Media Sosial dan Jihad Online; Kontestasi Melawan Radikalisasi di Media Sosial

Media Sosial dan Jihad Online; Kontestasi Melawan Radikalisasi di Media Sosial

- in Narasi
451
0
Media Sosial dan Jihad Online; Kontestasi Melawan Radikalisasi di Media Sosial

Berita gembira untuk masyarakat Indonesia. Puncak HUT BNPT ke-13 di Teather Jakarta mengabarkan menurunnya indeks radikalisme. Sejak 2016-2023 memang terjadi penurunan signifikan angka terorisme. Suatu prestasi yang patut mendapat apresiasi. BNPT dan berbagai elemen bangsa yang memiliki kepedulian terhadap bangsa telah bersinergi sacata baik mengahalau laju radikalisme.

Namun demikian, hal itu tidak berarti kepadaman total gerakan kelompok radikalisme. Sebab disinyalir mereka hanya merubah cara dan taktik penyebaran paham radikalisme. Suatu pola gerakan senyap namun lebih efektif untuk mencetak kader teroris. Sebagai buktinya adalah massifnya propaganda radikalisme-terorisme di media sosial sampai detik ini. Sasarannya tidak lain generasi muda yang memang memiliki kecenderungan tinggi sebagai pemakai media sosial.

Pemanfaatan media sosial menjadi cara baru bagi kelompok radikal untuk menyebarkan sel-sel ideologi terorisme maupun ekstremisme. Kelompok teroris melakukan propaganda, untuk mendapatkan pengaruh, dan menjaring kader melalui Facebook, YouTube, blog dan WhatsApp. Dalam konteks anak-anak, pemuda dan pemudi sebagai targetnya.

Pemilihan media sosial sebagai media propaganda karena dunia maya menjadi kekuatan nyata yang menghubungkan solidaritas dan militansi kelompok radikal yang jangkauannya sangat luas hingga ke lintas negara. Media sosial memberikan kemudahan dalam berinteraksi dan pengorganisasian. Sehingga, keakraban terhadap doktrin dan propaganda di media sosial pada akhirnya membentuk pemahaman, seolah-olah ideologi radikal merupakan kebenaran.

Strategi dan Pola Gerakan Kelompok Radikal di Media Sosial

Berbeda dengan strategi dan pola gerakan Kelompok radikal di dunia nyata, di media sosial cenderung lebih halus dan tidak kentara. Disebarkan pelan-pelan, terorganisir dan rapi. Pemuda dan pemudi yang setiap saat mengkonsumsi propaganda dan doktrin kelompok radikal pada akhirnya meyakini sebagai kebenaran. Lebih-lebih, anak-anak muda dengan pengetahuan agama di bawah standar. Strategi dan pola kelompok radikal menyebarkan ideologi secara garis besar adalah berikut ini.

Pertama, membuat laman-laman tertentu untuk menyebarkan ide dan gagasan kebencian. Isu yang diangkat seperti kesenjangan ekonomi, bencana alam, dan berbagai fenomena pahit. Semua itu terjadi karena negara kita memakai sistem demokrasi, bukan khilafah. Propaganda seperti Indonesia negara thagut juga kerap kali dihembuskan. Ujaran-ujaran kebencian seperti itu disebar luaskan di media sosial serta di poles dengan bumbu-bumbu agama.

Alhasil, anak-anak muda yang lemah pengetahuan agamanya menilai propaganda semacam itu sebagai suatu kebenaran. Mereka larut dan terpengaruh. Intoleransi dan pemahaman ideologi radikal mulai mengendap di alam bawah sadar kelompok pemuda.

Kedua, setelah provokasi dengan ide dan gagasan kebencian, berikutnya adalah penanaman paham radikal. Cara yang dikembangkan adalah masuk melalui ranah agama. Ajaran agama dipilih sebagai media penanaman paham radikal sebab keimanan memiliki unsur emosional yang kuat. Sedikit saja emosional itu disentuh seseorang bisa berbuat dan melakukan apa saja dengan alasan “agama”.

Doktrin-doktrin batil kelompok radikal dibungkus dengan kemasan agama. Masyarakat akar rumput, khususnya anak muda, akan menyangka hal itu sebagai ajaran agama. Misal, melawan negara yang menggunakan sistem demokrasi seperti di Indonesia merupakan kewajiban, membunuh non muslim adalah jihad, dan mereka yang tidak sehaluan adalah kafir.

Pemahaman yang radikal seperti ini jamak ditemukan di laman-laman media sosial. Tampilannya yang menarik yang sesuai dengan trend dan kesukaan kaum muda menjadi daya tarik sendiri. Tak ayal, tipuan berkedok agama berhasil mempengaruhi otak dan pikiran kaum muda.

Ketiga, mengajari pola teror seperti cara merakit bom secara otodidak. Pola ini tersebar di media seperti website yang identitasnya disembunyikan dengan alat teknologi inkripsi yang belum diketahui. Selain itu, kelompok radikal juga membuat konten-konten berisikan agenda terorisme yang disebarkan dengan sangat rahasia kepada mereka yang benar-benar telah terpengaruh paham radikal dan siap menjadi teroris.

