Bahayanya “Candu Fanatisme” Menjadi Seorang Pengikut

Bahayanya “Candu Fanatisme” Menjadi Seorang Pengikut

- in Narasi
1468
0
Bahayanya “Candu Fanatisme” Menjadi Seorang Pengikut

Terkadang, kefanatikan kita terhadap seseorang yang kita kagumi, entah terhadap seorang tokoh pemikir, penyanyi, model, olahragawan atau seorang tokoh ulama sekali-pun. Kadang menjadikan kita lupa diri terhadap hal-hal yang sifatnya “kesadaran yang etis dan objektif”. Sehingga, kekaguman yang berlebihan menjadikan kita buta penilaian.

Kita akan selalu menganggap seseorang yang kita kagumi selalu menempati posisi yang paling benar. Sekali-pun dia berbuat kesalahan dan melanggar hukum. Apa yang diucapkannya seperti “mantra-mantra” yang harus diikuti sekali-pun itu ujaran kebencian. Di setiap tindakannya seperti “langkah suci” yang harus diikuti dan wajib dibela mat-matian. Sekali-pun itu mutlak dan objektif membawa dampak kemudharatan.

Dinamika yang semacam ini bukan berarti, kita tidak boleh menjadi seorang pengikut sejati. Apalagi menjadi seorang pengikut ulama sebagai sang pewaris Nabi. Tetapi, hal yang sangat penting di dalam menjadi seorang pengikut, adalah pentingnya menghidupkan daya kesadaran diri, hati nurani dan akal sehat untuk kita benar-benar menjadi pengikut yang tidak hanya sekadar “taklid buta” dan menjadi lupa diri.

Karena tugas menjadi seorang pengikut itu tidak selamanya mengikuti apa-pun yang dibicarakan atau bahkan dilakukan oleh seseorang yang kita kagumi. Maka, pentingnya untuk membangun semacam “kesadaran yang objektif” sekaligus etis terhadap apa yang dibicarakan dan apa yang dilakukan oleh seseorang yang kita kagumi dan ikuti.

Sehingga, ketika dia jelas-jelas melanggar hukum dan berbuat sesuatu yang menyalahi koridor etika dan kemanusiaan. Maka, sudah sepantasnya kita menyatakan itu sebagai kesalahan dan tidak patut untuk kita membenarkan-nya. Apalagi sampai membela sedemikian rupa. Agar orang yang kita kagumi, seolah tidak tampak memiliki kesalahan terhadap apa yang dilakukan atau apa yang diucapkan.

Di sinilah pentingnya menjadi seorang pengikut yang bijak. Dengan membangun jalan “kebenaran yang objektif dan etis” di setiap penilaian dan apa yang kita ikuti. Artinya, apa-pun yang dilakukan dan dibicarakan oleh seseorang yang kita kagumi itu jika baik dan tidak berdampak kemudharatan. Maka, wajib untuk kita ikuti. Namun, jika apa yang dilakukan dan apa yang dibicarakan oleh orang yang kita kagumi itu buruk, tugas kita adalah meninggalkan dan jangan melakukannya.

Apalagi ketika orang yang kita kagumi melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Kita perlu menjadikan diri sebagai seorang pengagum yang bijak dan berakal sehat tadi. Jika orang yang kita kagumi jelas-jelas melakukan sesuatu yang tidak membawa teladan yang baik, seperti berbuat keburukan. Kita tidak boleh membela keburukan itu sebagai kebenaran.

Kita harus menyadari bahwa sosok yang kita kagumi sedang berada dalam wilayah (bersalah) sehingga hal yang pantas untuk kita lakukan adalah menerima, dijadikan pelajaran dan jangan ikuti. Karena kita jangan terlalu mendewakan seseorang yang kita kagumi. Jika dia berada dalam posisi yang salah.

Sehingga, ketika seseorang yang kita kagumi ingin diadili terhadap perbuatannya yang melanggar hukum, niscaya kita akan memberontak. Merasa seseorang kita kagumi itu sedang dizhalimi dan sedang mengalami perlakuan yang tidak adil. Kita tidak menerima bahwa orang yang selama ini menjadi sosok yang dikagumi dianggap melakukan kesalahan.

Sekali-pun secara fakta objektif, memang benar-benar melakukan kesalahan. Tetapi beginilah candu penyakit fanatisme yang kita hadapi ketika menjadi seorang pengikut. Kadang lupa, bahwa orang yang kita kagumi atau orang yang kita ikuti melakukan kesalahan yang sebetulnya harus diamini dan dijadikan pelajaran untuk tidak diikuti apalagi dibela.

Facebook Comments