Cerita Dhania : Belajar dari Gadis Korban Radikalisasi Online

Cerita Dhania : Belajar dari Gadis Korban Radikalisasi Online

- in Analisa
467
0
Cerita Dhania : Belajar dari Gadis Korban Radikalisasi Online

Pertengahan tahun 2014 hingga 2017, dunia secara global dikejutkan dengan hentakan gerakan Islamic State in Iraq and Suriah (ISIS). Tidak hanya aksi kekerasan yang diperagakan ISIS, tetapi propagandanya yang canggih menembus batas negara dan usia. Setiap hari, ISIS memposting propaganda melalui media sosial yang menyasar anak muda.

Berbondong-bondong anak muda yang haus keagamaan, tetapi dangkal dalam pemahaman, terpikat dengan narasi ISIS untuk tinggal di negeri yang dijanjikan. Pasukan dengan membawa panji hitam sebagaimana digambarkan dalam hadist dieskploitasi seolah ISIS sebenarnya khilafah yang dijanjikan. Era baru zaman khilafah telah dimulai.

Begitulah kira-kira narasi untuk bertebaran di dunia maya dan membius anak-anak muda dari berbagai negara. Tak terkecuali Indonesia.

Adalah Nurshadina Khaira Dania atau biasa dipanggil Dania, yang kala itu berusia 16 tahun, terpikat di media sosial. Dia membujuk keluarganya untuk pergi ke Suriah pada tahun 2015 untuk hidup di bawah naungan khilafah.

Dhania menyadari apa yang dialami adalah sebuah kesalahan besar dalam hidupnya. Tetapi ia harus belajar dari kesalahan dengan cara berbagi kesalahan ini agar anak-anak muda sebayanya tidak mengalami apa yang pernah ia alami.

Berawal dari Keinginan Berubah Menjadi Relijius

Dhania berkenalan ISIS murni di media sosial. Rasa penasaran dan gairahnya yang besar dalam memahami agama tak terpenuhi di dunia nyata. Ia berselancar di media sosial untuk mencari pengetahuan dan informasi keagamaan. Salah satunya tentang ISIS yang dikenalkan oleh pamannya.

Ia mendapati narasi yang indah dari gambaran hidup nyaman, islami dan terjamin di bawah naungan khilafah. Rasanya hidup seperti zaman Nabi dengan kesejahteraan, keadilan sangat indah. Hidup di bawah naungan sunnah dengan jaminan dunia dan akhirat.

Begitulah awal gadis ini terpesona dengan propaganda ISIS. dari Facebook, Tumblr, dan kanal diary tentang Diary of Muhajirah, ia ikuti. Semuanya berisi tentang pengalaman berhijrah yang sangat indah. Di forum itulah ia dapat berkomunikasi dengan sesama “muhajirin”.

Ia masih ingat saat itu duduk di kelas 2 SMA. Apa yang terbesit dalam dirinya bahwa ia harus berubah dan menjalankan hidup sesuai nilai-nilai islami. Kehidupan yang benar-benar Islami hanya bisa didapatkan dengan hijrah. Atau dalam narasi yang ia ingat: menjadi muslim yang sebenarnya harus hijrah ke Suriah.

Lama mengikuti semua postingan di media sosial dan social messanger, ia merasa seperti terhipnotis. Apa yang datang dan dishare dari yang lain dianggap sebagai kebenaran. Walaupun orang mengatakan ISIS salah dan kejam, baginya adalah sebuah fitnah.

Langkah mantap ia putuskan dan lakukan. Setelah mengalami indoktrinasi online dan proses radikalisasi yang tanpa ia sadari, ia memutuskan berangkat ke Suriah. Bergabung dengan negeri khilafah yang dijanjikan, menurutnya ketika itu.

Apa yang dilakukan Dhania ketika pertama menginjakkan kaki di Suriah. Ia bersyukur dan bersujud syukur di negeri khilafah. Mimpinya seolah tercapai untuk hidup di tanah yang diberkahi.

Perasaan mulai ragu dan resah mulai muncul. Saat ia dijemput oleh militant ISIS. Keluarga mereka dipisahkan. Laki-laki masuk ke sebuah kamp pelatihan militer. Sementara keluarga wanitanya dimasukkan dalam asrama penampungan.

Tidak seperti yang digambarkan. Bukan nuansa persaudaraan, yang disaksikan adalah perkelahian. Bukan tentang kesejahteraan, yang ada peperangan setiap hari. Umur 17 tahun saat itu, ia diajak menikah oleh petempur ISIS, namun ia menolaknya. Janji pekerjaan dan jaminan kesejahteraan punah, hanya ada dalam narasi media sosial.

Gambaran narasi di media sosial tidak seperti dalam kenyataan yang ditemui Dhania. Mereka (ISIS), menurut Dhania, telah membajak Islam. Kecintaannya terhadap Islam dieksploitasi ISIS. Negeri Khilafah yang dijanjikan hanya ilusi dan narasi busuk di media sosial.

Ia menyesal dan kecewa dan ingin kembali ke Indonesia. Jalan terjal berliku ia harus temui untuk kembali ke tanah air. Ia dan keluarga termasuk yang beruntung bisa kembali dan mengikuti program Deradikalisasi BNPT setelah pulang dari Suriah.

Apa yang Bisa Dipelajari?

Gairah keagamaan generasi muda dan kecintaan terhadap agama mudah dieksploitasi oleh kelompok radikal di media sosial. Janji tentang berdirinya negeri khilafah dan narasi keagamaan lain sangat memukau.

Keinginan berubah menjadi relijius menjadi awal dari segalanya. Rasa ini yang dieksploitasi oleh kelompok radikal. Pada tahapan selanjutnya, ia memandang yang terjadi di lingkungan sekitarnya tidak islami. Lingkungannya salah dan tidak nyaman dengan keyakinannya. Sesuatu harus berubah, dan perubahan itu dimulai dari dirinya dan keluarganya.

Proses itu dilalui hanya dari media sosial. Tahapannya dilalui melalui penasaran dan mencari informasi. Langkah selanjutnya, mengikuti website, akun media sosial dan kanal atau grup media sosial. Di situlah proses komunikasi, indoktrinasi terjadi. Ketika indoktrinasi sudah mantap, anak-anak muda akan tergerakkan untuk beraksi nyata.

Karena itulah, radikalisasi berjubah agama di media sosial harus dideteksi sejak dini oleh generasi kita. Tidak mudah memang membedakan mana yang benar islami dan mana yang hanya menjual kata islami.

Caranya, jangan mengandalkan seorang diri untuk menjelajah konten islami di media sosial. Perlu guru dan tempat konsultasi. Tidak semua yang didapatkan di media sosial adalah sebuah kebenaran. Jangan sampai seperti Dhania yang sudah yakin kebenarannya, walaupun orang luar mengatakan ISIS salah. Keyakinan ini sudah dogmatis dan itu murni dibentuk oleh media sosial.

Dhania kini telah aktif di berbagai aktifitas perdamaian. Pengalaman hidupnya ia berikan kepada yang lain, terutama generasi muda agar tidak terjebak seperti dirinya. Pengalaman pahit apapun menjadi bermanfaat ketika itu dimaknai sebagai pembelajaran bagi yang lain.

Facebook Comments