Apakah Ada Hadis yang Menyuruh Umat Muslim “Bunuh Diri”?

Apakah Ada Hadis yang Menyuruh Umat Muslim “Bunuh Diri”?

- in Keagamaan
19
0
Apakah Ada Hadis yang Menyuruh Umat Muslim “Bunuh Diri”?

Jawabannya ada.

Tetapi saya akan berikan konteks terlebih dahulu. Saya tergelitik oleh sebuah perdebatan liar di platform Facebook beberapa waktu lalu. Adu komentar ini muncul berbarengan dengan konflik senjata antara Thailand-Kamboja dan tak lama berselang gesekan di Pemalang pecah.

Bukan bermaksud mengkaitkan perdebatan itu dengan dua kejadian di atas, tetapi tampaknya isunya sangat relate karena yang menjadi objek “diskusi” adalah persoalan bunuh diri, halal atau haram.

Akun yang mengatakan bahwa bunuh diri bukan ajaran Islam sudah berupaya memaparkan dalil berikut rujukan dan referensinya. Akun lain yang notabene adalah rival debatnya juga berupaya memberikan counter yang tampaknya tidak didasari basis dalil yang kuat.

Dalilnya “pro bom bunuh diri” berkutat pada dua ayat, QS. Al-Baqarah; 207 dan QS. At-Taubah; 111. Berangkat dari dua ayat itu, ia lantang mengatakan bahwa bom bunuh diri adalah bagian dari upaya mencari status syahid (amaliyah isytisyhad). Bom bunuh diri sebagai amaliyah isytisyhad adalah bagian dari ajaran Islam, bahkan sunnah Nabi Muhammad.

Mari kita uji. Secara redaksional dan praktik, bom bunuh diri memang tidak ditemukan dalam sejarah peradaban Islam klasik. Tetapi ditemukan beberapa hadis sahih yang menyiratkan kebolehan “mengorbankan diri” ini. Salah satunya adalah hadis yang termaktub dalam Sahih Muslim berikut;

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُفْرِدَ يَوْمَ أُحُ فِي سَبْعَةٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَرَجُلَيْنِ مِنْ قُرَيْشٍ فَلَمَّا رَهِقُوهُ قَالَ «مَنْ يَرُدُّهُمْ عَنَّا وَلَهُ الْجَنَّةُ أَوْ هُوَ رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ» فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ ثُمَّ رَهِقُوهُ أَيْضًا فَقَالَ «مَنْ يَرُدُّهُمْ عَنَّا وَلَهُ الْجَنَّةُ أَوْ هُوَ رَفِيقِي فِي الْجَنَّةِ» فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ فَلَمْ يَزَلْ كَذَلِكَ حَتَّى قُتِلَ السَّبْعَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِصَاحِبَيْهِ ;مَا أَنْصَفْنَا أَصْحَابَنَا

Artinya,

“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

Bahwa Rasulullah pada saat Perang Uhud hanya didampingi oleh tujuh orang dari kaum Anshar dan dua orang dari kaum Quraisy. Ketika musuh berhasil mendekat dan menyerang beliau, beliau bersabda, “Siapa yang dapat menahan serangan mereka, maka baginya surga,” atau beliau bersabda, “Dia akan menjadi temanku di surga.”

Maka majulah seorang laki-laki dari kaum Anshar, lalu ia berperang hingga gugur. Kemudian musuh mendekat lagi, dan beliau kembali bersabda, “Siapa yang dapat menahan serangan mereka, maka baginya surga,” atau “Dia akan menjadi temanku di surga.”

Maka majulah seorang laki-laki dari kaum Anshar, lalu ia berperang hingga gugur. Demikianlah seterusnya hingga ketujuh orang Anshar itu gugur.

Maka Rasulullah bersabda kepada kedua sahabatnya (yang dari Quraisy), “Kita tidak berlaku adil terhadap sahabat-sahabat kita (kaum Anshar).”

Hadis di atas pasti membuat para pendukung bom bunuh diri kegirangan. Ia berasa dalil AL-Qur’annya terjustifikasi oleh kalam Nabi di atas. Padal, pemahaman ini adalah sebuah blunder dan kecacatan berpikir yang fatal.

Perlu diingat, hadis di atas tercatat di bab Peperangan Uhud (Hadis no. 1789, dalam penomoran standar Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi). Setelah ditakhrij menggunakan pendekatan Syuhudi Ismail, hadis tersebut memang otentik secara sanad dan matan.

Para pendukung bom bunuh diri membangun argumen mereka di atas sebuah analogi (qiyas) bahwa jika sahabat Anshar boleh secara sadar maju menuju kematian yang hampir pasti demi membela Nabi, maka seorang Muslim hari ini juga boleh meledakkan diri di tengah musuh demi membela ‘panji’ Rasulullah.

Sekilas, analogi ini tampak koheren. Namun, jika ditelisik lebih dalam dengan kaidah hukum Islam, analogi ini runtuh karena adanya perbedaan-perbedaan yang fundamental dan prinsipil (qiyas ma’al fariq).

Pertama, hakikat perbuatan. Sahabat di Uhud melakukan aksi pertempuran (qital). Mereka maju untuk melawan, menggunakan pedang dan tameng, dan akhirnya terbunuh oleh tangan musuh.

Sebaliknya, pelaku bom bunuh diri melakukan aksi bunuh diri (qatlu an-nafs). Ia membunuh dirinya sendiri dengan alat yang ia kendalikan. Kematian bukan lagi konsekuensi dari pertempuran, melainkan keputusan personal yang hampir pasti lahir dari keputusasaan.

Ini adalah garis demarkasi yang sangat jelas dan harus dipahami, mengingat Islam secara tegas melarang bunuh diri dalam QS. Surat An-Nissa ayat 29–30.

Kedua, peristiwa Uhud terjadi dalam medan perang yang sah dan jelas antara dua pasukan militer. Targetnya adalah pasukan kombatan musuh yang aktif menyerang. Sementara itu, aksi terorisme modern seringkali menargetkan warga sipil tak berdosa—perempuan, anak-anak, orang tua—di tempat-tempat publik yang damai. Fikih jihad secara ketat melarang pembunuhan model seperti ini.

Di sisi lain, ketika seseorang melakukan bunuh diri kemudian ledakannya membunuh seorang yang tak berdosa, bagaimana ia mempertanggungjawabkan QS. Al-Maidah 32, bahwa “barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”.

Ketiga, aksi para sahabat dilandasi oleh izin dan komando langsung dari otoritas syar’i tertinggi, yaitu Rasulullah. Sementara aksi bom bunuh diri modern diperintahkan oleh pemimpin kelompok radikal yang tidak memiliki legitimasi yang nyaris selalu politis.

Walakhir, tantangan terbesar kita hari ini bukan hanya mengkaji dalil-dalil yang sahih, melainkan merebut maknanya kembali dari tangan-tangan mereka yang menafsirkannya secara serampangan.

Facebook Comments