Bung Karno-KH Hasyim Asy’ari: Umara’ dan Ulama Membangun Indonesia Damai

Bung Karno-KH Hasyim Asy’ari: Umara’ dan Ulama Membangun Indonesia Damai

- in Tokoh
5145
0

Bung Karno-KH Hasyim Asy’ari: Umara’ dan Ulama Membangun Bung Karno dan KH Hasyim Asy’ari adalah dua tokoh yang berjasa besar bagi Indonesia damai. Bung Karno adalah umaro (pemerintah/negara), sedangkan KH Hasyim Asy’ari adalah ulama’. Keduanya tumbuh di tengah situasi yang sama: Indonesia sedang terjajah. Walaupun berada di tengah kesulitan, tetapi keduanya mempunyai semangat dan tekad yang sama: Indonesia damai, Indonesia merdeka, Indonesia yang berdaulat.

Dalam membangun Indonesia damai, keduanya bukan saja bergerak dengan penuh harmoni, tetapi membangun sinergi produktif yang menjadi referensi sangat baik bagi Indonesia kini dan ke depan. Apa harmoni dan sinergi keduanya? Bung Karno dan KH Hasyim Asy’ari sama-sama membangun Indonesia damai dari bawah. Indonesia yang mereka impikan dan mereka ciptakan bukanlah Indonesia dalam angan-angan saja, melainkan juga dengan gerakan dari bawah yang tiada henti.

Sebagai ulama’, Kiai Hasyim membangun Indonesia bersama rakyat dari bawah. Setiap hari ia bergerak membangun kedamaian rakyat, melalui mengaji, belajar, dan berjuang melawan penjajah. Santri yang tidak mampu, tidak dipungut biaya, tetapi diajak latihan bekerja untuk mandiri. Santri dibangun komitmen untuk setia dengan NKRI. Kiai Hasyim juga sangat perhatian menyikapi perbedaan. Ia sangat mengecam kekerasan, juga sangat toleran dengan perbedaan pandangan dan pendepat. Bahkan di lingkungan NU sendiri, Kiai Hasyim memberikan keleluasaan siapapun dalam perbedaan, asalkan mempunyai dasar yang jelas. Perbedaan Kiai Hasyim dengan Kiai Faqih Mamkumambang Gresik terkait bedug masjid menjadi inspirasi umat Islam untuk saling menghargai dan menjaga kedamaian.

Sehari-hari, Kiai Hasyim Asy’ari menemani masyarakat bawah dalam belajar. Makanya, ketika Indonesia merdeka, Kiai Hasyim memberikan restu Pancasila sebagai dasar negara. Kiai Hasyim tidak menginginkan Indonesia sebagai negara agama, sehingga Indonesia ia bela dengan sungguh-sungguh melalui resolusi jihad, 22 Oktober 19545.

Demikian juga dengan Bung Karno, ia terus bergerak dari bawah. Ia sadar betul bahwa orag bawah adalah penyangga utama NKRI. Ia sangat menghormati orang bawah, sehingga nama Marhaen dan Sarinah digaungkan sedemikian rupa. Marhaen adalah petani biasa yang cinta dengan Indonesia. Sarinah adalah perempuan yang setiap hari “momong” Bung Karno kecil dengan penuh kasih sayang. Mereka adalah orang bawah yang selalu dijadikan Bung Karno sebagai imajinasi membangun Indonesia damai. Berkali-kali Bung Karno berada di pengasingan. Tetapi ia tetap tidak sendirian, karena masyarakat bawah selalu menemani dan bersamanya. Bung Karno tidak pernah sendirian, karena ia sangat mencintai dan menghargai masyarakat bawah, sehingga masyarakat bawah terus menjadi kekuatan utama bagi Bung Karno dalam memperjuangkan Indonesia damai.

Dari jejak sejarah hidup keduanya, ada beberapa pelajaran penting dalam membangun harmoni ulama dan umaro. Pertama, harmoni ulama’ dan umaro adalah kesesuaian ucapan dan tindakan keduanya di tengah-tengah masyarakat. Tentu saja itu dilandasi dengan ketulusan dan kejujuran, karena itulah modal utama membangun Indonesia damai. Kesesuaian ucapan dan tindakan inilah yang dicontohkan Bung Karno dan KH Hasyim Asy’ari, sehingga rakyat mempunyai kepercayaan tinggi keduanya dalam menjaga Indonesia yang damai ini.

