“Siapa dapat mengatakan menjadi muslim bergolak dan pemberontak seperti Ahmad Wahib ini lebih rendah kadar dari ‘kemusliman’ mereka yang tidak pernah mempertanyakan kebenaran agama mereka sekalipun?”
Ini pernyataan Gus Dur memberikan komentar terhadap buku “Pergolakan Pemikiran Islam” karya Ahmad Wahib yang disunting oleh Djohan Efendi dan Ismed Natsir, terbitan LP3ES tahun 1993. Gus Dur memberikan apresiasi tinggi kepada Wahib atas naluri pembaharuannya dalam pergolakan pemikiran Islam. Wahib sosok anak muda yang menggugah dan menggugat anak muda, khususnya mahasiswa, agar tetap menggunakan akal sehatnya dengan kritis dalam membaca setiap hal.
Wahib lahir di Sampang Madura pada 9 Nopember 1942 dan wafat di Jakarta pada 31 Maret 1973. Ketika meninggal, Wahib berstatus secara calon reporter majalah Tempo. Ia dikenal sebagai anak muda kritis dan sangat berani mengkritik penguasa. Kepada para mahasiswa, Wahib mewariskan catatan harian yang fenomenal tersebut, “Pergolakan Pemikiran Islam (PPI)”. Bagi mahasiswa tahun 1990-an dan awal 2000-an, PPI menjadi buku utama dalam mengasah nalar berfikir. Karena buku ini bukan saja mempertanyakan eksistensi manusia, juga mempertanyakan eksistensi Tuhan. Dengan lantang Wahib menyatakan, ”Tuhan bukanlah daerah terlarang dalam pemikiran.”
Tentu saja, buku PPI karya Wahib ini bukan sekedar celoteh biasa. Ini wujud kejujuran anak muda dalam membangun nalar berfikirnya dalam berbangsa dan bernegara. Mahasiswa tidak hanya sibuk dengan ritunitas kampusnya, tetapi mengasah nalar dan akal sehatnya dalam menggugat sekian banyak kejanggalan dalam kehidupan.
Berbeda dengan Soo Hok Gie, Wahib lahir dari keluarga santri tradisional. Ia merasa seluruh kesadaranya pada segala realitas memerlukan rasionalisasi. Ia bukan sosok seperti Gie yang hidup dalam dinamika politik. Sosok wahib identik dengan kiprahnya sebagai sesosok pengader di HMI cabang Yogyakarta, ia selalu meresahkan segala hal yang dilihatnya tidak rasional dalam perilaku beragama umat islam.
Wahib resah, dan keresahan itu didasari atas kekakuan dan kejumudan pada dogmatisasi agama yang mengantarkan agama tidak lagi menjadi wahana penyadaran dan bangunan prinsip moral, melainkan sekedar menjadi alat legitimasi politik kekuasaan. Agama justru dijadikan dan direproduksi oleh elite umat Islam sebagai alat mobilisasi politik. Wahib memang tidak terlibat dalam perdebatan politik praktis, tetapi Wahib sangat kritis ketika agama hanya dijadikan kendaraan dalam politik kekuasaan.
Inspirasi Mahasiswa
Masa mahasiswa adalah masa pergolakan. Tetapi masa ini jangan sampai dipahami secara sempit, sehingga terjebak dalam gerakan radikal yang merugikan bangsa dan negara. Masa pergolakan pemikiran justru harus banyak menimba ilmu dari para guru yang mempunyai visi gerakan yang terukur dalam membangun bangsa dan negara. Mahasiswa jangan terjebak dengan “halusinasi” akan negara khilafah yang disodorkan tanpa ada dasar yang kuat.
Wahib memang bukan “panutan” bagi mahasiswa, karena dia sendiri belum selesai menemukan kebenaran yang ia yakininya. Tetapi Wahib menjadi inspirasi sangat menarik bagi mahasiswa, karena catatan hariannya saja bisa memunculkan pergolakan yang sangat menantang. Wahib sosok yang konsisten yang sulit tergantikan sebagai sebuah proses pencarian kebenaran. Merefleksi Wahib sebagai seorang pengembara pemikiran adalah refleksi atas seberapa jauh kita telah menyelesaikan soal-soal prinsip pada diri kita.
