Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) adalah sebuah paradigma keagamaan yang tumbuh dan berkembang sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam, khususnya di Nusantara. Sebagai sebuah manhaj, Aswaja tidak hanya menitikberatkan pada kemurnian akidah, tetapi juga merangkul nilai-nilai lokalitas yang menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat.
Hal itu menjadikan Aswaja sebagai ajaran yang kontekstual tanpa kehilangan akar teologisnya. Dalam konteks globalisasi yang kini membawa tantangan terhadap keutuhan identitas budaya dan agama, peran Aswaja menjadi semakin penting untuk menjaga akidah umat sekaligus merawat kearifan lokal yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Pada intinya, Aswaja mengacu kepada paham Islam yang berpegang teguh pada ajaran Rasulullah SAW, sebagaimana dipraktikkan oleh para sahabat, tabi’in, dan ulama salafusshalih di masa lalu. Di bidang akidah, Aswaja berlandaskan kepada pemahaman tauhid yang lurus sesuai dengan ajaran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi.
Dalam ranah fikih, Aswaja mengikuti salah satu dari empat mazhab besar, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, yang memberikan panduan hukum Islam yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan zaman dan tempat. Sementara dalam bidang tasawuf, Aswaja merujuk kepada ajaran Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi yang menekankan pentingnya penyucian jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah melalui jalan akhlak mulia.
Keistimewaan Aswaja terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan budaya lokal tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar agama. Di Indonesia, misalnya, Aswaja telah berhasil menyelaraskan nilai-nilai Islam dengan tradisi dan budaya Nusantara. Hal ini terlihat dalam berbagai praktik keagamaan seperti tahlilan, yasinan, dan maulid yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Tradisi-tradisi ini bukan hanya menjadi bentuk ekspresi religius, tetapi juga simbol kerukunan dan kebersamaan. Dengan demikian, Aswaja tidak hanya menjaga kemurnian akidah umat, tetapi juga menjadi alat untuk mempererat persatuan.
Aswaja memainkan peran penting sebagai penyeimbang, dengan menawarkan ajaran Islam yang moderat, toleran, dan inklusif. Konsep tawassuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (keadilan) yang menjadi pilar utama Aswaja memberikan solusi atas berbagai problematika umat tanpa menimbulkan konflik atau perpecahan.
Dengan prinsip moderatnya, paham Aswaja mengajarkan umat Islam untuk hidup berdampingan secara damai dengan umat beragama lain tanpa harus mengorbankan keyakinan mereka masing-masing. Sikap ini sejalan dengan falsafah Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Tentu semua ini bukanlah sebatas apologi. Dalam sejarahnya, ulama Aswaja seperti Wali Songo telah memberikan contoh nyata tentang bagaimana Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa melalui pendekatan budaya. Mereka tidak memaksakan ajaran Islam, tetapi memperkenalkannya dengan cara-cara yang halus, seperti melalui seni wayang, gamelan, dan syair-syair religius sehingga Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia.
Demikianlah Aswaja. Aswaja adalah benteng akidah dan penjaga warisan lokal yang memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama dan budaya. Di tengah arus globalisasi yang kerap membawa pengaruh negatif, Aswaja tetap relevan sebagai manhaj yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan esensi keislamannya.
Dengan terus menghidupkan nilai-nilai Aswaja, umat Islam tidak hanya akan mampu mempertahankan kemurnian akidah mereka sebagai muslim yang taat, tetapi juga akan mampu menjaga dan serta memperkuat identitas budaya Nusantara yang menjadi kebanggaan bangsa . Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita sebagai generasi penerus menjaga dan mengembangkan ajaran Aswaja sebagai jalan tengah yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta.