Jika, berfikir sekali lagi, banyak sekali tradisi-tradisi orang Arab kuno di masa Jahiliyah yang tidak ditentang oleh Islam. Seperti tradisi perjamuan untuk tamu. Menghormati tamu adalah tradisi kuno yang tetap dilestarikan. Islam mempunyai nilai-nilai universal sehingga tidak kaku dalam berhadapan dengan lokalitas dan modernitas. Islam tidak menolak lokalitas maupun modernitas. Menjaga budaya yang baik dan mempebaiki dan membenahi budaya yang tidak baik adalah manhaj salaf yang sebenarnya.
Pemahaman-pemahaman tentang Islam yang tidak hanya berpaku pada teks membuat kita lebih konsisten dalam penderian kita dalam memandang suatu masalah dalam agama. Dengan begitu, kita bisa lebih bijak dan lebih adil dalam menimbang dan menakar masalah. Bukan malah buru-buru memvonis. Sebab membaca teks yang tidak mempunyai unsur emosi kadang bisa memberi pengaruh yang salah dalam pemahaman karena pembaca saat itu mempunyai pemahaman emosi yang berbeda. Apakah kita sudah berani mengaku bermanhaj salaf tanpa tahu apa-apa tentang perilaku sahabat dan tabiin, metode mereka, karakter masing-masing mereka, keadaan sosial-budaya di masa mereka?