Konsep i’dād, atau persiapan kekuatan, dalam diskursus keagamaan sering kali dilepaskan dari konteks historisnya. Gambaran umum meliputi persiapan fisik, latihan militer, hingga penguasaan persenjataan klasik. Wacana ini, yang ditarik secara literal dari konteks historis abad ke-7, kerap dipahami sebagai kewajiban individual.
Namun, aplikasi pemahaman literalistik ini pada konteks Indonesia abad ke-21 berpotensi menimbulkan disorientasi strategis. Ia bukan hanya keliru secara kontekstual, tetapi juga berisiko mengalihkan sumber daya kolektif dari medan perjuangan yang sesungguhnya. Hal ini menuntut sebuah pertanyaan fundamental: apa bentuk i’dād yang paling relevan dan mendesak untuk Nusantara saat ini?
Sebuah analisis kritis terhadap Surah Al-Anfal ayat 60, yang menjadi dalil utama wacana ini, menunjukkan bahwa perintah mempersiapkan kekuatan (quwwah) diturunkan kepada sebuah komunitas politik yang baru terbentuk dan terancam eksistensinya.
وَأَعِدُّوا۟ لَهُم مَّا ٱسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ ٱلْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”
Tujuan instruksi tersebut bukan untuk agresi, melainkan untuk membangun kapasitas pencegahan (deterrence) agar pihak lawan mengurungkan niat menyerang. Lebih krusial lagi, ayat ini tidak dapat dipisahkan dari ayat berikutnya (Al-Anfal: 61), yang secara tegas menginstruksikan untuk menerima perdamaian jika pihak lawan menawarkannya.
وَإِن جَنَحُوا۟ لِلسَّلْمِ فَٱجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْعَلِيمُ
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dengan demikian, esensi dari i’dād bukanlah semata persiapan perang, melainkan upaya membangun kekuatan komprehensif untuk menjaga kedaulatan dan mencapai perdamaian yang bermartabat. Kata quwwah (kekuatan) itu sendiri bersifat dinamis. Jika pada masa awal Islam ia dimanifestasikan sebagai panah dan kuda, teknologi militer termutakhir saat itu, maka quwwah hari ini harus dimaknai sebagai elemen-elemen kekuatan kontemporer yang menentukan kapabilitas sebuah bangsa.
Ancaman yang mengintai kedaulatan Nusantara hari ini tidak lagi (hanya) berbentuk agresi militer asing di perbatasan. Ancaman tersebut telah berevolusi, bersifat internal, dan mampu menggerogoti fondasi bangsa dari dalam. Kegagalan mempersiapkan kekuatan untuk melawan ancaman seperti kebodohan struktural dan perpecahan sosial dapat meruntuhkan kedaulatan bangsa tanpa memerlukan intervensi militer eksternal.
Oleh karena itu, i’dād untuk Nusantara harus diwujudkan sebagai sebuah jihad peradaban. Ini meliputi i’dād intelektual untuk melawan kebodohan, di mana realitas kapasitas sumber daya manusia Indonesia masih menghadapi tantangan serius. Persenjataan dalam medan ini adalah reformasi pendidikan, implementasi kurikulum yang mengasah nalar kritis, dan peningkatan kualitas tenaga pendidik.
Selain itu, yang menjadi benteng pertahanan paling krusial, adalah i’dād kebangsaan untuk melawan perpecahan. Kekuatan terbesar Nusantara terletak pada fondasi Bhinneka Tunggal Ika, sehingga ancaman utamanya adalah intoleransi, politisasi identitas, dan narasi kebencian yang merobek tenun kebangsaan.
Kegagalan dalam i’dād sosial inilah yang membuka pintu bagi ancaman disintegrasi. Konflik berkepanjangan di Sudan, serta preseden di Suriah, Libya, dan Yaman, merupakan contoh tragis dari kolapsnya negara. Faktor utamanya bukan hanya lemahnya institusi negara, tetapi juga identitas di tingkat akar rumput yang terfragmentasi sehingga sangat rentan untuk dimobilisasi oleh aktor-aktor konflik.
Dibandingkan Sudan, struktur demografis dan geografis Indonesia sejatinya menghadirkan kerentanan yang lebih kompleks terhadap upaya pemecahbelahan. Tantangan ini dieksploitasi oleh narasi propaganda transnasional yang mengusung ilusi Ukhuwah Global atau Persatuan Muslim. Narasi ini secara sistematis diglorifikasi dan dibenturkan secara diametral dengan ideologi konsensus nasional, Pancasila. Pola ini mengulang apa yang disaksikan saat gelombang migrasi teroris ke Suriah beberapa tahun lalu.
Sebagai contoh konkret, propaganda terbaru ISIS melalui majalah An Naba (edisi 2025), yang diamplifikasi oleh jaringan lokal seperti JAD, secara spesifik mengajak kombatan untuk “berjihad” ke Sudan. Ini adalah taktik eksploitasi isu kemanusiaan di satu negara untuk merekrut, memecah belah, dan mendelegitimasi negara asal perekrut.
Narasi disintegrasi ini bekerja dengan mengusik identitas kebangsaan yang majemuk. Secara ironis, langkah pertama untuk mewujudkan mimpi persatuan global tersebut justru menuntut pengikutnya untuk membenci tetangga yang berbeda pandangan dan melabeli sesama anak bangsa yang tidak sejalan sebagai musuh.
Jika kedaulatan NKRI runtuh akibat kegagalan i’dād kebangsaan ini, yang akan terjadi bukanlah kejayaan yang diimajinasikan, melainkan perang antarsuku dan antar-kelompok sebagaimana yang terjadi di negara-negara tersebut. Publik tidak boleh kembali terperdaya oleh propaganda yang dilancarkan oleh kelompok seperti ISIS di Irak dan Suriah.
Panggilan i’dād hari ini bukanlah seruan untuk memanggul senjata, melainkan panggilan untuk memikul tanggung jawab peradaban. Kekuatan sejati sebuah bangsa tidak diukur dari arsenal militernya, melainkan dari kualitas sumber daya manusianya dan soliditas sosialnya.
Narasi persatuan nasional tidak dapat lahir ketika fanatisme golongan menjadi lebih penting daripada identitas kebangsaan. I’dād yang sesungguhnya untuk Nusantara adalah persiapan kolektif untuk menjadikan Indonesia bangsa yang cerdas dan bersatu, yang terikat murni oleh identitas nasionalnya.
