Ma’ruf Amin, menanggapi fenomena narasi jihad atau perang suci yang digaungkan (kembali) oleh kelompok kecil umat yang berhaluan ekstrim atau radikal dengan sejuk dan menonjok sekali. Bahwa banyak ayat Alquran tentang perang yang dipakai di daerah damai. Dan, Indonesia negara damai dan ayat itu tidak berlaku (Editorial Jalandamai.org, 27/3).
Berangkat dari pernyataan Rais Aam PBNU itu, penulis hendak menegaskan bahwa ayat perang (jihad mengangkat senjata) sudah “kadaluarsa” dalam konteks Indonesia kekinian dan kedisinian.
Setidak-tidaknya ada beberapa alasan mendasar bahwa jihad ofensif dengan mengangkat senjata atau perang suci itu tidak dibenarkan di Indonesia. Pertama, Indonesia negara damai. Peperangan memiliki era dan tempat tersendiri. Pada zaman jahiliyah, misalnya, peperangan sudah menjadi sesuatu yang mentradisi. Oleh Karen Amstrong, dijelaskan bahwa fenomena peperangan kala itu merupakan salah satu watak masyarakat yang terdiri dari beberapa suku, sehingga peperangan menjadi cara untuk menunjukkan eksistensi suatu suku tertentu.
Kemudian Islam datang membawa misi perdamaian, bukan sebagaimana dikatakan oleh orientalis Mark A. Gabriel (2002), bahwa jihad dan perang merupakan ajaran inti Islam. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Nurcholis Madjid (1995), dalam buku “Islam Agama Kemanusiaan”, bahwa sejak awal, khususnya ketika awal ekspansi Islam, paradigma yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah misi pembebasan, bukan penaklukan, apalagi kekerasan atas dasar dakwaah agama. Jadi, Islam bukanlah dibesarkan dengan kekerasan.
Yang hendak penulis katakana adalah, peperangan, sekali lagi, ada konteks kedisinian. Tentu, dalam konteks keindonesiaan, di mana Indonesia adalah negara yang sudah merdeka dan damai, peperangan tidak memiliki tempat di negeri ini. Jadi, ayat-ayat perang dan pedang serta jihad harus dimaknai secara kontekstual. Dalam hal ini, jihad; perang suci dimaknai sebagai memerangi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan dengan cara yang baik dan bermartabat, seperti meningkatkan mutu pendidikan dan sejenisnya.
Kedua, bahwa Islam adalah agama damai. Dawam Rahardjo (2011) menyebutkan bahwa timbulnya gejala kekerasan sebagaimana actual di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa sebab; diantaranya, euphoria demokratisasi di Indonesia, yang dimaknai sebagai peluang bagi munculnya gerakan-gerakan Islam radikal, serta akibat gagalnya penegakan hukum demokrasi itu yang menimbulkan aspirasi menegakkan syariat Islam.
Kemudian, muncullah berbagai kelompok radikal yang misinya adalah membangun negara yang mereka idamkan. Barangkali merasa “putus asa” akibat cita-cita selalu kandas dengan cara yang lembut, kemudian mereka merubah haluan gerakan mereka melalui aksi terror dan kekerasan lainnya. Dan parahnya, mereka kembali memakai ayat-ayat suci untuk menebar kekerasan.
Mereka solah “lupa dan melupakan” ayat perdamaian dan hakikat Islam itu sendiri. Ajat Sudrajat (2004), menulis sebuah buku yang komprehensif. Ia melakukan analisis linguistik-historis terhadap makna atau terma al-Islam dalam Alquran. Hasilnya, Islam adalah agama damai. Hal itu tercermin dari asal kata Islam. Kata Salam atau istislam (bentuk masdar) berarti perdamaian.
Dalam tinjauan historis, nilai-nilai perdamaian itu tercermin dari berbagai perjanjian yang dilakukan oleh Rasulullah kepada orang Yahudi dan kelompok lainnya untuk menyatakan sebuah kesepakatan agar tidak saling memerangi, melainkan memberikan rasa aman, damai dan melindungi. Lihatlah Piagam Madinah. Betapa karaktertistik dan watak perdamaian Islam begitu kentara.
Peperangan yang Diizinkan
Pertama, sebab dan maksud yang dituju. (QS. Al-Baqarah: 193), yaitu untuk menghilangkan kedzaliman. Selain itu juga untuk menjamin kemerdekaan orang menganut dan menjalankan agama (QS. Al-Baqarah: 217). Lebih spesifik lagi, bahwa Alquran mengizinkan berperang bagi orang yang terlebih dahulu dianiaya atau diusir (QS. Al-Hajj: 39-41).
Kedua, untuk melindungi diri dari serangan lawan (defentif). Azzam Pasha (1985) menjelaskan dengan sejuk bahwa Nabi tidak keberatan menolong orang yang teraniaya sekalipun ia musyrik atau kafir. Akan tetapi, jika orang musyrik dan kafir menyerang atau memerangi orang Islam, maka Muslim wajib jihad (perang) terhadap orang kafir itu. Informasi ini sangat jelas disebutkan dalam Alquran surat At-Taubah ayat 36 dan 73. Singkatnya, dalam kondisi tersebut, ummat Islam wajib membela diri dan agama Allah.
Ketiga, terikat dalam kondisi tertentu. Ayat-ayat dalam Alquran yang memerintahkan perang secara umum turun di Madinah. Hal ini mengindikasikan bahwa perintah perang itu terikat oleh waktu dan kondisi kedisinian dan kekinian. Sebagai contoh, ada seorang atau kelompok yang sengaja menistakan agama Islam. Terhadap orang ini, Islam tidak langsung memerintahkan orang tersebut diperangi, melainkan diajak berdialog dan didakwahai dengan ma’ruf. Terlebih dalam keadaan damai, perang tidak dianjurkan kecuali, sekali lagi, pihak lawan.
Moqsith Ghazali (2009) menegaskan bahwa secara historis, peperangan pada zaman Nabi itu ada beberapa cacatan penting. Pertama, peperangan dilakukan dalam rangka pembelaan diri dengan tetap mmeperhatikan kerangka etis. Kedua, peperangan yang diarahkan pada jafir Quraisy dan bukan kepada umat Islam. Ketiga, perang dengan orang Yahudi atas dasar orang yahudi ingkar janji sebagaimana yang terjadi dalam Piagam Madinah.
Jelasnya, sebab-sebab Muslim harus angkat senjata atau perang sudah digariskan dalam Alquran sebagaimana penjeasan diatas, tidak berlaku atau Indonesia tidak memenuhi sebab-sebab tersebut. Sekali lagi, ayat-ayat perang yang diartikan secara tekstual tidak tepat. Sebab, Indonesia adalah negara damai, sehingga ayat-ayat perang dalam artian mengangkat senjata tidak tepat, atau dalam Bahasa kasarnya sudah “Expired”.