Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama, satu keyakinan. Sayangnya, definisi sempit ini justru yang banyak diadopsi, bahkan sering kali dipolitisasi untuk memperkuat rasa keterikatan sesama kelompok, tanpa menyadari betapa bahayanya pendekatan ini.
Kita sering mendengar tentang toleransi antar agama, tetapi jarang sekali ada yang berbicara tentang apa yang terjadi ketika kita hanya melihat saudara dalam kerangka agama tertentu. Inilah yang seringkali menciptakan sekat-sekat sektarian yang merusak.
Sektarianisme bukan hanya tentang saling membenci atau memusuhi agama lain, tetapi juga tentang memisahkan kemanusiaan itu sendiri. Terkadang, kita lebih mudah menganggap orang seagama sebagai saudara daripada orang yang berbeda keyakinan.
Di sinilah letak ironi besar: kita mengklaim cinta kasih dalam agama, tetapi tidak mampu mentransformasikan kasih itu ke dalam ruang yang lebih luas. Kita menganggap saudara hanya sebatas mereka yang mengaji bersama, pergi ke masjid yang sama, atau berdoa dengan kata-kata yang serupa. Padahal, dalam pengertian yang lebih hakiki, setiap manusia adalah saudara, tak peduli apapun agamanya.
Mengapa kita tak pernah mencoba untuk lebih mendalam dalam memahami arti “saudara” dalam konteks kemanusiaan? Tidak jarang kita terjebak dalam perangkap pemikiran sektarian yang menyempitkan definisi ini. Perbedaan agama, yang seharusnya menjadi kekayaan, malah sering kali digunakan sebagai alat pemisah, alat politik, atau bahkan alat untuk meraup keuntungan.
Sektarianisme dengan segala perpecahan yang timbul akibat identitas agama dan golongan sesungguhnya mirip dengan kondisi masyarakat Arab pada masa pra-Islam, zaman jahiliyah.
Saat itu, masyarakat terbagi dalam berbagai suku yang saling bersaing dan sering kali terlibat dalam konflik. Setiap suku menganggap dirinya paling unggul dan berhak atas kekuasaan, sementara yang lain dianggap sebagai ancaman dan musuh. Mereka membanggakan kesukuan mereka dengan sangat sempit.
Pada masa jahiliyah, sistem sosial yang berdasarkan kesukuan ini menumbuhkan rasa solidaritas yang sangat kuat antar anggota suku, tetapi pada saat yang sama juga menciptakan diskriminasi terhadap suku lain.
Rasa kebanggaan terhadap identitas suku atau tribalisme inilah yang mendorong terjadinya ketidakadilan dan kekerasan antar suku. Pembagian dunia menjadi kita dan mereka, teman dan musuh, sangat kental dengan adanya identitas kesukuan.
Dalam konteks ini, sektarianisme yang berkembang saat ini—baik yang berbasis agama, etnis, atau golongan—dapat kita anggap sebagai bentuk modern dari kesukuan zaman jahiliyah. Masyarakat yang terkotak-kotak oleh identitas tertentu, menganggap bahwa mereka yang seagama atau sebangsanya lebih layak mendapatkan hak-hak istimewa, sementara yang berbeda dipandang sebagai “orang luar” atau bahkan “musuh”. Polarisasi seperti ini, baik dalam agama maupun identitas sosial lainnya, sangat mirip dengan tribalisme yang ada pada masyarakat Arab jahiliyah.
Islam datang dengan membawa ajaran yang sangat mendasar untuk menghancurkan sistem kesukuan ini, yaitu untuk menghilangkan sekat-sekat yang membatasi solidaritas kemanusiaan.
Dalam ajaran Islam, Allah menurunkan wahyu yang mengingatkan umat manusia bahwa tidak ada satu pun suku atau golongan yang lebih unggul dari yang lain, kecuali dalam takwa. Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat: 13,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai umat manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.”
Ayat ini dengan jelas menghapuskan perbedaan yang hanya didasarkan pada kesukuan atau golongan. Islam menegaskan bahwa keunggulan seseorang bukan berdasarkan suku atau agama, tetapi berdasarkan ketakwaan dan kedalaman iman mereka.
Allah menciptakan suku-suku supaya manusia saling mengenal, bukan bertengkar. Bahkan, dalam banyak hadis, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa “semua manusia adalah saudara”.
Maka, saat kita berbicara tentang sektarianisme di Indonesia, kita sebenarnya sedang menghadapi tantangan yang mirip dengan kondisi masyarakat jahiliyah, di mana identitas agama atau golongan sering kali menjadi garis pemisah antara kelompok yang satu dan lainnya.
Dalam konteks ini, memahami bahwa setiap manusia adalah saudara dalam kemanusiaan—bukan hanya dalam agama atau kesukuan—merupakan langkah pertama yang perlu kita ambil untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan inklusif.
Jika kita terus mengedepankan rasa kebanggaan terhadap identitas agama atau golongan kita secara berlebihan, kita akan terperangkap dalam pemikiran sektarian yang menghancurkan rasa persaudaraan sejati antar umat manusia.
Sama seperti masyarakat jahiliyah yang terbelenggu oleh sistem kesukuan, kita juga akan terjerumus pada jurang perpecahan jika kita tidak mampu melepaskan diri dari pembatas-pembatas sempit yang hanya menguntungkan pihak tertentu, sementara merugikan kebersamaan umat manusia secara keseluruhan.
Maka, dengan kembali mengingat ajaran-ajaran dasar yang diajarkan oleh agama-agama besar, baik Islam maupun agama lainnya, kita diingatkan untuk selalu melihat sesama sebagai saudara dalam kemanusiaan, tanpa memandang perbedaan agama, suku, atau ras.
Sektarianisme yang merusak keharmonisan hanya akan kita atasi jika kita mampu mengangkat nilai-nilai kasih sayang dan persaudaraan universal yang mengedepankan martabat manusia di atas semua identitas sempit lainnya.