Dakwah pada hakikatnya adalah mengajak, bukan memaksakan kehendak untuk merusak. Menyampaikan ajaran agama yang penuh cinta, bukan cacian dan kebencian. Menyampaikan ajaran-Nya yang penuh dengan rahmat, bukan mudharat. Menghadirkan petunjuk jalan kebaikan dan kebijaksanaan bukan keburukan dan kebiadaban. Karena basis dari dakwah adalah sebagai perantara untuk mencapai kebenaran-Nya yang penuh cinta dan kasih sayang. Bukan kekejian dan kezhaliman.
Sehingga, dakwah yang bernuansa ajakan yang penuh santun tanpa paksaan justru lebih diterima dari pada mereka yang hanya memaksakan diri untuk mengubah orang lain. Bahkan, dakwah yang penuh cinta dan kasih sayang jauh lebih menembus kebebalan hati dari pada mengedepankan ego diri yang hanya menampilkan nafsu berahi beragama.
Karena tidak ada satu-pun agama yang menghalalkan kebiadaban, fitnah, kebencian dan kezhaliman. Kecuali mereka para “ustadz” yang tidak bertanggung jawab akan citra agama-Nya yang kadang-kala berani menghalalkan tindakan buruk. Karena agama pada hakikatnya mengajak orang lain berubah menjadi lebih baik, bukan justru merusak menjadi lebih buruk.
Sebagaimana Wali Songo yang mendakwahkan Islam yang egalitarian, terbuka, kreatif, konstruktif dan pendekatan multidiscipline di dalam mengajak tanpa harus ada darah yang mengalir. Beliau di dalam mengajarkan prinsip-prinsip keislaman di wilayah Nusantara sangat mengedepankan aspek rasional untuk mengajak bukan justru merusak. Sehingga, mereka tidak mudah seketika membuat fatwa halal-haram. Karena mereka mulai masuk ke dalam berbagai aspek kebudayaan, tradisi dan ritual-ritual yang telah membentang lebih dulu sebelum Islam masuk.
Sehingga, dari sinilah mulai ada semacam “klasifikasi”. Bahwa suatu kebudayaan, tradisi dan ritual yang dianggap melenceng dengan ajaran-ajaran-Nya itu mulai dibenahi. Karena sistem dakwah di Nusantara bukan berarti seketika langsung dihancurkan dan dimusnahkan. Tetapi persoalan semacam mulai diluruskan, dirangkul, dibimbing dan diajak untuk meniti ajaran-Nya yang harus mengedepankan kebijaksanaan dan ucapan yang baik. Di luar itu, mereka para (ulama) penyebar Islam di Nusantara membiarkan tradisi, aktivitas ritual dan kebudayaan yang tidak bertentangan dengan ajaran-Nya untuk tetap ada dan dipertahankan. Lalu dibungkus dengan ajaran-ajaran Islam.
Dakwah Nusantara bukan terfokus kepada pemaksaan kehendak yang kadang lebih besar mudharatnya dari pada kebaikannya. Tentu jelas sekali, sesuatu kebaikan yang tidak membawa kepada kebaikan itu sendiri apalah gunanya. Maka, untuk bisa berada dalam kebaikan itu sendiri adalah dengan membangun metode dakwah seefisien mungkin. Bahkan, jika dakwah egalitarian beragama justru lebih berpotensi tersampaikan-nya kebaikan tersebut, maka langkah baik untuk kita laksanakan. Dari pada memaksakan kehendak yang berakibat fatal terhadap citra agama itu sendiri. Karena yang bergerak bukan ruh agama, tetapi egoisme diri.
Karena agama pada hakikatnya adalah sumber pokok untuk memecahkan masalah, bukan justru dijadikan alat untuk menciptakan masalah. Maka, dakwah yang perlu dilakukan-pun haruslah bernuansa kepada ajakan, bukan paksaan yang kadang menimbulkan kepada keburukan. Dakwah pada hakikatnya adalah membentangkan nilai-nilai kebijaksanaan untuk kebaikan umat, bukan kebiadaban yang menghancurkan umat itu sendiri. Maka, saatnya untuk menggerakkan semangat dakwah Nusantara yang lebih egalitarian, cinta-kasih, mampu memecahkan masalah, memberikan solusi, merahmati, membawa kemaslahatan dan menghindari kemudharatan.