Bom Medan, Remaja, dan Radikalisme

Bom Medan, Remaja, dan Radikalisme

- in Narasi
1984
0

Masa depan sebuah bangsa berada di tangan pemuda saat ini. Kuat lemahnya sebuah bangsa di masa depan bergantung keadaan pemudanya saat ini. Begitu juga kerukunan dan kuatnya masyarakat di masa depan bergantung sejauh mana pemahaman nilai-nilai toleransi dan perdamaian disemai sejak dini oleh generasi muda. Mendengar kabar percobaan bom di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan (28/8) tentu membuat kita semua prihatin.

Terlebih, dikabarkan pelakunya adalah seorang remaja yang belum genap berusia 18 tahun. Remaja berinisial IAH yang kini tercatat sebagai mahasiswa di sebuah perguruan tinggi tersebut dikabarkan lahir pada 22 Oktober 1998 (tempo.co 29/8). Kejadian tersebut tentu menjadi catatan serius dan pembelajaran bersama bagi kita. Kita berharap, ke depan remaja kita tak mudah terjerumus dalam paham radikalisme yang sudah jelas tak cocok dan berbahaya bagi bangsa ini.

Secara psikologis, kita semua tahu, masa remaja merupakan masa mencari jati diri. Di masa tersebut, seseorang mudah menerima pemahaman atau pemikiran apa pun yang datang dan memantik adrenalinnya yang menggebu. Seorang remaja tak mau disebut anak-anak, namun secara mental belum bisa dianggap dewasa. Hal tersebut membuat mereka aktif mencari dan melakukan hal-hal yang bisa membuat mereka “terlihat” dan diakui secara sosial, tanpa benar-benar tahu dan memahami dampaknya secara luas.

Dari sana, remaja kemudian menjadi sasaran empuk kelompok gerakan radikalisme. Mereka melihat peluang untuk bisa merekrut anggota dengan mudah. Adrenalin yang tinggi, dorongan menunjukkan jati diri, dan pemahaman agama yang masih minim, menjadi aspek yang dimanfaatkan kelompok radikal untuk menyusupkan dokrin dan mengembangkan gerakannya.

Membentengi

Kita perlu melakukan langkah-langkah sejak dini guna melindungi remaja kita agar tak mudah terjerumus dalam gerakan radikalisme tersebut. Tentu, langkah tersebut perlu kerjasama yang solid dari banyak pihak, baik orang tua, sekolah, maupun masyarakat umum. Hal paling mendasar adalah tentang membangun benteng di dalam diri remaja itu sendiri. Jika seorang remaja sudah memiliki benteng dalam dirinya, ia tak akan mudah terjerumus dan dipengaruhi pemikiran-pemikiran dari orang atau kelompok radikal mana pun. Benteng, dalam hal ini adalah pemahaman agama dan keberagamaan yang dewasa, yang tak mudah mengklaim kafir dan sesat kelompok yang berbeda dengannya.

Hal tersebut bergantung pada poros-poros yang menjadi sumber pemahaman agama remaja kita. Mulai dari keluarga (orang tua), tokoh agama (guru ngaji) di lingkungan sekitar, pelajaran agama di sekolah (guru), dan sumber-sumber lainnya. Kita mesti memperhatikan dan melakukan pengawasan terkait hal tersebut. Misalnya, dengan lebih berhati-hati dalam memberikan guru agama atau guru ngaji untuk anak remaja kita.

Kemudian dalam konteks keluarga, penting bagi orang tua membangun budaya dialog. Kita tahu, keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dan utama tempat anak pertama kali mengenal adab, sopan santun, dan berbagai nilai-nilai moral kehidupan. Apa-apa yang dibiasakan orang tua dalam keluarga akan menjadi karakter dan mental anak. Di sinilah terlihat pentingnya orang tua membudayakan dialog untuk membentuk karakter toleran dalam diri anak.

Setiap ada persoalan atau perbedaan pendapat antar anggota keluarga, orang tua mesti bisa membuat anak nyaman mengungkapkan kegelisahannya dan mengajari bagaimana menyelesaikannya bersama-sama lewat dialog. Dari sana, anak akan belajar bijak menyikapi perbedaan dan pemikiran yang tak sepaham dengannya. Pikiran anak kemudian menjadi lebih ramah dalam memandang perbedaan.

Berkaitan dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, menjadi penting juga mengawasi konten-konten yang diakses anak remaja kita dari perangkat mereka. Saat ini nyaris setiap remaja memiliki gadget atau perangkat digital lain yang selalu ia bawa ke mana mana. Berbagai konten dan informasi beterbaran di internet dan bisa diakses dengan mudah hanya dengan menggerakkan telunjuk jari. Padahal, banyak informasi tak jelas sumbernya dan bahkan lebih bersifat menghasut ketimbang mendidik pembacanya.

Di samping itu, berbagai konten digital (game, musik, video, dll.) yang akrab dengan remaja kita juga cenderung menggambarkan hal negatif seperti kekerasan, peperangan, percintaan atau hubungan bebas, dan sebagainya. Dalam konteks membentengi anak dari paham radikalisme, orang tua, di samping memberi pemahaman langsung pada anak, penting juga memberi pengawasan terkait konten-konten yang biasa diakses untuk memastikan keamanannya dari berbagai konten negatif.

Remaja adalah wajah masa depan bangsa. Kita memiliki kewajiban bersama untuk mendidik dan memandu mereka agar menjadi investasi bangsa ini menuju kemajuan dan kemakmuran di masa depan. Artinya, kita juga wajib membentengi remaja dari berbagai bentuk aliran radikal yang bisa membuat mereka anti terhadap perbedaan dan toleransi—yang menjadi karakter dan kekuatan bangsa ini. Wallahu a’lam.

Facebook Comments