Ada fenomena, di mana ideologi trans-nasional mencoba membenturkan kearifan lokal dengan syariat Islam. Seraya, prinsip-prinsip kebudayaan yang mengakar sejak lama di negeri ini, seolah dianggap bertentangan dengan syariat-Nya. Hingga, membuat satu (ekspansi ideologis) bahwa kearifan lokal perlu dihilangkan. Karena dianggap sesat dan melanggar norma-norma hukum Islam.
Lantas pertanyaannya sekarang, apakah benar, bahwa kearifan lokal bertentangan dengan syariat Islam? Pertanyaan ini sebetulnya mengacu ke dalam kesimpulan yang khusus. Bahwa, segala nilai kebudayaan yang tidak sesuai, melabrak atau bahkan justru melanggar nilai-nilai syariat Islam itu perlu dihilangkan.
Tetapi, sebelum menuduh tanpa bukti, kita perlu mengetahui lebih jauh (karakteristik) dari pranata nilai kebudayaan itu sendiri. Bahwa, kebudayaan sejatinya tegak bukan sebagai “pesaing” agama secara entitas nilai. Sebagaimana pandangan Prof. Dr. Simuh, bahwa “kebudayaan sejatinya hasil atau proses krida, cipta, rasa dan karsa manusia dalam (menjawab tantangan kehidupan) yang berasal dari alam mau-pun dari pranata sosial sekelilingnya”.
Bagaimana, kebudayaan bisa tegak dan kokoh berdasarkan (kristalisasi) berbagai macam nilai dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sebut saja di era Wali Songo, bagaimana ajaran syariat Islam itu sendiri bisa disampaikan melalui media kebudayaan yang telah mengakar lama. Artinya, dasar nilai syariat Islam itu bisa dijadikan ruh atau nilai dari kokoh-nya lestari kebudayaan yang ada.
Sehingga, konsep klop-nya adalah Islam berbasis kebudayaan yang mampu menjawab segala tantangan kehidupan manusia dalam beragama. Misalnya di era saat ini, ada begitu banyak ideologi trans-nasional yang menyerang kearifan lokal sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas.
Karena, ketika nilai-nilai syariat Islam mampu klop dengan kebudayaan setempat, seraya segala ideologi atau hegemoni kebudayaan dari luar tidak akan mudah menghancurkan apalagi memporak-porandakan NKRI ini. Sebab, agama-budaya ketika mengikat, sejatinya menjadi semacam tata-etika yang anti terhadap kerusakan.
Sehingga, di sinilah titik temu karakteristik, dalam proses krida, cipta, rasa dan karsa manusia itu bisa dibangun dan dikokohkan atas dasar nilai-nilai Islam itu sendiri. Hingga, ekspresi-ekspresi nilai keagamaan yang terbangun memiliki daya seni yang selalu mengedepankan proses intuisi, imajinasi dan perasaan. Bahkan, lebih mengoptimalkan daya persahabatan, cinta, simpati terhadap sesama hingga bisa menghargai antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Tentu, pemahaman yang semacam ini sebetulnya akan (membantah) siapa-pun yang menganggap bahwa kearifan lokal yang berkembang dan mengakar di Nusantara bertentangan dengan syariat Islam. Karena, kebudayaan sejatinya berkaitan dengan manusia itu sendiri. Sehingga, sangat wajar jika di era Wali Songo, penyebaran syariat Islam tidak serta-merta membawa satu kebudayaan Arab untuk diajarkan di Nusantara.
Meskipun Islam itu sendiri datang dari Arab. Namun, Wali Songo mampu membangun semacam “akulturasi” dengan kebudayaan yang telah lama mengakar. Untuk bisa dihidupkan dengan ruh-ruh nilai Islam itu sendiri. Sehingga, sangat wajar apa-bila substansi keislaman yang ada di Indonesia justru condong lebih terbuka, lebih tolerant, lebih ramah dan lebih mengedepankan cinta serta perasaan menghargai terhadap satu sama lain.
Maka, sebagai kesalahan yang sangat fatal jika menganggap bahwa kearifan lokal justru dianggap bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Karena, hukum dasarnya nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di bumi Nusantara, selalu relevan dengan spirit nilai-nilai Islam itu sendiri. Mengapa tidak? Karena semua kearifan lokal yang hidup, sejatinya selalu mengajak kita untuk berbuat kebajikan, menjaga alam, menjaga persaudaraan dan menghindari konflik. Lantas, pertanyaannya sekarang, apakah norma etis yang demikian bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam itu sendiri?