Iman yang Membumi dan Guru Suci Wong Tanah Jawi

Iman yang Membumi dan Guru Suci Wong Tanah Jawi

- in Narasi
19
0

Tak ada manifestasi iman yang paling membumi daripada iman yang pernah disajikan oleh Sunan Kalijaga. Klaim ini tentu saja bukanlah klaim yang mengada-ada mengingat ia adalah salah satu anggota Walisongo yang oleh sejarah dicatat sebagai para pembubuh karakter Islam di Nusantara.

Kenusantaraan Kalijaga dalam berislam bukan semata ia pernah tercatat sebagai satu-satunya wali yang tak pernah pergi berhaji ke Makkah. Bukan pula semata ia satu-satunya wali, pada eranya, yang tak secara bangga menabalkan Nabi Muhammad sebagai “Eyangnya.”

Ia hanyalah putra dari seorang Adipati Tuban yang tak pula memiliki hubungan kekerabatan, bahkan pun, dengan raja-raja Majapahit.

Itulah kenapa ia juga tercatat dengan sebegitu intimnya oleh khalayak Jawa, yang menjulukinya sebagai “Guru Suci Wong Tanah Jawi,” suatu julukan atau gelar yang tak pernah didapatkan oleh wali-wali lainnya.

Kenapa bukan tanah Hijaz atau Yaman, dan yang lebih penting, kenapa mesti “Tanah Jawi,” bukannya sekedar “Tiyang Jawi” atau “orang Jawa”?

Ada satu hal yang saya kira dapat menjelaskan ungkapan itu, bahwa tumbuh-kembangnya iman mestilah juga seturut dengan kondisi geografis yang melingkupinya. Kondisi geografis Jawa, atau Nusantara pada umumnya, tentulah memiliki perbedaan yang mencolok dengan, misalnya, Hijaz ataupun Yaman.

Keberadaan agama, ketika orang berkaca pada sejarah-sejarah agama, ternyata tak luput pula dari imajinasi yang jelas terbentuk oleh kondisi geografis yang melingkupinya. Maka jangan salah ketika Chairil Anwar pernah menyindir proyeksi surga, “Lagi siapa bisa mengatakan pasti/ Di situ memang memang ada bidari/ Suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?,” ketika “Kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu/ Dan bertabur bidadari beribu.”

Keimanan yang tumbuh berdasarkan agama, ketika melongok pada Kalijaga beserta dengan segala kiprahnya, ternyata tak mesti bertentangan dengan tanah atau kondisi geografis yang melingkupinya, sebuah kondisi yang menentukan kondisi-kondisi lainnya, baik kondisi imajinasi ataupun kondisi tafsir yang mengikutinya.

Maka, cukup berbedalah ekspresi keislaman Kalijaga dengan ekspresi keislaman agamawan-agamawan lainnya, yang dalam lukisan sejarah, masih condong ke liyan ndrayan atau daerah lainnya. Dan ketika corak keagamaan Kalijaga yang cukup membumi luar-dalam itu, zaman dan sejarah tetap meletakkannya dalam koridor Islam, sebagai salah satu anggota Walisongo.

Istilah “tanah” dalam ungkapan “Guru Suci Wong Tanah Jawi” adalah representasi dari kebangsaan yang sampai detik ini memang menjadi sejenis “najis” bagi kalangan yang memiliki pemahaman keagamaan yang radikal lagi dangkal.

Maka, ungkapan keintiman pada tanah air adalah sebagian dari iman bukanlah sikap iman yang muncul tanpa preseden, ketika iman di sini adalah berarti mengenyahkan segala hal yang dianggap tak islami. Kesucian agama (Guru Suci) dan keadaan tanah atau kondisi geografis (Wong Tanah Jawi) bukanlah dua unsur yang penting untuk dipertentangkan ketika seseorang sedang melakoni peran keagamaannya.

Barangkali, justru pada sikap yang seperti itulah derajat keimanan yang luhur dapat menemukan wadahnya, sebagaimana Kalijaga yang kemenangan pengaruhnya dalam zaman tercatat dalam sejarah-sejarah arus besar.

Facebook Comments