Di tengah arus gerakan radikal yang makin berkembang di kampus, mahasiswa harus mempunyai rujukan dalam berfikir dan bergerak. Wahib menjadi salah satu rujukan itu. Menurut Abdul Aziz (2014), Islam modern, serta materialisasi nilai keagamaan yang sesuai dengan konteks kekinian, selalu mendominasi pikiran Wahib dalam proses pencarian jati diri mencari akan hakikat kebenaran, yakni kebenaran menurut Sang Pencetus Nilai, yakni Allah. Wahib meyakini, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat berkembang, maka seharusnya, menurut dia, hukum-hukum Islam juga berkembang. Yang halal dan haram saat ini, seharusnya tidak sama dengan ketentuan halal dan haram pada tiga abad lalu. Pandangan Wahib ini bertumpu pada konsep teologi bahwa kemutlakan hanya milik Allah, sedangkan segala seuatu selain Allah adalah nisbi dan selalu mengalami perubahan, karena hukum dasar segala yang ada selain Allah adalah perubahan itu sendiri.
Ini jelas sangat inspiratif bagi mahasiswa. Wahib mempunyai kekhasan yang sangat menarik dalam pencarian jati diri kaum muda. Pertama, sosok anak muda yang gelisah. Dalam hal ini, Wahib tidak suka menerima segala hal apa adanya. Harus dipertanyakan dengan jelas dan tegas. Apapun dalil agama jangan hanya diterima semata, harus dirasionalisasi secara utuh dan matang. Ini khas anak muda yang sangat tepat bagi mahasiswa. Jangan sampai ide khilafah kemudian ditelan mentah-mentah, asal dibunyikan tanpa tahu maksudnya. Kedua, menggunakan akal sehat dengan seluas-luasnya. Ini contoh anak muda berani menggugat berbagai kemapanan. Bahkan kemapanan kekuasaan berani ia gugat kalau itu memang melenceng dari kebenaran.
Pergolakan Radikalisme
Hari ini, ideologi radikal makin tumbuh subur di kampus, bahkan di berbagai sekolah. Hasil riset dari LIPI dan Kemenag telah mengabarkan itu semua. Ini jelas sangat berbahaya. Kalau Wahib melahirkan pergolakan pemikiran Islam, sekarang yang lahir malah pergolakan radikalisme di kampus. Ini alarm serius bagi semua civitas akademika di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Buya Syafi’i Ma’arif (2017) memberikan alarm keras akan hadirnya lonceng bahaya bagi NKRI. Untung saja, lanjut Buya Syafi’i, masih ada suara lantang dari mahasiswa PTKIN se-Indonesia (dibawah Kemenag) di UIN Ar-Raniry di Aceh yang mendeklarasikan teguh untuk setia dengan Pancasila dan NKRI. Padahal, sebelumnya mahasiswa di IPB juga mendeklarasikan khilafah. Alarm bahaya ini harus disikapi dengan serius, karena pergolakan radikalisme di kampus akan mengancam masa depan bangsa.
Wahib menjadi spirit anak muda/mahasiswa dalam merefleksikan berbagai pergolakan ini dengan akal sehat. Mahasiswa harus menggunakan akal sehat dengan seutuhnya, tidak asal katanya. Akal sehat tidak terjebak dalam formalisme. MT Ilahi (2010) menegaskan bahwa Wahib sangat lantang menyuarakan kebebasan sebagai bagian dari pluralisme di Indonesia. Makanya, kecewa akan kondisi umat Islam saat itu, yang menurutnya belum mampu menerjemahkan kebenaran Islam dalam suatu program. Antara cita dan kenyataan masih jauh jaraknya.
Dalam pandangan Wahib, agama (Islam) telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia, dus terpisahnya agama dari masalah dunia. Jadi tanpa disadari, umat Islam telah menganut sekularisme, meskipun dengan lantang sering menentang sekularisme. Dalam hal ini, apa yang dikatakan Wahib, sesungguhnya tidak lebih dari kritik pedas yang ditunjukkan kepada ummat Islam yang diyakininya tidak mampu mengaplikasikan nilai-nilai ajaran agama. Terbukti, ummat Islam sampai saat ini masih belum menerima secara lapang dada keberadaan agama-agama yang ada di Indonesia.
Pergolakan radikalisme harus disudahi, diganti dengan pergolakan pemikiran dalam menjaga konsistensi mahasiswa untuk terus bersikap kritis atas segala hal. Tetapi dalam konteks berbangsa dan bernegara, mahasiswa harus sadar bahwa Pancasila dan NKRI adalah warisan perjuangan para pendiri bangsa, tidak asal terjebak dalam ide khilafah.
Wahib menjadi ciri anak muda yang sangat menarik. Mahasiswa jangan mudah tergoda dengan cantiknya formalitas, lupa dengan substansi yang diperjuangkan untuk kemajuan NKRI.