Rajaban ala Nusantara; Ekspresi Islam Aswaja yang Berakar pada Lokalitas

Rajaban ala Nusantara; Ekspresi Islam Aswaja yang Berakar pada Lokalitas

- in Narasi
0
0
Rajaban ala Nusantara; Ekspresi Islam Aswaja yang Berakar pada Lokalitas

Jika Ramadan diibaratkan sebuah istana, maka bulan Rajab adalah pintu gerbangnya. Ibarat pintu gerbang istana yang dihiasi ornamen dan aksesoris yang indah, begitu pula bulan Rajab yang penuh dengan seremoni. Bulan Rajab selalu identik dengan berbagai selebrasi dan perayaan. Apalagi di bulan Rajab, kita memperingati peristiwa yang sangat penting, yakni Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

Lebih spesifik dalam konteks Indonesia, bulan Rajab menjadi momen digelarnya berbagai kegiatan keagamaan yang berkelindan dengan tradisi lokal. Masyarakat muslim di Indonesia memiliki beragam tradisi unik dalam menyambut dan merayakan bulan Rajab.

Beberapa tradisi itu antara lain, tradisi Rajaban yang dikenal di kalangan muslim Jawa Tengah. Rajaban biasanya diisi dengan acara makan bersama, sedekah bumi, dan bersih desa sebagai wujud rasa syukur pada nikmat Allah yang tercurah selama setahun terakhir. Rajaban juga memiliki makna mendalam ihwal bagaimana manusia tidak boleh lupa akan asal-usulnya.

Di Temanggung Jawa Tengah, tradisi Rajaban diisi dengan pembacaan Kitab Arjo sampai khatam. Kitab Arjo ini dikarang oleh seorang ulama Jawa bernama Kiai Haji Ahmad Rifai Al Jawi. Kitab yang ditulis dengn huruf Arab Pegon ini berisi riwayat tentang perjalanan Rasulullah dalam melakukan Isra Mi’raj.

Sedangkan di Yogyakarta, ada tradisi yang sangat terkenal bernama Rejeban Peksi Buraq. Yakni tradisi kirab memperingati Isra’ Mi’raj dengan mengarak sebuah oramen patung yang menggambarkan buraq. Yakni kendaraan yang dinaiki Rasulullah ketika naik di Sidratul Muntaha dari Masjidil Aqsha.

Tradisi Rajaban Sebagai Ekspresi Kultural Spiritual

Selain rajaban, ada pula tradisi Ngusiran yang dipraktikkan oleh umat Islam di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tradisi Ngusiran diisi dengan pemotongan rambut anak berusia di bawah enam bulan yang dilakukan para tokoh agama diiringi dengan lantunan sholawat pada Nabi Muhammad yang diriingi musik tradisional Suku Sasak.

Rasanya hampir tiap daerah di Indonesia memiliki tradisi di bulan Rajab yang unik dan mencerminkan tradisi lokalitas setempat. Fenomena ini dapat dibaca melalui sejumlah perspektif. Pertama, fenomena rajaban di Indonesia itu mencerminkan ekspresi Islam Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja) yang adaptif pada kearifan lokal. Fenomena tradisi Rajaban ala Nusantara itu mencerminkan keunikan dan kekhasan Islam Indonesia yang tidak ditemu di negara muslim lainnya.

Kedua, fenomena tradisi Rajaban ala Nusantara membuktikan bahwa agama dan budaya adalah dua entitas yang bisa berdampingan, bahkan saling memperkaya. Agama dan budaya bukanlah dua entitas yang saling bertentangan seperti pandangan kaum konservatif. Kelindan antara agama dan budaya justru memperkaya khazanah keagamaan di satu sisi sekaligus memperkaya ragam kebudayaan di sisi lain.

Ketiga, fenomena tradisi Rajaban ala Nusantara mencerminkan corak atau model keislaman Indonesia yang toleran dan inklusif. Karakter toleran dan inklusif ini menjadi semacam identitas keislaman kita yang harus dipertahankan. Terutama di tengah kencangnya arus propaganda ideologi transnasional yang mengusung ideologi anti-kebangsaan anti-kemajemukan.

Hari ini kita melihat sendiri bagaimana propaganda ideologi transnasional dilakukan secara terbuka dan vulgar, bahkan brutal. Terbuka dalam artian bahwa propaganda ideologi transnasional itu dilakakukan secara terang-terangan di ruang publik, terutama melalui media sosial. Hari ini, banyak influencer dengan santainya mempromosikan khilafah melalui kanal medsosnya. Tanpa menyadari bahwa hal itu termasuk perbuatan kejahatan terhadap ideologi negara.

Sedangkan vulgar dan brutal dalam artian bahwa propaganda khilafah itu kini dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Termasuk dengan membajak ajawan Aswaja atau mengklaim bahwa khilafah itu juga merupakan bagian dari ajaran Aswaja. Maka, siapa pun yang mengaku sebagai pengikut ajaran Aswaja, harus mendukung khilafah.

Kearifan Lokal Benteng Propaganda Ideologi Transnasional

Klaim-klaim sepihak ini jelas ahistoris dan tidak berdasar. Para ulama Aswaja memang ada beberapa yang membahas tentang khilafah. Namun, khilafah yang dimaksud oleh para ulama Aswaja itu bukanlah model khilafah sebagaimana diperjuangkan oleh gerakan keagamaan transnasional seperti Hizbut Tahrir, Islamic State of Islam and Syiria (ISIS) dan sebagainya.

Konsep kekhalifahan dalam pandangan ulama Aswaja adalah kepemimpinan atau pemerintahan yang sah (legitimated). Dalam artian dipilih oleh lembaga perwakilan (ahlul aqdi wa ahli) dan diakui oleh mayoritas penduduk (umat). Para ulama Aswaja sangat menekankan pentingnya menjaga stabilitas sosial dan politik.

Maka, bagi para ulama Aswaja, tindakan merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah itu merupakan tindakan bughat (pemberontakan) yang diharamkan Islam. Tentu, menjadi absurd dan ahistoris, jika para pengasong khilafah mengklaim ideologinya tersebut sebagai bagian dari doktrin Aswaja.

Maka, bulan Rajab yang identik dengan beragam tradisi yang memadukan antara Islam dan lokalitas ini kiranya bisa menadi momentum untuk membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga karakter Islam Indonesia yang toleran, inklusif, dan anti-kekerasan.

Tradisi Rajaban bukanlah sekadar ekspresi kultural-spiritual umat Islam Indonesia. Lebih dari itu, fenomena itu juga menjadi semacam modal sosial untuk menghalau propaganda ideologi transnasional yang belakangan kian masif menghegemoni ruang publik kita.

Facebook Comments