Rumah Do’a Bukit Rhema. Tempat ini berlokasi di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Tak hanya tempat rekreasi biasa, di Rumah Do’a Bukit Rhema pengunjung juga bisa belajar tentang toleransi agama.
Di lantai bawah bangunan berbentuk Merpati itu kita bisa menjumpai tempat yang berisi penghormatan kepada Yesus dan Bunda Maria. Dengan lukisan-lukisan khas Kaum Kristiani dan beberapa cuplikan Al Kitab. Disebelahnya ada penanda arah wudhu lengkap dengan fasilitas ruang do’a pribadi (private room) yang diberi alas karpet berwarna hijau. Ruang yang cukup untuk mendirikah shalat secara munfarid. Di ruang utama bangunan, akan dijumpai satu bingkai foto yang memuat animasi pemeluk-pemeluk agama di Indonesia dengan pakaian ibadahnya masing-masing berdiri bersama dengan posisi sejajar. Berpindah ke bagian atas bangunan yang berbentuk mahkota. Tempat ini tidak hanya menjadi lokasi foto yang penuh romantisme ala Rangga dan Cinta di film AADC2. Namun juga bisa digunakan sebagai tempat melihat matahari terbit, yang menurut kepercayaan tertentu menjadi moment untuk memanjatkan do’a kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Rumah Do’a Bukit Rhema dengan konsep yang memfasilitasi beberapa agama untuk melakukan ibadah dalam satu tempat yang sama adalah saksi bisu betapa nilai toleransi menjadi pondasi penting untuk memahami. Bukan tentang pembuktian tempat ibadah mana yang paling hebat versi masing-masing agama. Namun tempat ibadah yang di dalamnya senantiasa memberikan kedamaian, mengajarkan cinta kasih, dan menjadikan pemeluknya rahmatan lil ‘alamin. Bukan juga tentang pembuktian umat mana yang paling banyak, kuat dan fanatik. Tapi tentang seluruh umat yang mau saling berbagi, memahami dan berkolaborasi.
Jemy Patriya, seorang mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang memberikan komentar cukup menarik terkait Rumah do’a Bukit Rhema ini. “Kalau saja tempat ibadah seluruh agama dijadikan satu seperti di Bukit Rhema ini. Mungkin manusia akan tahu bahwa pemakluman adalah pemahaman paling tinggi dari kehidupan bertoleransi.”
Ya, pemakluman sebagai kata kunci dari kehidupan bertoleransi. Pemakluman dalam hal ini menunjukkan sikap keterbukaan untuk menerima perbedaan sebagai suatu keniscayaan. Dibanding menolak dan mempertajam konflik karena berbeda pandangan atau keyakinan, akan lebih baik jika menerima dan memaklumi perbedaan yang ada dengan tangan terbuka. Keanekaragaman yang ada baik dalam hal agama, ras, etnik, suku bangsa maupun bahasa tidak lagi dianggap sebagai sekat yang menciptakan jurang pemisah atau pandangan eksklusifisme tertentu. Namun dianggap sebagai modal dasar untuk dimanfaatkan dalam bentuk kolaborasi. Dengan adanya pemakluman dan semangat kolaborasi ini, paradigma berfikir masing-masing pemeluk agama tidak hanya berfokus pada scope aku atau “kami” yang berpandangan sama. Namun terbuka dengan cakrawala berfikir yang lebih luas sebagai “kita”, bangsa Indonesia dengan segala keanekaragaman yang ada. Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu juga.