Di antara kita, tidak sedikit yang masih saja membeda-bedakan manusia berdasarkan latar belakangnya, baik agama, status sosial, kadar pendidikan, afiliasi politik, termasuk juga latar belakang ras dan warna kulitnya. Yang agama dan imannya sama, dinilai lebih baik dari yang agama dan imannya berbeda. Yang status sosialnya lebih tinggi dinilai sebagai yang terbaik dibanding yang status sosialnya lebih rendah. Begitu seterusnya, hatta soal warna kulit, juga dijadikan alasan untuk saling membedakan satu sama lain.
Misalnya, jujur saja, masih banyak yang berpandangan sempit bahkan picik, bahwa keluhuran seseorang tergantung warna kulitnya. Yang kulitnya berwarna putih, dinilai sebagai yang termulia dan terluhur. Sebaliknya, yang berkulit sawo matang atau bahkan hitam pekat, lantas dinilai sebagai yang hina dan tidak bernilai. Secara umum pandangan kolonialistik demikian masih saja kita dengar di berbagai kesempatan.
Ujungnya, yang berkulit putih dinilai sebagai makhluk pilihan dan yang berkulit hitam sebagai makhluk kutukan dan bahkan dinilai sekelas binatang. Kebijakan politik apartheid di Afrika Selatan bisa menjadi contoh paling absah, sebelum dihancurkan oleh Nelson Mandela, seorang tokoh penting berkulit hitam yang berhasil menjadi pemimpin tertinggi di sana.
Dalam tuturan Farid Esack (mufassir kenamaan dari Afrika Selatan), dalam al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, bahkan orang berkulit hitam zaman Apartheid diposisikan bukan laiknya sebagai manusia. Dalam segala hal selalu dibatasi dan didiskriminasi. Ini sama halnya dengan cara pandang masyarakat jahiliah dulu, yang memandang orang-orang kulit hitam hanya layak sebagai budak.
Inilah cara pandang penuh kesombongan dan keangkuhan (al-kibr/al-takabbur), yang oleh Abdurrazzaq al-Qasyani (Tafsir Ibn ‘Araby II/229) dimaknai sebagai al-tadhahur bima laisa fih min al-fadhilah min shifah al-nafs (menampakkan sisi keutamaan diri sendiri yang sesungguhnya tidak pernah ada). Karena memang, perbedaan warna kulit itu bukan sebagai dan tidak semestinya dijadikan ukuran kemuliaan dan keluhuran seseorang.
Namun nyatanya, hingga kini di kalangan masyarakat modern sekalipun, tidak serta pandangan ini lantas hilang begitu saja. Ungkapan-ungkapan rasis masih saja tetap sering kita dengar. Andaikan kita tidak cocok dengan perilaku seseorang, maka tidak semestinya kita merendahkan latar belakang rasnya. Bencilah perilakunya saja dan bukan latar belakang keturunannya.
Allah Swt sendiri tidak pernah melihat rupa dan fisik hamba-Nya, melainkan lebih melihat hati dan lelakunya (inna Allah la yandhuru ila shuwarikum wa la ila ajsamikum wa lakin yandhuru ila qulubikum wa a’malikum). Hati dan perilaku inilah yang menjadi ukuran bagi Allah Swt dalam memandang hamba-hamba-Nya, dengan berbagai keragaman yang dimilikinya. Perbuatan baik yang berarti kemuliaan, tidak tergantung pada latar belakangnya. Hal demikian yang juga sering dikatakan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Jika kita bisa melakukan kebaikan, maka orang tidak akan mempertanyakan apa latar belakang agama kita.
Ajaran ini sesungguhnya telah jauh-jauh hari didengungkan Islam. Allah Swt berfirman, misalnya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. al-Hujurat [49]: 13).
Untuk menguatkan ajaran ini, seperti dituliskan Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani (al-Mu’jam al-Kabir, XVII/12), Muhammad SAW pernah menyatakan, tidak ada keunggulan orang Arab atas orang badui dan sebaliknya tidak ada keunggulan orang badui atas orang Arab. Pun tidak ada keunggulan orang kulit putih atas orang kulit hitam dan sebaliknya tidak ada keunggulan orang kulit hitam atas kulit putih. Keunggulan itu hanya terletak pada ketakwaannya.
Dan sabda Muhammad Saw di atas, sesungguhnya didasari oleh ayat al-Qur’an yang melarang untuk merendahkan atau menghina orang lain. Karena bisa jadi, orang yang direndahkan justeru lebih mulia di hadapan Allah Swt dibanding yang merendahkan. Karena itu, pandangan kemuliaan semestinya ditatapkan pada siapapun terlepas latar belakang status sosial dan agamanya; pun dari jenis kelaminnya. Ini jelas sekali terlihat dari firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik darinya. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. al-Hujurat [49]: 11)
Ajaran demikianlah yang menjadikan Muhammad begitu dekat dengan orang-orang yang justru dipinggirkan kala itu, termasuk orang-orang kulit hitam semacam Bilal bin Rabah, budak hitam dari Habasyah (Etiopia). Jelaslah, tidak selayaknya seseorang melihat negative dan minor pada orang lain hanya karena melihat sisi perbedaan kodratinya, perbedaan yang dia sendiri tidak kuasa menolaknya karena memang sudah “dari sono”nya. ‘Ala kulli hal, kendati kulit berbeda, semuanya tetap manusia hamba Allah Swt yang layak dihormati dan dijunjung tinggi martabatnya.