Kearifan Lokal Penangkal Paham Radikal

Kearifan Lokal Penangkal Paham Radikal

- in Narasi
596
0
Kearifan Lokal Penangkal Paham Radikal

Indonesia adalah ejawantah dari kebhinekaan, dan bertolak dari kebhinekaan ini muncul persatuan, jadi dari sejak belum merdeka Nusantara ini sudah sarat dengan perbedaan, dan saat indonesia diploklamirkan menjadi kedaulatan suatu bangsa lahirlah persatuan.

Begitu ragamnya suku di negeri ini, sehingga banyak sekali kekayaan falsafah di negeri ini, misalkan falsafah jawa yang menjadi kearifan lokal, ini dapat menjadi penangkal paham radikal, karena bangsa di Negeri ini menjunjung nilai-nilai perdamaian.

Dalam istilah jawa ada ungkapan “Urip Iku Urup”, kalau diartikan hidup itu memberikan kemanfaatan. dari falsafah ini mengajak sesama manusia bisa saling memberikan kemanfaatan antara satu dengan lainnya. Falsafah atau kearifan lokal ini sejalan dengan ajaran Islam, dalam sebuah hadits Rasulullah SAW. bersabda: خير الناس أنفعهم للناس

“Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling bermanfaat kepada sesama”.

Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Hasan al-Bashri menyuruh beberapa muridnya untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Dia berkata, “Temuilah Tsabit al-Bunani dan pergilah kalian bersamanya. “Lalu, mereka mendatangi Tsabit yang ternyata sedang (melakukan) i’tikaf di masjid. Dan, Tsabit pun meminta maaf, karena tidak bisa pergi bersama mereka. Mereka pun kembali lagi kepada Hasan dan memberitahukan perihal Tsabit. Hasan berkata, “Katakanlah kepadanya, ‘Hai Tsabit, apa engkau tidak tahu bahwa langkah kakimu dalam rangka menolong saudaramu sesama muslim itu lebih baik bagimu daripada ibadah haji yang kedua kali?’“ Kemudian, mereka kembali menemui Tsabit dan menyampaikan apa yang dikatakan Hasan al-Bashri. Maka, Tsabit pun meninggalkan i’tikafnya dan pergi bersama mereka untuk membantu orang yang membutuhkan.

Lalu dalam falsafah jawa ada ungkapan : “Memayu Hayuning bawono, Ambrasta Dur Hangkoro”. yang artinya: Harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan, serta memberantas angkara murka, serakah dan tamak. dari falsafah ini dapat kita petik bahwa leluhur kita menghimbau harus mengusahakan keselamatan, bukan sebaliknya seperti yang dilakukan oleh kelompok radikalisme yang selalu membuat keresahan dan kehancuran, jelas sekali bahwa paham radikal sangat paradok dengan kearifan lokal.

Harus mengupayakan keselamatan dalam falsafah jawa ini juga satu ritme dengan spirit Islam yang disampaikan oleh Imam Syatibi dalam muwafaqatnya tentang Maqashidus Syari’ah : حفظ النفس, Yang artinya: Menjaga Jiwa; menjaga keselamatan jiwa, baik menjaga keselamatan pada diri sendiri, begitu juga keselamatan bagi orang lain adalah kewajiban bagi siap individu muslim. untuk merealisasikan keselamatan di muka bumi ini tentunya tidak mengumbar kebencian dan amarah sebagaimana dalam sebuah hadits disampaikan:

لا تغضب ولك الجنّة , yang artinya janganlah marah, maka engkau akan mendapatkan surga. Sedangkan yang menjadi sepak terjang kelompok radikalisme selalu mengancam keselamatan orang lain, dan mengorbankan dirinya sendiri dengan cara bom bunuh diri.

Saat keselamatan jiwa dapat terealisasi selanjutnya bagaimana mengupayakan Kebahagiaan dan kesejahteraan, yang menjadi pertanyaan apakah dalam nilai-nilai Islam juga diajarkan untuk bahagia?, tentu jawabnya iya, dalam sebuah kisah diceritakan saat Rasulullah bersama ibunda Aisyah pulang dari perang Tabuk, ada keranjang yang tertutup kain tersingkap oleh angin, sehingga terlihatlah ada boneka yang dibawa oleh Aisyah, lalu Rasulullah bertanya: apa ini wahai Aisyah?, ini bonekaku, dan terlihat ada kuda yang bersayap sehingga timbul pertanyaan baru dari Rasulullah, terus yang ditengah ini apa? ini kuda wahai Rasulullah, terus apa yang dimiliki kuda ini? ini sayapnya kata Aisyah, lalu Rasulullah bertanya lagi: apakah kuda punya sayap? kemudian Aisyah menjawab: Apakah tuan tidak pernah Mendengar, bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang bersayap dan bisa terbang sebagaimana dalam kisah-kisah dongeng. mendengar apa yang utarakan Aisyah, Rasulullah tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya, dan menerima pernyataan istrinya. Begitulah Kebahagian yang ditauladankan Rasulullah yang berujung kesejahteraan untuk keluarga.

yang terahir memberantas angkara murka, serakah, dan tamak. dalam kamus KBBI dijelaskan bahwa angkara murka adalah kebengisan dan tamak, untuk menciptakan kedamaian tentunya angkara murka ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Agama, dalam kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawa Al-bantani disampaikan: “orang-orang yang menyebarkan kasih sayang, niscaya akan mendapatkan kasih sayang dari Allah SWT., sebarkanlah kasih sayang di muka bumi, niscaya penduduk langit akan mangasihi kalian semua”.

Terus kenapa di Negeri ini lahir pemahaman radikal?, padahal sangat bertentangan dengan kearifan lokal?, tentunya semakin mudah komunikasi, akan memudahkan transformasi budaya, bahkan ideologi. dengan menjamurnya ideologi baru inilah yang meracuni generasi Bangsa, sehingga terjadi doktrin bahwa ideologi bangsa bertentangan dengan agama, karena kelompok ini tidak mau belajar dari leluhurnya, lebih percaya dengan ideologi barunya, mereka menganggap kebenaran mutlak hanya ada pada kelompok mereka, meskipun sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal tidak bertentangan dengan paham keagamaan.

dan banyak sekali kearifan lokal yang sejalan dengan nilai-nilai agama, keduanya mengajarkan perdamaian dan kasih sayang, oleh karena itu penulis mengajak kepada pembaca budiman untuk mengambil hikmah dari kearifan lokal dan tidak melupakan ajaran leluhur yang adi luhung, sehingga dari falsafah diatas dapat dipetik bahwa spirit kearifan lokal dan spirit keagamaan dapat menjadi penangkal pemahaman radikal yang berujung pada terorisme dan kerusakan.

Facebook Comments