Kedua, membangun Indonesia damai harus dimulai dari bawah. Ini sangat penting ditegaskan, karena kalau masyarakat bawah sudah merasa harmoni antara ulama dan umaro’nya, maka gejolak apapun bisa dikondisikan. Karena gejolak mudah disulut dari bawah yang buta dengan situasi politik dan ekonomi. Harmoni ulama dan umaro di bawah menjadi pondasi sangat krusial lahirnya tatanan sosial yang saling menghargai dan toleran di tingkat lokal, nasional dan regional. Ini sangat nyata dilakukan Kiai Hasyim dan Bung Karno semasa hidupnya.

Ketiga, menerima kritik dan saran. Baik ulama’ dan umaro harus sama-sama “legowo” menerima kritik dari yang siapapun, sehingga terus terjalin semangat persatuan dan kesatuan. Lihatlah Kiai Hasyim yang selalu siap menerima saran dari santrinya, padahal ia dikenal guru besar yang melahirkan kiai-kiai Nusantara. Begitu juga Bung Karno yang dikelilingi anak muda yang ide-ide nakal dan kritis, sehingga Bung Karno selalu belajar dari etos pergulatan dinamis anak-anak muda di sekitarnya. Mereka legowo dengan kritik apapun.

Khittah Perjuangan

Dari semangat inilah, Bung Karno dan KH Hasyim Asy’ari menjalakan peran dan tugasnya dengan penuh dedikasi. Keduanya sepakat bahwa kekuasaan adalah amanat yang harus ditunaikan dengan jujur, adil dan ikhlas, bukan untuk dibangga-banggakan dan disalahgunakan.

Nabi Muhammad menegaskan: “Tidaklah seorang hamba dijadikan Allah sebagai pemimpin sebuah komunitas kemudian ia meninggal dunia dalam keadaan mendlalimi komunitas yang dipimpinnya kecuali Allah mengharamkannya masuk surga.” (HR Muslim)

“Sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah dan paling dekat dengan-Nya pada hari kiamat adalah pemimpin yang adil, dan orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh tempatnya dari- Nya adalah pemimpin yang dzalim.” (HR Tirmidzi).

Dalam Kitab al-Ahkam al-Sultaniyah, Imam Mawardi menjelaskan bahwa kewajiban pemimpin meliputi 10 poin: (1) menjaga penerapan agama yang benar; (2) menerapkan hukum dalam setiap permasalahan yang terjadi dengan cara yang adil; (3) melindungi keamanan negara sehingga rakyat dapat beraktivitas dengan bebas dan tidak dihantui ketakutan; (4) menegakkan hukum pidana sehingga hakhak warga terlindungi; (5) menjaga perbatasan negara dengan sistem keamanan yang baik sehingga dapat menangkal serangan musuh; (6) jihad untuk memerangi musuh; (7) mengambil pajak dan zakat dari warga sesuai dengan ketentuan syariat; (8) mendistribusikan dana baitul mal denganbaik dan tepat pada waktunya; (9) mempekerjakan orang-orang yang amanah dan kapabel dalam bidangnya; (10) memantau langsung perkembangan yang terjadi pada warganya dan tidak hanya memercayakannya kepada wakilnya agar dapat memiliki lebih banyak waktu untuk menikmati dunia atau untuk beribadah.

Bagi ulama sendiri, menurut Prof M. Chirzin (2015), harus memberikan peran strategisnya di tengah beragam krisis sosial yang terus datang. Yakni dengan menjalankan fungsi; (1) basyiran, memberi kabar gembira dengan memberikan harapan serta perspektif baru bagi upaya pembangunan; (2) nadziran, memberikan kesadaran kritis kepada masyarakatagar mereka mampu mengembangkan penalaran yang kritis terhadap determinisme ideologis maupun teknologis dengan menyadari permasalahan dan potensi yang mereka miliki untuk mampu mengubah nasibnya sendiri; (3) da’iyan ilal haqq, memanggil kepada kebenaran hakiki yang kadang-kadang telah dikaburkan oleh propaganda maupun pendapat umum; (4) sirajan muniran, memberikan terang iman dan pencerahan akal budi. Semua itu niscaya dilakukan ulama dengan menampilkan Islam yang hakiki sebagai rahmatan lil-‘alamin.

Teladan Bung Karno dan KH Hasyim Asy’ari dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk Indonesia damai harus dilanjutkan generasi hari ini. Indonesia damai adalah kenyataan, bukan mimpi. Semua generasi bangsa harus siap-siap melanjutkan estafet perjuangan keduanya, sehingga masa depan Indonesia bisa memberikan manfaat besar bagi seluruh tumpah darah bangsa.

Facebook Comments