Merayakan Keberagaman dalam Siklus Lima Tahunan

Merayakan Keberagaman dalam Siklus Lima Tahunan

- in Narasi
133
0

“Apa yang terjadi jika tetangga, teman-teman, dan orang-orang terdekat yang kita kenal di suatu waktu tiba-tiba berkonflik, saling membenci, dan bahkan saling membunuh satu sama lain?”

Kita barangkali menganggap situasi ini terlalu absurd untuk benar-benar terjadi karena mana mungkin seorang teman bisa berubah menjadi sosok yang sangat bengis. Tetapi faktanya, transformasi radikal sikap seseorang ini pernah terjadi. Amartya Sen, seorang peraih nobel memorial dalam ilmu ekonomi menceritakan situasi ini dalam bukunya “Identity and Violence: The Illusion of Destiny” (2006). Sen menceritakan pengalaman masa kecilnya ketika terjadi kerusuhan antara kelompok Hindu-Muslim di India di tahun 1947.

Sen kecil menyaksikan bagaimana orang-orang di sekitarnya tiba-tiba saling membunuh akibat konstelasi politik yang saat itu sama sekali tidak ia pahami. Kata Sen, “di bulan Januari, kami adalah warga India yang hidup rukun, tetapi di bulan Juli, kami tiba-tiba dilihat sebagai seorang Muslim-Hindu yang saling membenci satu sama lain”.

Apa yang disaksikan Sen kecil ini rupanya dialami juga oleh anak-anak lain di Rwanda dalam konflik sipil antara suku Hutu-dan Tutsi yang menyebabkan terbantainya 800 ribu orang suku Tutsi di bulan April 1994.

Relasi antar masyarakat yang awalnya sebagai sesama warga negara Rwanda dalam 100 hari tiba-tiba berubah menjadi relasi antar etnis yang melahirkan tensi berdarah antara Hutu yang merupakan etnis mayoritas dan Tutsi sebagai kaum minoritas.

Tanpa harus berkaca jauh ke India dan Rwanda, Indonesia merekam sejarah panjang konflik kekerasan akibat identitas yang berbeda. Jika kita ingat, Indonesia pernah punya sejarah berdarah yang sangat brutal seperti kerusuhan 1998 yang melibatkan penjarahan, perkosaan, dan pembunuhan terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia oleh kelompok yang mengatasnamakan pribumi.

Kabar buruknya, utamanya setelah memasuki era media baru, Indonesia seperti punya siklus lima tahunan “pembentukan” konflik sosial. Fase itu bernama pemilu. Praktis sejak 2014, dan puncaknya pada 2019, pemilu tampak menjadi panggung kontestasi ego identitas, alih-alih kontestasi ide kebangsaan.

Dalam hal ini, konflik paling dekat adalah polarisasi identitas berbasis politik pada Pemilu 2019. Tahun yang disebut terakhir ini merekam catatan kelam perpecahan bangsa Indonesia di akar rumput akibat dualisme pilihan Capres-Cawapres. Meski tidak sampai menimbulkan tragedi berdarah seperti di India dan Rwanda, media sosial menjadi saksi “kejamnya” narasi kebencian, adu domba, dan perpecahan atas nama pilihan politik.

Tetapi, Indonesia bukanlah India dengan ultra-nasionalismenya, bukan pula Rwanda dengan jurang konflik antar sukunya, Indonesia diikat dengan semangat nasionalisme dan religiositas. Keduanya saling berdialektika menjaga stabilitas dan harmoni di tengah konteks masyarakat Indonesia yang mejemuk.

Kondisi ini yang membuat Jeremy Menchik, Associate Professor di Boston University menyebut Indonesia sebagai negara yang “unik”. Ia pernah menulis mengenai Indonesia dalam sebuah makalah akademik berjudul “Productive Intolerance: Godly Nationalism in Indonesia” (2014), yang isinya menganggap NKRI sebagai negara sekuler yang tidak mengeksklusi agama dari ruang publik seperti yang dilakukan oleh negara-negara Barat.

Di Indonesia, agama diletakkan sebagai sumber moral yang baik bahkan diakui sebagai bagian integral dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi, meskipun agama penting di negeri ini, agama tidak serta merta ditetapkan sebagai pedoman utama dalam kehidupan seperti yang diterapkan oleh negara-negara yang menganut teokrasi seperti Iran dan Arab Saudi.

Di sisi lain, para founding fathers juga menegaskan pentingnya nasionalisme untuk menjaga keutuhan bangsa dari dalam. Jika Menchik menganggap Indonesia sebagai living contradiction karena sekulerisme yang tetap merangkul agama, para proklamator tetap meneguhkan posisi nasionalisme dan religiositas sebagai identitas “sakral” bagi warga negara. Identitas agama juga menjadi tampak setara dengan identitas kebangsaan, misalnya, dengan menarasikan Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Menchik menyebut model konsep ini sebagai “nasionalisme berketuhanan”.

Menyusul Pemilu 2024 yang sarat dengan kontestasi identitas, dialektika harmonis antara nasionalisme dan religiositas bukan hanya menjadi simbol, namun harus terpatri dalam diri masing-masing individu. Proses ini menguatkan kesadaran bahwa multi-identitas adalah bagian integral dari masyarakat Indonesia dan ajaran-ajaran keagamaan yang moderat adalah instrumen untuk menjaga ko-eksistensi identitas-identitas itu.

Akhirnya, masyarakat Indonesia akan membangun semangat kebangsaannya melalui ajaran agamanya masing-masing. Ujung dari semangat kebangsaan ini mestinya adalah kehidupan yang damai di tengah konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. Imbasnya, pemilu bukan jadi ajang untuk meruncingkan perbedaan, namun merayakan keberagaman. Tinta dijempol pemilih bukan hanya sebagai perlengkapan pemungutan suara, tapi tanda komitmen untuk tetap toleran meski berbeda pilihan.

Facebook Comments