Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI yang digelar di Bangka Belitung pada Kamis 30 Mei 2024 kemarin, memutuskan sebuah fatwa keharaman mengucapkan salam lintas agama. Ucapan salam dari berbagai agama dianggap bukan implementasi dari toleransi/moderasi beragama yang dibenarkan. Jadi dalam putusan tersebut ditegaskan: “Pengucapan salam berdimensi do’a khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram”.
Fatwa keharaman ini beriringan ke dalam sebuah pandangan: Bahwa salam lintas agama itu dianggap akan merusak akidah umat Islam. Asrorun Niam Sholeh selaku bidang fatwa MUI menyatakan: “Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi, yang tidak diperkenankan Islam dalam motif mencampuradukkan wilayah akidah dan ritual keagamaan (sinkretisme/talfiq al-adyan) sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah”.
Lantas yang menjadi pertanyaan kita saat ini, benarkah salam lintas agama dapat merusak akidah? Secara orientasi, salam lintas agama berupa: Assalamu’alaikum Wr, Wb, Salam Sejahtera, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan yang disatukan sebagai salam lintas agama. Pada dasarnya tak ada korelasi kognitif yang diklaim mencampuradukkan keimanan/akidah karena dianggap “berdoa” dengan salam agama lain itu.
Fatwa keharaman salam lintas agama ini cenderung akan menjadi benalu bagi kehidupan sosial di tengah keberagaman. Sebab fatwa keharaman salam lintas agama ini tak sekadar berimplikasi pada realitas keberagaman yang acuh, melainkan berimplikasi pada ketegangan sosial di dalamnya. Bahkan, akan berpengaruh pada sikap dan perilaku yang cenderung menutup diri dan semakin membuat tembok pemisah secara sosial. Hingga menyebabkan kerentanan provokasi pemecah-belah akan sangat berpotensi di dalamnya.
Dalam konteks menjawab fatwa keharaman mengucapkan salam lintas agama yang dianggap merusak akidah itu. Saya tertarik dengan sebuah Hadits dari Rasulullah SAW bahwasanya: “Innamal A’malu Binniyat” (HR. Bukhari-Muslim) bahwa sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat. Artinya, amal atau perbuatan (amar ma’ruf) dari salam lintas agama itu bisa kita lihat dari niat (motif) yang menjadi dasar fundamental dalam memutuskan sebuah hukum atas perbuatan tersebut.
Kalau kita amati, tentu tak ada satu-pun ucapan salam lintas agama yang memiliki niatan (keyakinan) bahwa kita ingin berdoa berdasarkan agama lain. Niat fundamental yang dimiliki dalam ucapan salam lintas agama pada dasarnya menjadi simbol bahwa kita hidup dalam realitas keberagaman untuk dijaga eksistensinya satu-sama lain. Salam berbagai agama diucapkan sebagai bentuk pengakuan bahwa kita saling menjaga keselamatan, kedamaian dan kenyamanan satu-sama lain.
Apa yang kita ucapkan tentulah akan berkesinambungan dengan niat dan niat menjadi titik-terang bagaimana hukum atas perbuatan yang didasari oleh niat itu sendiri. Salam lintas agama tak ada lain sebagai bentuk perekat, pengingat dan pemersatu. Bahwa kita harus hidup ke dalam eksistensi keberagaman dan salam keagamaan dalam tiap-tiap agama yang disatukan menjadi simbol bahwa kita harus kokoh dalam persatuan dan kebersamaan yang harmonis.
Menjernihkan Dalil yang Kerap Dijadikan Dasar Keharaman Salam Lintas Agama
Ada satu hadits yang kerap dijadikan legitimasi keharaman mengucapkan selamat keagamaan. Yakni diriwayatkan oleh (HR-Muslim) “Jangan mulai bersalam kepada Yahudi dan Nasrani”. Hadits ini kerap dijadikan alasan bahwa haram hukumnya mengucapkan salam keoada non-muslim seperti dalam konteks salam lintas iman itu.
Padahal, hadits di atas tak lepas dari situasi dan kondisi yang mendasari. Bahwa, hadits tersebut berkaitan dengan kondisi dalam peperangan. Di mana kondisi waktu itu, non-muslim dari golongan Yahudi Bani Quraidzah yang melanggar aturan/perjanjian damai yang telah disepakati bersama Nabi justru dikhianati.
Sebab, Nabi dalam bentang sejarah memiliki kebiasaan mengucapkan salam kepada non-muslim yakni pada sekelompok Yahudi dan kaum Musyrik. Bahkan, sahabat Nabi yakni Abu Umamah al-Bahiliy saat bertemu dengan kaum muslim/non-muslim serta Sahabat Abdullah Ibnu Mas’ud saat menemani beliau dalam perjalanan, itu kerap mengucapkan salam keagamaan atas non-muslim.
Dalam bentang sejarah, Nabi Ibrahim mengucapkan salam kepada ayahnya yang kafir itu. Seperti yang termaktub dalam (Qs. Maryam: 47) “Dia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan bagimu. Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia Mahabaik kepadaku”. Ucapan salam ini tentulah tetap berpijak pada dasar niat yang kuat yang dimiliki Nabi Ibrahim. Bahwa Beliau tak bisa melawan bentakan ayahnya dan memaksakan ayahnya agar beriman.
Artinya apa? tak ada larangan bagi kaum muslimin dalam mengucapkan salam keagamaan atas non-muslim. Sebab, kalau kita amati, salam lintas agama ini sejatinya merujuk pada semangat penghormatan sekaligus jaminan hak beribadah, hak keamanan dan kedamaian bagi seluruh umat beragama. Jadi, tak ada korelasi kognitif yang mendasari salam lintas agama yang dianggap merusak akidah yang harus kita sadari dalam merawat keberagaman agar tetap harmonis lewat salam lintas agama itu.