Bisa Apa Digital Native dalam Atmosfer Kontestasi Politik?

Bisa Apa Digital Native dalam Atmosfer Kontestasi Politik?

- in Narasi
130
0

Rabu 14 Februari, Hari Kasih Sayang, Hari Kasih Suara.

Adalah bacaan salah satu poster mini di Universitas Surabaya untuk mengingatkan sivitas akademika agar memberikan hak pilih dalam pemungutan suara Pemilu 2024. Mengutip Kompas.id, poster tersebut adalah rangkaian kampanye anti-golput yang diinisiasi oleh Michelle Angelina dan Kiera Ashley, dua mahasiswi di Universitas Surabaya, Senin (12/2/2024).

Data Komisi Pemilihan Umum menunjukkan jumlah generasi Z (kelahiran 1997-2012) yang berhak memilih mencapai 46,8 juta atau 22,85 persen dari total pemilih 204,8 juta orang. Artinya, generasi ini amat menentukan perjalanan bangsa dan negara melalui pemilu.

Berangkat dari angka itu, keduanya berinisiatif untuk ”berkampanye” positif kepada teman-teman di kampus dan harapannya menyasar publik melalui media massa dan media sosial dengan menyusun rubik-rubik “Gen Z Anti Golput”. Kebetulan, waktu pemungutan suara berbarengan dengan peringatan Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang. Michelle dan Kiera berharap teman-teman sebaya mereka mengedepankan perayaan pemilu sebagai wujud sayang bagi jalannya demokrasi bangsa dan negara.

Kampanye ini sebetulnya tidak hanya sekedar untuk “menyenggol” kaum swing voters namun yang lebih fundamental yaitu membangkitkan kesadaran bahwa Gen Z adalah motor demokrasi dan penggerak bangsa yang akan menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Namun tampaknya, upaya ini dihadapkan pada beberapa tantangan.

Mari kita bandingkan dengan Millenial. Gen Z merupakan mereka yang lahir pada rentang tahun 1995-2010. Sementara itu, generasi Y atau sering disebut Millenial ialah mereka yang lahir pada rentang waktu sebelumnya, yakni antara tahun 1980-1995. Tumbuh dalam generasi yang berbeda, secara otomatis membuat mereka memiliki latar belakang yang berbeda pula. Perbedaan latar belakang ini juga menjadi dasar yang kemudian membedakan perilaku dan cara hidup Gen Z dengan milenial.

Mengutip Tempo, Millenial yang tumbuh disaat Indonesia sedang mengalami perubahan politik besar-besaran dalam masa orba, tentu membuat mereka memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai politik. Milenial cenderung lebih terbuka dalam memandang politik maupun ekonomi, serta reaktif terhadap segala perubahan yang terjadi di sekeliling mereka.

Sementara itu, Gen Z merupakan generasi yang tumbuh di masa internet berkembang dengan pesat. Kondisi ini membawa kecenderungan bahwa Gen Z bisa lebih multitasking dan bersahabat dengan ketidakpastian teknologi yang terjadi. Pertumbuhan Gen Z juga turut dibentuk oleh isu-isu kontemporer seperti gender equality, ekologi, dan krisis energi yang membuat mereka lebih peduli pada program-program sosial dan keberlanjutan pembangunan lingkungan. Tentu saja latar belakang ini juga akan mempengaruhi mereka dalam berpandangan terkait politik maupun ekonomi.

Dalam term modern, Gen Z kerap disebut digital native. Paradigital nativediasumsikan lebih merasa nyaman berinteraksi melaluiplatformonline. Mereka menggunakan media sosial untuk berkomunikasi, berbagi informasi, dan membangun jejaring sosial. Kuantitas interaksi langsung berkurang, karena jejaring mereka adalah dunia digital. Sebagai generasi yang “hiper-aktif” di dalamnya, digital nativediasumsikan memiliki pemahaman optimal baik terhadap risiko dan peluang di dunia digital, termasuk ancaman keamanan siber, privasionline, dan literasi media.

Pemerintah, pengembang teknologi informasi, dan kreator konten Gen Z memiliki peran penting untuk memastikan bahwa pesan-pesan toleransi, keragaman, dan perdamaian lebih banyak tersebar di ruang digital. Sebaliknya, kontenhate speechdanhate spindapat disterilkan. Kembali ke konteks pemilu, masa-masa “genting” pemilu biasanya dimulai sejak deklarasi calon hingga setelah KPU mengumumkan suara. Indikasinya adalah semakin menajamnya perbedaan-perbedaan politik yang rentan melahirkan gesekan-gesekan kecil di tengah masyarakat.

Dalam situasi ini, Gen Z bisa melakukan peran lain yang lebih strategis setelah urusan keterlibatan, yaitu proliferasi narasi perdamaian dan persatuan di era kontestasi politik yang panas. Artinya, kesadaran berdemokrasi akan dibarengi dengan rasa toleran dan keinginan untuk hidup damai. Agenda ini bertahap. Kesadaran Gen Z untuk terlibat dalam praktik-praktik demokrasi tak lantas diabaikan.

Tak jarang, rapuhnya bangsa bukan semata karena masifnya propaganda paham radikal radikalisme yang muncul, namun justru karena kesadaran berdemokrasi kita yang kurang. Seperti yang telah disinggung, Gen Z menjadi semacam sistem imun baru yang harus menjadi perhatian bersama. Jangan sampai digital native menjadi apatis dan apolitis sehingga diambilalih oleh kelompok radikal lalu digunakan untuk realisasi obsesi ekstrem mereka.

Dalam konteks pemilu damai, digital native seperti Michelle dan Kiera menjadi instrumen penting penguatan kesadaran Generasi Z tentang keterlibatan dalam proses-proses demokrasi. Isu-isu modern seperti yang telah dibahas dibalut dengan bahasa khas anak muda yang informal dapat menjadi pemantik para Gen Z bahwa keterlibatan mereka dalam proses politik juga akan menentukan kesuksesan visi ekologis mereka, misalnya. Keterlibatan mereka dalam sistem demokrasi dalam memberikan suara dapat membantu merealisasikan kebijakan yang ramah gender, misalnya.

Akhirnya, kesadaran ini akan semakin memperkokoh fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengoptimalkan generasi bangsa, dan membangun imunitas ekstra dari propapaganda paham-paham trans-nasional yang rentan merongrong falsafah Bangsa Indonesia.

Facebook Comments