Di jejaring social media, bertaburan ajakan puitis untuk berhijrah ke bumi Syam. Terlepas dari fiktif atau tidaknya kisah itu, orang awam yang mengalami kegersangan emosi dan kesepian psikis akan rentan mengikuti ajakan hijrah ke bumi Syam, yang digadang-gadang sebagai hijrah yang sejati. Padahal, dalam konteks kekinian, kita sudah tidak lagi mendapat kewajiban berhijrah. Kita perlu menengok ke belakang, bahwa Rasulullah Saw berhijrah ketika menemukan momentum penolakan ajaran Islam yang sangat menyakitkan. Sedangkan, sekarang, Indonesia merupakan negeri yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip beragama (Islam). Di Indonesia, Islam mendapat tempat yang istimewa, dan sekaligus memberikan keistimewaan.
Setelah membaca beragam kisah hijrah ke Syam, kita tak boleh terlibat mendalam dalam keinginan, sebab kisah tersebut belum jelas, fiksi atau fakta. Yang lebih penting bagi kita selanjutnya adalah kejelian dalam membuka sejarah nubuwwah, meneladani keimanan dan komitmen ketaqwaan Rasulullah Saw, sejauh yang bisa dilakukan. Rasulullah Saw mendapat perintah hijrah, tidak berangkat dari ruang hampa. Namun, Rasulullah Saw berhijrah meninggalkan keluarga dan tanah kelahirannya semata-mata karena perintah dari Allah Swt. Ajaran Islam ditolak di tanah kelahirannya, sedangkan di tempat kaum Anshar, ajaran Islam begitu dirindukan. Begitulah, konteks sosiohistoris yang tak boleh kita tinggalkan dalam melihat anjuran hijrah ke Syam.
Dalam konteks Indonesia masa kini, momentum Hijrah tak boleh ditafsirkan secara sempit sebagai kewajiban untuk berhijrah ke Syam. Terlebih, setiap muslim sudah mendapatkan hak untuk menjalankan ritual ibadah. Lagi pula, ada keluarga yang membutuhkan kasih sayang, kebersamaan, dan cinta. Secara kontekstual, kita tak lagi wajib berhijrah. Meski demikian, kita wajib memiliki spirit hijrah dari kisah perjuangan Rasulullah Saw. Kisah perjuangan hijrah Rasulullah Saw seharusnya kita jadikan teladan dalam membangun tradisi lingkungan yang damai, penuh iklim persahabatan, toleransi, dan keharmonisan.
Dalam membangun dasar-dasar kemasyarakatan di Madinah, Rasulullah Saw bertumpu pada prinsip-prinsip kemanusiaan dalam Islam. Padahal, ketika Rasulullah Saw berada di tengah-tengah masyarakat Madinah, kota itu diguncang masalah. Bahkan tragis, masyarakat miskin yang notebene harus dikasihi justru dijadikan budak. Sebagai upaya mengatasi kesenjangan, Rasulullah Saw menerapkan strategi yang halus, yakni mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum anshar. Tak hanya secara lahir, persaudaraan yang dibinakan oleh Rasulullah Saw juga menyentuh aspek batiniah.
Persatuan antar umat beragama pun dibina dengan baik. Rasulullah Saw mampu menyambungkan hati kaum muslim dengan orang Yahudi dan Nasrani melalui Piagam Madinah. Konsekuensi logisnya, masyarakat Madinah menjadi masyarakat yang saling mengasihi, salling bertoleransi, dan memuliki adab yang mulia. Persaudaraan yang kokoh berdasarkan kemanusiaan dan kemuliaan Islam menjadikan Madinah sebagai kota yang bercahaya dan nyaman dijadikan tempat tinggal. Prestasi luar biasa pun dicetak oleh kaum muhajirin. Dengan bimbingan Rasulullah Saw, mereka mampu berhijrah dan membangun pilar-pilar masyarakat madani.
Tidak mudah untuk beradaptasi sebagai warga baru. Pun begitu, kaum muhajirin bersikap bijaksana. Mereka hendak mencari saudara dan tempat yang meruangkan ibadah sepenuh kekhusyukan. Dan, Madinah yang notabene memiliki kondisi geografis yang tak sama dengan Mekah—pada waktu itu—harus dijadikan tempat bernaung. Kaum muhajirin dengan spirit keimanannnya mampu menjalin komunikasi antar budaya secara menakjubkan. Pada awal-awal episode hijrah, Rasulullah Saw pernah berduka ketika melihat Abu Bakar sakit. Meski didera kondisi sulit, Rasulullah Saw tak mengeluh, bahkan beliau melangitkan doa indah.
Rasullah Saw bersabda, “Ya Allah, buatlah kami mencintai Madinah seperti kami mencintai Mekah atau bahkan lebih banyak lagi. Sebarkanlah kesehatan di Madinah, berkahilah ukuran timbangannya, singkirkanlah sakit demamnya dan sisakanlah air dari padanya.” (HR Bukhari). Rasa cinta, toleransi, keadilan, dan spirit damai yang teguh dijadikan pegangan oleh Rasullah Saw untuk membangun Madinah memberikan nuansa kedamaian bagi seluruh masyarakat.
Kini, ketika ramai mediasosial mengajak hijrah (harus) ke Syam, maka alangkah lebih utama bagi kita untuk membuka lembaran perjalanan hijrah Rasulullah Saw yang begitu damai, santun, dan menyejukkan. Ketika negara sudah menyediakan ruang seluas-luasnya untuk beribadah dan berkarya, maka yang harus kita lakukan ialah menjaga spirit hijrah yang penuh nuansa perdamaian dan keharmonisan. Mari, kita penuhi komitmen berhijrah dengan meneladani sikap-sikap muliaRasulullah Saw dalam bermasyarakat. Jangan sampai, kita terobsesi untuk pergi ke Syam, namun sama sekali tak memiliki potensi hati untuk menyebar perdamaian. Mari, belajar bijaksana dari kisah hijrah Nabi. Wallahu’alam.