Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 90/TK/Tahun 2016 pada Tanggal 3 November 2016, KH R. As’ad Syamsul Arifin mendapatkan gelar pahlawan nasional. Penganugerahan dilakukan di Istana Negara oleh Presiden Joko Widodo kepada ahli warisnya, KH Ahmad Azaim Ibrahimy (9/11). Tahun 2016 ini, hanya satu tokoh yang mendapatkan gelar pahlawan nasional. Kiai As’ad lahir di Mekkah 1897 dan meninggal di Sutubondo 4 Agustus 1990 ini, orang yang menggerakkan rakyat dan santri khususnya dari Jawa Timur saat Pertempuran 10 November 1945 di Kota Surabaya.
Dalam jejak hidupnya, Kiai As’ad mengabadikan dirinya dalam jihad kepahlawanan yang luar biasa. KH Hasyim Muzadi (2016) menilai tiga hal yang istimewa dari gerak hidup Kiai As’ad. Pertama, perjuangan fisik melawan Belanda dan Jepang. Kedua, menggerakkan pasukan laskar rakyat yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ketiga, memberikan beasiswa pendidikan kepada rakyat yang tidak mampu melalui pesantren yang dipimpinnya.
Hidupnya adalah jihad. Kiai As’ad adalah mujahid yang gigih untuk tegaknya NKRI. Makanya, di daerah tapal kuda, Kiai As’ad selalu terdepan dalam melawan penjajah. Suatu ketika, Kiai As’ad memimpin para pejuang lain untuk menyerang serdadu Jepang di Garahan, Kecamatan Silo, dengan bergerilya. Berangkat dari Sumberwringin, Kiai As’ad menyusuri jalan puluhan kilometer, naik turun lembah, menembus hutan belantara dan menyeberang sungai. Gerilya Kiai As’ad rupanya tercium musuh. Belum sampai setengah perjalanan, Kiai As’ad dan pasukan dicegat serdadu Jepang, tepatnya di sungai Kramat. Pertempuran tak bisa dihindari, namun Kiai As’ad bisa mengatasi. Para serdadu Jepang itu lari tunggang langgang ke tengah hutan. Akhirnya, beliau tiba di Garahan. Namun serdadu Jepang di situ, rupanya sudah ciut nyalinya menyusul kegagalan rekannya mencegat Kiai As’ad di sungai Kramat.
Kiai As’ad dipercaya memimpin pasukan, keluar masuk hutan, membangun kekuatan melawan para penjajah. Para penjajah yang menguasai daerah eks karesidenan Besuki seperti Jember, Lumajang, Bondowoso dan Situbondo akhirnya bisa dipukul mundur. Kiai As’ad adalah komandan Laskar Hizbullah wilayah karesidenan Besuki. Ia menghimpun pasukan santri dan rakyat untuk selalu siaga melawan penjajah. Laskar inilah yang kemudian menjadi penyangga utama lahirnya Tentara Keamanan Ralyat (TKR). Ketika Indonesia merdeka, laskar rakyat inilah yang menjadi kekuatan militer bagi Indonesia. Disinilah, peran Kiai As’ad sangat krusial, karena pasukan rakyat yang ia pimpin di wilayah komandonya menjadi para pejuang yang gigih berjuang untuk menegakkan kemerdekaan.
Menurut Abdul Muqsit Ghazali (2016), Kiai As’ad bukan hanya karena ikut berperang merebut kemerdekaan, tetapi ia juga berjuang melalui pendidikan. Pesantren yang didirikan bersama ayahandanya sejak tahun 1914 telah lama menjadi lembaga pendidikan murah bahkan gratis buat masyarakat tidak mampu. Kini di pesantrennya tak kurang dari lima belas ribu santri yang belajar di sana, dari paling bawah seperti TK hingga perguruan tinggi. Para santri tak hanya belajar ilmu-ilmu keislaman tradisional melainkan juga ilmu-ilmu umum seperti kelautan, informatika, dan pertanian.
Jihad kepahlawanan Kiai As’ad juga dibuktikan ketika menegakkan Pancasila sebagai dasar negara. Lahirnya orde baru masih dipenuhi gonjang-ganjing politik yang tidak menentu, debat Pancasila masih berlangsung tanpa henti. Maka, tahun 1984, Kiai As’ad menjadi tuan rumah Muktamar NU. Di sinilah, Kiai As’ad berperan sangat besar. Pancasila dideklarasikan sebagai dasar negara, tidak bertentangan dengan Islam. Islam dan Pancasila adalah dua hal yang berbeda, bukan untuk dipertentangkan. Semua ulama setuju dengan pemikiran Kiai As’ad, sehingga Pancasila bisa diterima semua umat Islam.
Bersama KH Ahmad Siddiq, KH Ali Maksum, dan KH Masykur, Kiai As’ad menjadi “jembatan emas” yang menyelesaikan persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Mereka saling menguatkan untuk tegaknya NKRI. Orde baru akhirnya menemukan format pembangunan, dan Islam menjadi kekuatan utama negeri ini dalam membangun peradaban yang damai dan berkeadaban. Umat Islam menjadi tonggak utama lahirnya kekuatan yang selalu membawa kemaslahatan berbangsa dan bernegara.
Kiai As’ad menjalani semua kehidupan seharinya sebagai mujahid. Ia sama sekali tidak ingin dikenang sebagai pahlawan, karena ketulusannya dalam mengabdi kepada bangsa dan negara. Bahkan ketika ketika salah seorang intelektual NU menawarkan diri untuk menulis biografinya, Kiai As’ad marah. Ia merasa, perjuangannya tak pantas untuk dicatat.
Kini, gelar pahlawan sudah disematkan negara kepada Kiai As’ad. Jihadnya untuk tegaknya NKRI harus dilanjutkan, bukan sekedar dikenang dan dirayakan.