Bagaimana Mereduksi Kerentanan Kaum Muda dan Perempuan Terhadap Radikalisasi Online?

Bagaimana Mereduksi Kerentanan Kaum Muda dan Perempuan Terhadap Radikalisasi Online?

- in Narasi
436
0
Bagaimana Mereduksi Kerentanan Kaum Muda dan Perempuan Terhadap Radikalisasi Online?

Dengan menjamurnya paham radikal-ekstrem di dunia maya, pada dasarnya tidak ada satu pun individu yang bisa dikatakan kebal dari pengaruhnya. Namun, jika ditilik dari sisi statistik, kaum muda dan perempuan merupakan dua kelompok yang paling rentan terpapar virus radikalisme online.

Kerentanan anak muda pada fenomena radikalisasi online bisa ditelaah dari beragam sisi pembacaan. Dari sisi psikologis, anak muda memang tengah ada dalam fase pencarian jati diri. Termasuk dalam hal keagamaan. John Dewey dalam bukunya Psichology of Religion menjelaskan bahwa anak muda akan mengalami fase konversi beragama.

Konversi dalam hal ini tidak semata diartikan sebagai perpindahan agama, namun juga perubahan dalam menghayati agama. Fase perubahan dari remaja menuju dewasa ini ditandai dengan munculnya pertanyaan eksistensial ihwal apa itu Tuhan, agama, surga, neraka dan hal-hal eskatologis lainnya.

Sayangnya, pada saat bersamaan kaum muda tidak memiliki cukup wawasan keagamaan yang memadai untuk menjawab pertanyaan eksistensial tersebut. Alhasil, mereka mencari sosok yang dianggap bisa menjawab pertanyaan tersebut. Sebagai generasi digital friendly, mereka pun mencari jawabannya di dunia maya dengan mengakses konten-konten keagamaan. Inilah yang menjadi pintu masuk atawa celah penyebaran paham radikal di kalangan anak muda.

Apa yang dialami perempuan sedikit berbeda. Tingginya kerentanan paparan radikalisme di kalangan perempuan justru dilatari oleh masih kuatnya budaya patriarki di tengah masyarakat muslim kita. Budaya patriarki dimana laki-laki lebih dominan dalam segala hal kerap membuat perempuan mengalami dependensi alias ketergantungan terhadap laki-laki.

Termasuk dalam perilaku keagamaan. Perilaku keagamaan perempuan dengan demikian lebih sering dikonstruksi oleh laki-laki. Maka, tidak jarang perempuan terpapar radikalisme dari lingkungan keluarga. Misalnya anak perempuan yang terpapar radikalisme karena menurut pada doktrin sang ayah. Atau seorang istri yang terpaksa terlibat gerakan radikal karena pengaruh suami.

Pola relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan ini kerap diperparah dengan fakta bahwa kebanyakan perempuan muslim belum memiliki akses pada pendidikan dan pekerjaan. Alhasil, banyak perempuan yang termarjinalkan baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Akhirnya mau tidak mau mereka kerap disetir oleh laki-laki. Situasi ini kerap membuat perempuan tidak memiliki posisi tawar untuk menolak paham radikal. Apalagi jika yang mendoktrinnya adalah keluarga (ayah atau suami).

Situasi itu kian pelik manakal perempuan merupakan salah satu kelompok yang paling aktif menjelajah dunia maya. Terutama di media sosial. Bagi perempuan, media sosial telah menjadi dunia kedua yang tidak hanya sekadar sebagai media hiburan namun juga sarana eksistensi diri. Ironisnya, banyak perempuan yang dari sisi literasi digital masih lemah. Ini terutama terjadi di perempuan kalangan bawah.

Pentingnya Membangun Nalar Kritis dan Kemandirian untuk Terhindar dari Radikalisme Online

Mereka adaptif pada teknologi digital, termasuk smartphone, internet, dan media sosial, namun tidak memiliki mekanisme selektif untuk memilah dan memilih konten yang dinikmati. Alhasil, perempuan kerap menjadi aktor penyebaran hoaks, ujaran kebencian, atau radikalisme justru karena kepolosan dan ketidaktahuannya. Kondisi ini tentu ironis.

Dalam konteks jangka panjang, langkah untuk mereduksi tingginya kerentanan anak muda dan perempuan pada radikalisme online adalah dengan mengembangkan pola pikir kritis (critical thinking). Berpikir kritis artinya kemampuan untuk berpikir secara rasional dan bijak ihwal apa yang harus diyakini atau dilakukan.

Salah satu fondasi penting dalam seni berpikir kritis, terutama di media daring adalah kemampuan untuk membandingkan beberapa informasi yang berbeda sumber maupun sudut pandang untuk mencari mana yang paling valid. Kemampuan berpikir kritis ini akan menjadi fondasi penting bagi pengembangkan literasi digital, utamanya di kalangan kaum muda dan perempuan.

Kaum muda perlu membekali dirinya dengan kemampuan berpikir kritis. Tujuannya agar mereka tidak mudah bertaklid buta dengan menerima informasi, pengetahuan, atau pendapat secara mentah-mentah tanpa terlebih dahulu mengkritisinya. Demikian pula bagi perempuan. Kemampuan berpikir kritis memungkinkan mereka memiliki posisi tawar di tengah kultur masyarakat yang patriarkis.

Perempuan dengan nalar kritis yang kuat dipastikan tidak akan mudah disetir opini dan sikapnya oleh pihak manapun. Termasuk dalam hal paradigma atau perilaku beragama. Dengan nalar kritis, perempuan dimungkinkan untuk mengambil keputusan secara rasional dan bijak tanpa terpengaruh oleh orang lain.

Di saat yang sama, perempuan juga harus meningkatkan kapasitas intelektual dan membangun kemandirian ekonomi atau finansial. Kenyataan menunjukkan bahwa perempuan yang kritis dan independen, cenderung memiliki tingkat kekebalan yang tinggi pada paparan radikalisme dibandingkan dengan perempuan yang secara intelektual dan ekonomi lemah.

Facebook Comments