Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merayakan hari ulang tahunnya yang ke-7 pada tanggal 19 Juli 2017 ini. Embrio BNPT adalah Desk Koordinasi Penanggulangan Terorisme (DKPT) yang berada di bawah Kementerian Pertahanan yang lahir pascabom Bali.
BNPT dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010. Terakhir BNPT menjadi setingkat kementerian melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Badan Penanggulangan Terorisme.
Tiga tugas utama diemban oleh jajaran BNPT. Pertama, menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme. Kedua, mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme. Ketiga, melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan membentuk satuan-satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Adapun bidang penanggulangan terorisme meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional (www.wikipedia.org, 2017).
Radikalisme dan terorisme menjadi salah satu tantangan kontemporer nasional hingga global. Terorisme tidak mengenal agama, suku, ras, dan golongan. Pelaku dan jaringannya pun bervariasi. Jaringan ini sudah terkoneksi mulai tingkal lokal, regional, hingga internasional.
Indonesia menjadi sasaran penyebaran sekaligus tindakan radikalisme dan terorisme karena kondisi dan dinamikanya yang strategis. Indonesia memiliki khasanah kebhinekaan yang beraneka ragam. Mulai dari agama, suku, ras, dan golongan. Kebebasan juga terbuka lebar di negeri ini. Hubungan warga dengan pihak luar negeri semakin mudah dan cepat dilakukan.
Realita kebhinnekaan di Indonesia menjadi tantangan sekaligus potensi besar bagi pemberantasan terorisme. Pendekatan kebhinnekaan yang dipersatu oleh bingkai NKRI penting dioptimalkan BNPT dan pemangku kepentingan lainnya.
BNPT penting bersinergi dengan semua pemangku kepentingan, seperti BIN, Densus 88, Polri, Ormas, komunitas, dan lainnya. Pendekatan pencegahan penting diprioritaskan dalam jalan pemberantasan terorisme. Banyak aspek dapat dioptimalkan, antara lain aplikasi teologis, pendekatan sosial ekonomi, budaya, hingga penegakan hukum. Prinsipnya adalah proporsionalitas dan profesionalisme.
Terorisme merupakan kejahatan transnasional atau internasional yang terorganisir(transnasional organized crime) sertahostes humanis generis. Dunia internasional telah banyak bergerak dan melakukan aksi dengan menyelenggarakan berbagai konferensi dengan hasil berbagai konvensi. Konvensi-konvensi tersebut antara lain :States of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) Regional Convention on Suppression of Terrorism, The Arab Convention on the Suppression of Terrorism (1998),Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of independent States in Combating Terorism(1999),Convention of the Organization of Islamic Conference on Combating International Terrorism(1999), dan lainnya.
BNPT mesti bergandengan tangan dengan dunia internasional yang menangani pemberantasan terorisme. Namun demikian prinsip politik luar negeri dan independensi mesti tetap dijaga. Indonesia penting tampil di garga depan pemberantasan terorisme yang proporsional dan profesional.
Konstitusi telah mengamatkan perwujudan perdamaian dunia. Misi ini juga penting dijalankan BNPT ke depannya. Pemberantasan tidak semata-mata menargetkan penumpasan secara fisik. Pemutusan penyebaran ideogis justru lebih penting. Asas keadilan dan prinsip praduga tidak bersalah tetap diutamakan. Panganut paham radikal mestinya ditargetkan untuk sadar dan taubat tidak langsung ditumpas melalui pertumpahan darah.
Tindak radikalisme dan terorisme juga semakin berkembang. Kini pelaku mulai mengarah ke perempuan. Tindakannya tidak sekadar dengan bom, namun mulai dari senjata tajam. BIN mestinya sejak awal dapat mendeteksi gerak-gerik pelaku ini sehingga dapat dilakukan pencegahan tindakan secara lebih dini.
Kini, UU Anti terorisme dalam proses revisi dan masih berbentuk RUU. Banyak aspek yang masih menjadi perdebatan dan diskusi. Salah satu isu krusial adalah pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme yang menjadi polemik. Selain itu prinsip penegakan hukum berkeadilan berbasis HAM juga mesti ditegakkan sama seperti tindak pidana lainnya. Misalnya adanya masa penangkapan 14 hari dengan maksimal masa perpanjangan 7 hari serta dimasukan 2 bukti permulaan.
Selanjutnya RUU menambahkan selama proses penangkapan hingga terpidana teroris dijebloskan ke lapas, harus terpenuhi hak-haknya. Termasuk bebas dari penyiksaan. Selain itu dalam norma harus ada jaminan terpenuhinya hak-hak terduga, sesuai pasal 50 sampai 68 KUHAP ditambah jaminan bebas dari penyiksaan, perlakuan keji, merendahkan harkat dan martabat.
Apapun hasil proses politik pembahasan RUU menjadi UU nantinya, BNPT mesti siap dan sigap menjalankan tugasnya. Tantangan kebhinnekaan mesti dijawab melalui pembuktian berjalannya kehidupan bernegara nirkekerasan. Selain itu misi perdamaian global mesti menjadi pijakan utama dalam pergaulan internasional dengan menempatkan peran terdepan bangsa ini.