Maka, jangan dikira pemuda-pemudi yang kita semuanya steril dari paham radikal. Justru, ancaman terbesar saat ini bagi mereka adalah media sosial. Sebab media sosial telah menjadi kiblat dan referensi keagamaan kaum muda. Ada kecenderungan peningkatan kaum muda belajar agama dari internet ketimbang ke sekolah maupun pesantren. Lebih-lebih adanya beberapa pesantren yang terbukti sebagai gembong penyebaran paham radikal. Mereka berkesimpulan, pesantren tidak lebih baik dari media sosial dalam hal belajar pengetahuan agama.

Pergerakan cyberspace yang dilakukan kelompok radikal menjadi ancaman serius terhadap kalangan anak muda. Kalau hal ini tidak segera diantisipasi akan ada gelombang pasang besar munculnya teroris-teroris dari kalangan pemuda, laki-laki maupun perempuan. Kekacauan, kekerasan, kematian mereka yang tak berdosa diambang mata.

Jihad Menebarkan Gagasan Islam Rahmatan lil ‘Alamin di Media Sosial

Pola dan strategi baru yang dipraktikkan kelompok radikal perlu ditanggapi serius oleh pemerintah maupun masyarakat. Media sosial harus dipenuhi dengan konten-konten positif. Menciptakan situasi di media sosial dengan hawa kondusif. Karena agama yang sering dibuat kambing hitam, maka yang diperlukan adalah memperkaya laman-laman media sosial dengan ajaran agama (Islam) yang mencerminkan nilai-nilai universal dan kerahmatan.

Tentunya, harus dilakukan secara terorganisir dan terukur supaya berjalan efektif. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan: “Kebenaran yang tak terorganisir akan mudah dikalahkan kebatilan yang terorganisir”. Pergerakan kelompok radikal yang terorganisir harus dilawan dengan gerakan yang terorganisir pula.

Bagi pemerintah, penanggulangan paham radikalisme-terorisme tidak cukup hanya dialkukan melalui program sosialisasi deradikalisasi agama di ruangan aula, hotel dan tempat mewah yang lain. Cara dan segmentasi sosialisasi seperti itu tidak menyentuh objek sebenarnya. Hal semacam itu tidak mampu menyelesaikan dan menghapus cara pandang anak-anak muda yang mulai kerasukan paham radikal.

Yang perlu digiatkan adalah membentuk komunitas-komunitas digital dari kalangan anak muda. Melibatkan organisasi keagamaan maupun organisasi kepemudaan yang secara nyata turun langsung dan intens berkomunikasi dengan kaum muda. Serta, tindakan tegas adanya regulasi hukum dengan sanksi tegas dan hukuman berat.

Penulis melihat, terutama di Kalimantan Barat, ada beberapa organisasi seperti “Aswaja Center an Nahdliyyah” yang giat melakukan program deradikalisasi sekalipun tidak didukung anggaran dana pemerintah. Bermodal kesadaran beragama yang mengedepankan moderasi beragama dan wawasan kebangsaan yang kuat, bergerak dengan pola dan strategi penguatan di media sosial terutama melawan propaganda kelompok radikal.

Mereka melakukan gerakan deradikalisasi sampai pada tingkat paling bawah, seperti di masjid dan mushalla, bahkan menyentuh kaum muda yang memiliki hobi nongkrong di warung-warung kopi. Kemudian dibuat kelompok-kelompok kecil komunitas digital untuk menyebarkan wacana keagamaan yang inklusif berlandas pada ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah yang bercirikan moderat dan toleran.

Anak-anak muda dibimbing menjadi muslim yang tidak anti keberagamaan, melakukan kampanye perlawanan terhadap radikalisme, menyebarkan argumen anti radikalisme-terorisme dan seterusnya. Pemuda-pemuda dididik dijadikan ujung tombak menyebarkan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin melalui konten-konten di media sosial. Bahkan, telah memiliki komunitas sebagai tim cyber yang memantau perkembangan radikalisme di media sosial.

Selain itu, juga merangkul alumni-alumni pesantren yang lemah dalam wawasan kebangsaan. Kepada mereka deberikan asupan gizi wawasan kebangsaan serta dimotivasi untuk melakukan jihad di media sosial berupa wacana tanding melawan arus gerakan radikalisme. Sehingga mampu merubah wajah beragama di media sosial; yang awalnya dipenuhi konten-konten berbau radikalisme-terorisme menjadi suasana beragama yang toleran dan menghargai perbedaan.

Namun, tentunya gerakan mandiri ini memiliki keterbatasan kemampuan. Karenanya, sinergitas dan kerjasama pemerintah sangat dibutuhkan. Sebab keberhasilan untuk menangkal pola dan strategi gerakan kelompok radikal di media sosial tidak cukup dibahas di ruang berAc, namun minim tindakan nyata. Dibutuhkan kerja-kerja gradual yang langsung menyentuh kalangan pemuda.

Facebook Comments