Dalil Larangan Mimbar Masjid sebagai Media Kampanye Politik

Dalil Larangan Mimbar Masjid sebagai Media Kampanye Politik

- in Keagamaan
572
0
Dalil Larangan Mimbar Masjid sebagai Media Kampanye Politik

Mutakhir, mimbar Jumat sering kali digunakan untuk kampanye politik praktis. Seorang khatib mengunggulkan satu pilihan politik praktis dengan meng-Ghibah sekaligus fitnah terhadap pilihan politik lainnya. Dari rangkaian khutbah, justru wasiat takwa dan kebaikan hanyalah pemenuhan rukun saja, selebihnya muatan politik praktis.

Terhadap permasalahan ini, banyak pendapat dari para tokoh agama. Pasalnya, dalam berbagai literatur kitab fikih dari mulai yang dasar seperti Safinat al-Najah dan Fath al-Qarib hingga kitab tingkat lanjut seperti Fath al-Mu’in, rukun melaksanakan khutbah Jumat antara lain membaca hamdalah, membaca salawat kepada Nabi SAW, wasiat takwa, membacakan salah satu ayat al-Quran, dan doa.

Ketika sang khatib sudah menyampaikan kelima rukun khutbah dan melanjutkan dengan ghibah dan fitnah terhadap lawan politik praktis, bagaimanakah hukumnya. Dalam beribadah, tentu fikih merupakan sandaran pokok yang mesti dipenuhi. Namun demikian, akhlak juga tidak kalah penting. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menerangkan bahwa adab ibadah Jumat antara lain an yaj’ala yaum al-jum’at lil akhirat (menjadikan sepenuhnya hari Jumat untuk akhirat).

Merujuk pada tuntunan Imam Al-Ghazali, menggunakan mimbar Jumat sebagai kampanye politik praktis adalah tidak bisa dibenarkan. Sebagaimana dimaklumi bersama, yang abadi dalam politik praktis adalah kepentingan dan perebutan kekuasaan. Jangankan dalam lingkup keluarga, satu orang saja bisa berubah pilihan politik praktis dalam waktu yang cukup singkat. Seseorang bisa memilih calon pimpinan atau partai A pada satu periode dan berpindah pilihan pada periode berikutnya. Ada yang lebih parah, jauh hari sebelum pesta demokrasi menentukan pilihan A namun menjelang pesta demokrasi berpindah pilihan.

Kenyataan seorang khatib menyampaikan materi politik zaman sekarang dengan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Jika Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menyampaikan pidato politik untuk menegakkan agama Islam, amar ma’ruf nahi munkar, maka khutbah politik praktis zaman sekarang hanya untuk pemenuhan syahwat politik kekuasaan.

Semua utusan dari Jazirah Arab menemui Nabi SAW di Masjid Nabawi. Di masjid pula Rasulullah SAW memberikan khutbah, pengarahan semua masalah kehidupan mulai dari agama, sosial, maupun politik. Sementara, Abu Bakar ash-Shidiq RA menyampaikan pidato pertamanya sebagai khalifah. Pidatonya adalah gambaran manhaj (jalan) politiknya atau strategi pemerintahannya. Begitu pula dengan Umar bin Khattab RA saat terpilih menggantikan Abu Bakar. “Wahai manusia, jika kalian melihat kebengkokan di diriku maka luruskanlah aku”. Kemudian ada seorang pemuda menjawab, “Demi Allah, jika kami melihat kebengkokan darimu maka kami luruskan dengan pedang”. Umar pun memuji Allah dengan jawaban pemuda tadi. (republika.co.id).

Membuka lembaran sejarah pidato politik Nabi Muhammad SAW dan dia sahabat terbaik dibanding dengan isi khutbah bernuansa politik praktis saat ini akan jauh berbeda maknanya. Jika Nabi Muhammad SAW dan para sahabat berpidato dalam rangka menegakkan panji-panji agama, namun ghibah dan fitnah merupakan larangan agama. Sehingga, perbedaan keduanya sangat jelas, bahkan bagaikan bumi dan langit.

Buya Syafii Maarif berpendapat bahwa masjid seharusnya tidak dicampuri oleh kampanye politik praktis. Menurut mantan ketua umum PP Muhammadiyah ini, jika khutbah Jumat diselipkan kampanye politik, maka masjid akan berhenti menjadi tempat yang nyaman. Jika ini yang terjadi, perpecahan akar rumput akan sulit dihindari. Masjid mesti menjadi tempat yang teduh bagi semua orang, tanpa memandang pilihan politik praktis.

Bagaimanapun, masjid merupakan tempat yang suci. Bahkan, masjid merupakan rumah Allah SWT. Tidak diperkenankan ‘tamu’ mengotori rumah Allah SWT dengan beragam najis dan kotoran. Untuk itu, masjid harus dibangun dan dipelihara dengan hati dan tindakan yang suci. Allah SWT mengingatkan kepada orang-orang munafik sebagaimana dalam firman-Nya:

“(Di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman), (menyebabkan) kekufuran, memecah belah di antara orang-orang mukmin, dan menunggu kedatangan orang-orang yang sebelumnya telah memerangi Allah dan Rasul-Nya. Mereka dengan pasti bersumpah, “Kami hanya menghendaki kebaikan.” Allah bersaksi bahwa sesungguhnya mereka itu benar-benar pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah engkau melaksanakan salat di dalamnya (masjid itu) selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama lebih berhak engkau melaksanakan salat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang gemar membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri.” (QS. At-Taubah [9]: 107-108).

Kementerian agama menerangkan bahwa yang dimaksud dengan orang yang sebelumnya telah memerangi Allah SWT dan Rasul-Nya adalah seorang pendeta Nasrani bernama Abu ‘Amir yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya dari Syam untuk melaksanakan salat di masjid yang mereka dirikan, serta membawa tentara Romawi yang akan memerangi kaum muslim. Akan tetapi, Abu ‘Amir ini tidak jadi datang karena ia mati di Syam. Masjid yang didirikan kaum munafik itu dirobohkan atas perintah Rasulullah SAW berdasarkan wahyu yang diterimanya setelah kembali dari Perang Tabuk.

Wallahu a’lam.

Facebook Comments