Bangsa ini tentunya mengenal figur Buya Ahmad Syafii Maarif. Salah satu cendekiawan muslim, yang selain dikenal sebagai mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, juga merupakan sosok yang banyak menyumbangkan pemikirannya terhadap negara dan agama serta relasi keduanya. Beliau dikenal sebagai salah satu tokoh pemikir Islam yang moderat.
Menurut Buya Syafii Maarif, agama berfungsi sebagai agen kekuatan revolusioner dan liberatif. Itu artinya, agama sudah seharusnya mampu menghantarkan penganutnya kepada kesejahteraan; berkonstribusi dalam perubahan-perubahan sosial; penegak HAM dan keadilan; penerapan demokrasi yang baik; pembela Pancasila secara utuh; serta memberikan pembebasan terhadap kaum yang tertindas dan minoritas (Nuraini, 2019).
Berbagai hal tersebut merupakan gagasan Buya Syafii Maarif yang berkaitan dengan humanisme Islam. Pandangan ini tercermin dalam berbagai bentuk persoalan bangsa di antaranya Pancasila, pluralisme agama, politik, demokrasi, dan keadilan-kemanusiaan. Yang inti orientasinya adalah terciptanya hubungan senafas antara Islam, ke-Indonesiaan, dan juga kemanusiaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa ketiganya kerap dibenturkan oleh oknum-oknum intoleran ataupun Islam radikal.
Sementara itu, dalam bidang politik, pandangan Buya Syafii Maarif terhadap Pancasila lebih menekankan nilai substantifnya. Laiknya ungkapan Hatta, “Janganlah gunakan filsafat gincu, tampak tetapi tak terasa; pakailah filsafat garam, tak tampak tetapi terasa”. Artinya adalah Islam tidak perlu dijadikan dasar negara Indonesia, tetapi yang diperlukan adalah substansi Islam itu sendiri harus bisa dijadikan pedoman untuk menjalankan pemerintahan. Pancasila yang dimasukkan nilai-nilai Islam tentu akan benar-benar bisa menjadikan Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur (Marlena, 2018).
Buya Syafii Maarif (2015) menyebutkan setidaknya ada lima pokok permasalahan tuntutan masyarakat kontemporer yang sering dibicarakan di ruang publik dan besar pengaruhnya dalam kehidupan beragama. Kelima hal tersebut dalam pandangan beliau perlu adanya satu tatanan pedoman sebagaimana pemikiran beliau berkaiatan dengan Fikih Kebangsaan.
Pertama, menyangkut pemerataan dan kualitas pendidikan. Termasuk di dalamnya pengetahuan keagamaan (religious literacy). Tidak hanya pengetahuan tentang agama Islam, tetapi juga tentang agama-agama lain. Jangankan tentang agama lain, tentang aliran-aliran dan sekte-sekte di lingkungan agamanya sendiri saja terkadang masih sulit dipahami. Oleh karena itu, corak pendidikan yang ada di tanah air sudah seharusnya berwawasan kebangsaan dan berorientasi pada keadaban manusia, selain aspek pengetahuan.
Kedua, eksistensi negara bangsa (nation-states). Telah kita ketahui bahwa masih banyak umat beragama belum merasa nyaman (comfortable) hidup di era negara-bangsa dengan sistem demokrasi yang digunakan untuk mengatur lalu lintas alih kepemimpinan. Pun demikian, equal citizenship, sama dan sederajat di hadapan hukum, belum sepenuhnya rela diterima oleh umat beragama. Karenanya, toleransi antar umat beragama harus senantiasa dibumikan. Keadilan dan supermasi hukum harus selalu ditegakkan.
Ketiga, pemahaman manusia beragama era modern tentang martabat kemanusiaan (al-karamah al-insaniyyah/human dignity). Persyarikatan bangsa-bangsa selalu memantau bagaimana negara dan seluruh warganya melindungi dan menjaga martabat kemanusiaan. Dari sini jelas adanya titik temu antara negara, agama, dan kemanusiaan. Ketiganya adalah hal yang saling mendukung dan melengkapi satu sama lainnya. Jangan sekali-kali membenturkan ketiganya.
Keempat, semakin dekatnya hubungan antar-umat berbagai agama di berbagai negara sekarang ini. Hampir boleh dikata, contohnya saja di mana ada orang Muslim di situ ada juga orang Kristen dan begitu pula sebaliknya. Lihat perkembangan demografi Muslim di Eropa misalnya juga di Indonesia di bagian mana pun. Indonesia yang notabene dikenal sebagai negara bhinneka sejatinya nenek moyang kita sudah mengajarkan untuk selalu hidup rukun. Keberagaman adalah khasanah bukan pemicu munculnya konflik.
Kelima, adalah kesetaraan dan keadilan gender. Sebagai akibat dari sistem co-education dan education for all, tingkat dan kualitas pendidikan perempuan meningkat tajam dan berakibat pada tuntutan akan semakin baiknya kualitas pemahaman akhlak. Di era modern ini, pendidikan sudah bukan hal yang eksklusif untuk kaum tertentu. Pendidikan merupakan hak segala bangsa tanpa diskriminasi. Termasuk kaitannya dengan gender, pendidikan harus adil baik itu bagi kaum laki-laki maupun perempuan.
Kelima persoalan kebangsaan tersebut beserta konstruksi solusinya sebagaimana digagas Buya Syafii Maarif dalam bingkai Fikih Kebangsaan patut kita aktualisasikan dalam kehidupan berkebangsaan. Selain dijadikan sebagai tatanan pedoman berkebangsaan juga dalam rangka mewujudkan kehidupan yang damai, adil, dan makmur, yang tentunya membutuhkan komitmen dan kerja sama kita bersama seluruh elemen bangsa ini.