Kepedulian terhadap Islam dapat diwujudkan salah satunya dengan tak henti-hentinya berpikir dan merenung tentang eksistensinya sebagai agama Allah. Dalam Islam, aktivitas berpikir dan merenung ini disebut dengan tafakkur. Posisi tafakkur nomor dua setelah tadzakkur atau zikir (QS. Ali Imran: 191).
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Berpikir sejenak lebih baik daripada ibadah sunnah selama 70 tahun.” Luar biasa sabda ini! Tentu ada rahasia tersembunyi di dalam aktivitas berpikir sehingga Rasulullah sangat menganjurkan umatnya untuk melakukannya.
Kami berasumsi, masih banyak umat Islam yang malas bahkan enggan berpikir tentang Islam. Alih-alih mengamalkan Islam dengan “baik dan benar,” memikirkannya pun ogah. Jika demikian keadaannya maka yang segera terjadi ke depan adalah kevakuman dalam pemikiran keislaman.
Salah satu bukti nyata bahwa kegiatan pemikiran Islam ini tengah mengalami stagnasi ialah maraknya aksi teroristik sekarang ini. Aksi teror tidak mungkin terjadi kalau si pelaku mau sejenak saja berpikir dan merenung tentang apa yang hendak dilakukannya. Andai ia dalam keadaan sadar diri pastilah ia akan mengurungkan niatnya melakukan bom bunuh diri.
Ini salah satu bukti nyata di mana ajaran Islam belum menginternalisasi di dalam diri seorang muslim (pelaku bom bunuh diri) tadi. Fenomena ini sejatinya hanyalah bersifat luaran semata. Artinya, di balik aksi-aksi kekerasan berbasis agama, sejatinya ada hal yang sangat mendasar untuk diungkapkan.
Dalam tulisan ringkas ini kami tak bermaksud membahas masalah teror dan terorisme. Kami hanya ingin menegaskan bahwa ada aspek yang kian melemah di dalam umat Islam, yakni aspek intelektualitas. Padahal wahyu Al-Qur’an yang turun pertama kali adalah Surah Al-‘Alaq (Iqra’) yang sangat terang sekali menyuruh kita untuk membaca.
Membaca jelas merupakan salah satu aktivitas intelektual. Membaca sendiri ada dua: membaca yang tersurat (matluw) dan yang tersirat (ghayru matluw). Dalam konteks ayat, ada ayat Qur’aniyah dan ada ayat Kauniyah (fenomena alam). Keduanya merupakan objek untuk dibaca dan dipikirkan agar dapat diraup kebenaran yang ada di dalamnya.
Sekarang, apa masalah dasar/pokok tentang Islam yang meski kita pikirkan bersama? Salah satunya adalah soal ukhuwah Islamiyah yang kian longgar dan makin terkotak-kotak. Ormas Islam ternyata berevolusi menjadi “Islam” itu sendiri. Identitas keormasan menjadi kian mengental dan pada akhirnya substansi Islam pun terabaikan.
Masing-masing kelompok Islam bangga dengan kelompoknya. Inilah yang dikritik Allah dalam ayat Al-Qur’an: Kullu hizbin bimâ ladayhim farihûn; Setiap kelompok bangga dengan kelompoknya masing-masing. Sekadar bangga sih boleh saja; tapi bangga yang mengarah pada sikap takabur dan meremehkan kelompok lain maka hal ini sudah keluar dari spirit ajaran Islam.
Di samping soal ukhuwah (persaudaraan) sesama umat Islam yang kian longgar, umat Islam juga kian rendah kualitas akhlaknya. Anak-anak muda Islam sekarang banyak yang tidak lagi peduli dengan ajaran moral; pergaulan dan seks bebas, narkoba, kekerasan dan perkelahian antar pemuda, aksi sadis geng motor, dan aneka penyakit sosial lainnya.
Sedangkan para orang tua, bahkan mereka yang melek Islam, tidak sedikit yang suka menghina dan mengkafirkan sesama umat Islam. Sungguh hal yang demikian ini bukan termasuk etika Islam yang mulia (akhlukulkarimah) sebagaimana diajarkan Rasulullah. Bukankah beliau diutus oleh Allah ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak?
Solidaritas sosial umat Islam pun kian melemah dewasa ini. Apalagi jika menyangkut nasib saudara-saudara sesama Islam yang nun jauh di Palestina, Irak, Syria, Myanmar, dan lain-lain. Padahal Nabi Muhammad SAW sudah menegaskan: “Umat Islam itu satu dengan yang lain bagaikan bangunan yang saling menguatkan.” Apakah sekarang ini kita saling menguatkan? Ataukah sebaliknya: saling melemahkan?!
Teramat banyak memang PR kita sebagai umat Islam maupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang kita cintai bersama. Seolah waktu 24 jam dalam sehari-semalam tidak cukup buat kita memikirkan dan melakukan sesuatu untuk Islam dan juga Indonesia.
Namun demikian, sebagaimana judul di atas, senantiasa berpikir tentang Islam pun sudah baik dan merupakan bagian dari kepedulian kita kepada agama Allah yang mulia dan indah ini. Peduli Islam pada dasarnya peduli Indonesia, bahkan dunia, yang kini kian tak terpisahkan dari kehidupan kita bersama. Wallahu A’lam.