Arogansi Sektarian dan Peluang Disintegrasi Umat di Indonesia

Arogansi Sektarian dan Peluang Disintegrasi Umat di Indonesia

- in Narasi
1
0
Arogansi Sektarian dan Peluang Disintegrasi Umat di Indonesia

Sejumlah konflik yang terjadi di Timur Tengah beberapa tahun belakangan ini sepertinya kian menegaskan bahwa selain persoalan politik, sektarianisme adalah faktor utama yang “menyumbang” terjadinya kekerasan dan tindakan teror.

Isu utama persoalan sektarian adalah masalah klasik dalam tubuh umat Islam seperti sunni-syiah. Selain sunni-syiah, di Irak juga terjadi konflik sektarian seperti warga Yazidi (Kurdis) di Iran. Di sisi lain, munculnya kelompok yang tergabung dengan gerakan politik ISIS kala itu juga turut andil dalam memperburuk citra Islam sendiri.

Di ranah politik, sektarianisme juga tak kalah menakutkan. Politik sektarian, merujuk pada catatan James Gelvin dalam Modernity and its Discontent: On the Durability of Nationalism in the Middle East (1999), merupakan pemikiran nasionalistik yang sempit dan cenderung membenarkan apapun yang telah melekat pada identitas parsial.

Dapat dipahami dari catatan tersebut, bahwa tidak selamanya fanatisme terhadap nasionalisme –atau primordialisme— bermakna baik, justru sebaliknya, ia adalah praktik tertutup yang dekat dengan konflik identitas. Tidak membaur, dan cenderung menolak keberagaman sebagaimana karakter ke Indonesiaan.

Dalam praktik pemilu misalnya, politik sektarian merupakan aktifitas propaganda yang dilakukan oleh kelompok ekslusif, memandang lawan politiknya sebagai musuh yang harus dilawan dengan segenap upaya.

Dalam konteks kehidupan sosial-keagamaan, Indonesia mengalami sekian banyak kasus sektarian. Tahun lalu, pembubaran ibadah umat Kristen terjadi beberapa kali. Pelarangan pembangunan tempat ibadah juga banyak diberitakan di media. Di level kelompok kepercayaan, Jalsah Salanah Jemaah Ahmadiyah Indonesia juga sempat mendapat pertentangan.

Kabar buruknya, kedua amsal di atas dilakukan oleh oknum yang mengaku beragama Islam. Pertanyaannya adalah mengapa justru “umat” Islam yang menjadi momok bagi kesejahteraan kehidupan beragama di Indonesia? Pertanyaan retorik memang, namun penting untuk menjadi bahan evaluasi bagi kita bersama.

Untuk menjawabnya, kita perlu menyadari bahwa status Islam sebagai agama mayoritas bukan semata-mata menjadi nilai positif bagi masyarakat Islam di Indonesia. Hal itu karena superioritas ini rentan dieksploitasi oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan Islam untuk memecah belah masyarakat. Eksploitasi tersebut tercermin salah satunya dalam kasus perusakan tempat Ibadah di Sintang. Perusakan tersebut, secara implisit, telah melanggar dua hal fundamental.

Pertama, dalam konteks legal, mereka yang merusak rasa khidmat Misa dan ibadah Kristen atas dasar menjaga ketertiban pada kenyataannya telah menghianati amanat konstitusi tentang larangan untuk menghalang-halangi seseorang untuk melaksanakan kegiatan ibadah yang dilakukan di tempat ibadah yang tertera dalam pasal 175 KUHP.

Jika kasus ini terus berlanjut di masa yang akan datang, umat Islam akan sangat bisa dicitrakan sebagai umat yang tidak taat hukum akibat ulah oknum yang tak henti-hentinya melakukan pelanggaran. Lagi-lagi, dengan status sebagai agama mayoritas, citra itu tidak boleh terjadi, karena bagaimanapun Islam sudah menjadi identitas Indonesia.

Tidak menutup kemungkinan, citra Islam yang kurang baik akan berpengaruh terhadap cara pandang dunia terhadap Indonesia sebagai negara yang religius. Ajaran Ahmadiyah yang bertolak belakang dengan ajaran Islam secara umum merupakan sesuatu yang bisa diperdebatkan.

Masalahnya adalah bahwa bangsa Indonesia tidak terbiasa dengan perbedaan perspektif. Literasi yang kurang merupakan sebab utama mengapa kita selalu menggunakan kaca mata kuda dalam melihat sesuatu. Ini juga yang kemudian melahirkan sikap fanatisme dalam hal keberagamaan di Indonesia.

Sikap inilah yang kurang lebih bisa menjawab mengapa persekusi di Indonesia seperti tidak ada hentinya. Dalam hal ini, Jaringan Gusdurian merespon dengan tegas bahwa tokoh agama setempat hendaknya mengedukasi umatnya untuk menjaga semangat keberagaman sebagai sunnatullah.

Kebijakan Pemerintah Indonesia yang telah mendorong berbagai langkah moderasi beragama guna menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih harmonis perlu didukung oleh semua pihak, terutama para tokoh agama Kedua, dalam konteks etis, para persekutor itu telah merusak nilai-nilai perdamaian dalam Islam. Mereka tidak sadar bahwa tidak ada satupun dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang melegitimasi aksi mereka.

  1. al-Furqan [25]: 63, justru menegaskan sebaliknya,

وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا

“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa jikapun kita bertemu dengan orang yang bertentangan dengan keyakinan kita, maka tetaplah bersikap baik. Dalam Tafsir al-Qur’an Tematik tentang Hubungan Antar Umat Beragama, disebutkan bahwa Allah menggunakan kata singular “salam”, yang berarti damai, yakni bebas dari ketakutan, kecemasan, serta bebas dari tindakan kekerasan.

Menurut Gus Dur, persekusi yang sering dilakukan oleh oknum umat Islam salah satunya disebabkan oleh pendangkalan agama dari kalangan umat Islam sendiri, terutama angkatan mudanya. Umumnya mereka hanya memahami interpretasi keagamaan secara tekstual, namun pemahaman terhadap substansi ajaran masih lemah.

Tulisan ini, selain sebagai bahan evaluasi, juga sebagai pengingat bahwa kita jangan jumawa dengan status Islam sebagai mayoritas. Kita harus menyadari bahwa sebagai agama dominan, Islam mampu mengontrol diskursus yang terjadi di masyarakat.

Oleh karena itu, kita musti menjadi agen Islam yang berintegritas sehingga kita bisa mendengungkan wacana yang mendamaikan, bukan meresahkan. Wacana untuk saling menghormati bukan menghakimi, wacana untuk saling mengayomi bukan mempersekusi.

Facebook Comments