Benarkah Menolak Khilafah Berarti Anti-Islam?

Benarkah Menolak Khilafah Berarti Anti-Islam?

- in Narasi
549
0
Benarkah Menolak Khilafah Berarti Anti-Islam?

Deklarasi menolak khilafah yang dibacakan pada Resepsi 1 Abad NU membuat para pengasong khilafah di Indonesia kelojotan bak cacing kepanasan. Dedengkot penyokong khilafah dan simpatisan HT, Suteki dalam kanal YouTube-nya menyebut bahwa penolakan NU terhadap khilafah sama saja dengan penyangkalan terhadap ajaran Islam.

Suteki menyebut bahwa siapa pun yang menolak dan menyangkal berdirinya khilafah Islamiyyah sama saja dengan tidak mempercayai ajaran Islam dan ketentuan Allah. Lantas, benarkah menolak ideologi atau gerakan khilafah bisa disama-artikan dengan menolak atau anti-Islam?

Hal pertama yang wajib dipahami ialah bahwa deklarasi menolak Khilafah itu bukan semata tentang Nahdlatul Ulama. Deklarasi itu dirumuskan pada Muktamar Internasional Fikih Peradaban 1 yang diikuti tidak kurang 300 peserta dan 15 pembicara kunci. Kelima belas pembicara kunci itu merupakan para pakar hukum Islam, dan Mufti dari institusi keagamaan yang mewakili negaranya.

Dari Indonesia saja ada nama-nama besar seperti K. H. Miftakhul Akhyar, Ra’is Aam PBNU. Lalu K. H. Ma’ruf Amin, wakil presiden RI, Quraish Shihab yang merupakan mufassir terkenal, K. H. Afiffudin Muhajir, wakil Ra’is Aam PBNUm dan Nyai Iffah Umniyati Ismail.

Dari Uni Emirat Arab hadir Syekh Abdullah bin Mahfuhd Ibn Bayyah, yakni ketua Majelis Fatwa UEA. Dari Arab ada Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Alawi al maliki al Makki. Ia merupakan ulama besar Mekkah. Sedangkan dari Mesir ada Grand Mufti Mesir 2003-2013, Syekh Ali Jum’ah.

Lalu hadir pula Sekretraris Jenderal Liga Muslim Dunia, Syekh Muhammad bin Abd karim al Issa. Serta Sekretaris Jenderal “Council of Islamic Fiqh”, yakni Koutoub Moustapha Kano. Mereka semua merupakan deretan pakar hukum Islam yang otoritatif. Hasil pemikirannya pun sudah barang tentu berbasis pada dalil naqli (teks keagamaan) dan dalil aqli (observasi).

Ketokohan seorang Suteki tentu tidak sebanding dengan deretan tokoh pembicara kunci tersebut. Meski bergelar “profesor”, Suteki tidak memiliki latar keilmuan hukum dan sejarah Islam yang memadai apalagi mumpuni. Ketokohannya justru lebih banyak dilatari dari opini-opininya yang kontroversial.

Khilafah Bukan Ajaran Islam dan Tidak ada di Alquran!

Hal selanjutnya yang juga wajib dipahami ialah apa sebenarnya makna khilafah? Selama ini, khilafah menjadi salah satu terminologi yang paling banyak disalahpahami oleh kalangan umat Islam sendiri. Jika merujuk pada makna kebahasaan, khilafah bermakna kepemimpinan, pemerintahan, dan perwakilan.

Alquran sebagai rujukan hukum Islam paling otoritatif tidak mengenal istilah khilafah. Pakar hukum Islam Universitas Monash, Australia, Nadirsyah Hossen menjelaskan bahwa di dalam Alquran, tidak ada istilah “khilafah“. Yang ada adalah Khalifah (pemimpin) dan itu pun hanya disebut dua kali yang merujuk pada Nabi Dawud AS dan Nabi Adam.

Senada dengan Hossen, dosen Ilmu Politik UGM, dan intelektual NU, Abdul Gaffar Karim menyebut bahwa sistem kekhalifahan bukan ajaran Islam. Istilah kekhalifahan muncul pasca wafatnya Rasulullah. Umat yang membutuhkan kepemimpinan sepeninggal Rasulullah lantas mendaulat pemimpin pengganti. Di masa khulafaurrasyidun, keempat pemimpin yakni Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali dipilih dengan cara berbeda dan mengakhiri kekuasaan dengan cara berbeda pula.

Hal itu disebabkan karena tidak adanya rujukan pasti tentang bagaimana suksesi kekuasaan dan sistem pemerintahan Islam dijalankan. Alquran hanya memberikan garis besar tanpa menjelaskan detiailnya. Pasca berakhirnya era khilafaurrasyidun, dunia Islam dikuasai oleh sistem monarki yang berciri dinastik dan absolut.

Para penguasa itu memiliki kekuasaan mutlak layaknya raja-raja Romawi dan mewariskan kekuasaan pada anak dan keluarganya. Model dinasti politik inilah yang lantas disebut sebagai kekhalifahan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa khilafah sama sekali bukan ajaran Islam. Khilafah hanyalah hasil ijtihad manusia dalam merespons situasi zamannya.

Era klasik hingga pertengahan memang identik dengan sistem monarki absolut. Dunia Barat (Amerika dan Eropa) apalagi dunia Timur (Arab, Asia, dlsb) belum mengadaptasi sistem demokrasi. Alhasil, sistem pemerintahan ala monarki dan dinasti menjadi mainstream di banyak wilayah di dunia. Termasuk di wilayah yang dikuasai Islam.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa menisbatkan istilah khilafah sebagai ajaran Islam ialah sebuah kekeliruan fatal. Tidak semua istilah kearab-araban pasti ada di Alquran apalagi pasti berasal dari Islam. Termasuk istilah khilafah.

Ini artinya, penolakan terhadap ideologi atau gerakan khilafah tidak lantas bisa diartikan sebagai menolak apalagi anti pada ajaran Islam. Menolak khilafah justru merupakan bagian dari ikhtiyar menyelamatkan Islam dan umatnya agar tidak menjadi alat politik untuk meraih kekuasaan pragmatis.

Arkian, rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban 1 yang mendeklarasikan penolakan terhadap khilafah patut diapresiasi dan didukung. Sejarah mencatat, era kejayaan masa kekhaifahan pada dasarnya tidak bersih dari tragedy kemanusiaan; kekerasan, konflik, dan perang antar-sesama muslim.

Terlebih di era modern ini, agenda penegakan khilafah yang disponsori oleh kelompok-kelompok ekstrem seperti Jamaah Islamiyyah apalagi ISIS hanya menorehkan luka dan trauma bagi umat Islam itu sendiri. Tragedi kekerasan, pembunuhan massal, hingga perbudakan seksual yang dipertontonkan secara vulgar oleh ISIS ialah bukti bahwa khilafah bukan bagian dari ajaran Islam.

Facebook Comments