Berindonesia Secara Kaffah

Berindonesia Secara Kaffah

- in Narasi
978
0

Apa yang ditegaskan oleh ulama sekaligus tokoh bangsa di atas adalah bahwa ciri dan karakter manusia Indonesia adalah berjiwa damai, titik! Namun, belakangan ini ada sekelompok kecil yang hendak mengusik perdamaian di bumi pertiwi. Entah dengan motif apa, yang jelas mereka sering menebar permusuhan, menganggap kelompok selain dirinya adalah sesat dan tidak pernah ada benarnya.

Maka, dalam momentum yang pas seperti saat sekarang ini, yakni Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-72 tahun 2017 ini, harus dijadikan sebagai kesadaran kolektif untuk menjaga perdamaian; selalu menebarkan perdamaian, menghormati dan menghargai kelompok lain, mempererat tali persaudaraan.

Namun dalam praktiknya, sekali lagi, masih ada kelompok-kelompok yang mencerminkan betapa dirinya tidak kaffah dalam berindonesia. Kelompok ini biasanya melakukan beberapa hal, yang kesemuanya bertentangan dengan kesepakatan, karakter dan cita-cita seluruh bangsa Indonesia.

Pertama, menyalahkan Pancasila. 72 tahun bukanlah usia yang muda. Seharusnya usia yang cukup matang itu menjadikan masyarakat Indonesia matang dan dewasa dalam memahami keindonesiaan. Salah satunya adalah kesepakatan antara tokoh bangsa bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah final, tidak perlu diperdebatkan, apalagi dipertentangkan atau dibenturkan dengan ideologi lain.

Jadi, kelompok macam ini menuduh bahwa biang persoalan yang terjadi belakangan ini adalah sebagai akibat kegagalan Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia. Korupsi, kemiskinan, kesenjangan dan masih banyak masalah lainnya, menurut kelompok ini, adalah ketidakmampuan Pancasila dalam konteks sebagai ideologi bangsa.

Kedua, tidak menghargai perbedaan. Sejarah Indonesia menyebutkan, kemerdekaan yang diraih pada tanggal 17 Agustus 1945 kala itu adalah, salah satu faktornya, karena keragaman yang menjadi satu kesatuan dalam mengusir penjajah. Gerakan Boedi Oetomo dampai sumpah pemuda adalah bukti konkret dan paling mudah untuk dicerna bahwa watak manusia Indonesia adalah menghargai perpedaan. Perbedaan adalah kekayaan yang melahirkan kekuatan besar.

Namun, lagi-lagi, belakangan ini ada kelompok tertentu yang tidak paham akan sejarah Indonesia ini berdiri. Sehingga, ia dengan mudah menuduh saudaranya sendiri sebagai kelompok yang tidak ini-itu. Pidato yang rasis sebagaimana viral dalam beberapa waktu lalu adalah contoh yang tidak perlu ditiru dan harus ditindak sebelum terjadi yang tidak-tidak.

Ketiga, individualis. Pancasila tidak lahir begitu saja, juga bukan kumpulan kata-kata yang tiada artinya. Pancasila digodok dan dirumuskan oleh pendiri bangsa kala itu disesuaikan dengan kebutuhan, watak, dan cita-cita bersama masyarakat Indonesia. Nilai-nilai atau butir-butir Pancasila, salah satunya, adalah persatuan Indonesia dan gotong royong.

Jadi, sebenarnya jika masyarakat Indonesia individualis, patut dipertanyakan akan keindonesiaannya. Bisa dipastikan, ia tidak sedang berindonesia secara kaffah. Sebab, bangsa Indonesia adalah bangsa yang guyup, gotong-royong dan peduli terhadap sesama.

Mari Tebarkan Perdamaian, Tinggalkan Permusuhan

Perdamaian itu lebih baik, begitulah kata agama (QS. An-Nisa, 128). Maka, marilah kita maksimalkan untuk mengabdi kepada Tuhan, juga pada Indonesia tercinta. Caranya mudah tapi sulit untuk diimplementasikan, yaitu menebarkan perdamaian, meninggalkan permusuhan.

Oleh sebab itu, stop: pertama, menyalahkan Pancasila. Pancasila bukanlah ideologi yang sesat (thogut). Ia adalah galian-galian spiritual yang senafas dengan kebangsaan dan kenegaraan. Maka, berpancasila sejatinya ibarat menyelam sambil minum air. Artinya, mengamalkan nilai-nilai agama (meskipun Pancasila bukan agama) juga sekaligus menjadi warga masyarakat Indonesia sejatinya. Sekali lagi, berhentilah menyalahkan dan membenturkan Pancasila dengan lainnya. Tentu agar kehidupan kita damai dan dipenuhi keberkahan. Semoga!

Kedua, menghargai perbedaan. Perbedaan adalah satu hal yang tidak bisa dihindari. Untuk itu harus kita rawat agar menjadi rahmat. Menghargai perbedaan adalah salah satu upaya lain untuk bersama menciptakan Indonesia damai.

Ketiga, perkuat persaudaraan dan gotong royong. Budaya gotong-royong dan semangat persaudaraan adalah nilai dan budaya yang dikenal oleh dunia dan juga sebagai warisan nenek moyang serta ajaran agama. Persaudaraan dan gotong royong selalu memiliki medan yang berkembang.

Dalam konteks Indonesia saat ini dimana ada sebagian kelompok yang menebarkan api permusuhan dengan memproduksi berita bohong, kebencian, fitnah dan lain sebagainya, maka gotong-royong saat ini lebih pada mengcounter dan mengedukasi masyarakat Indonesia akan menjunjung tinggi perdamaian dan meninggalkan permusuhan.

Demikian itulah potret masyarakat Indonesia yang banggsa dan berindonesia secara kaffah. Jangan sampai ada satu yang hilang dari negeri dan bangsa kita, yakni persatuan dan perdamaian. DSalam bahasa musisi Indonesia, ”percuma ada rindu, jika tidak saling bersatu. Percuma ada cinta kalau untuk bertengkar terus.”

Facebook Comments