Dari Ideologi Khilafah ke Manusia Khalifah

Dari Ideologi Khilafah ke Manusia Khalifah

- in Narasi
829
2
Dari Ideologi Khilafah ke Manusia Khalifah

Mengupas tema khilâfah, bagi saya sangat menarik dan menjadi sebuah keharusan. Setidaknya karena beberapa sebab; pertama, merupakan isu yang sampai hari ini masih diperdebatkan oleh banyak kalangan, tak hanya di Indonesia, melainkan juga dunia. Bahkan dari sini, telah muncul setidaknya dua golongan.

Pertama, yang menganggap khilafah sebagai sistem baku dalam Islam dan seluruh umat Islam wajib mendirikan khilafah di atas manhâj an-nubuwwah atau yang disebut sebagai Dawlah Islâmiyyah (Negara Islam). Kelompok ini tidak hanya meyakini penegakan khilafah, namun juga berkewajiban mengangkat seorang khalifah sebagai pemimpin tunggal umat Islam di dalam sistem khilafah tadi.

Apa yang mereka yakini dan lakukan itu, didapuk sebagai realisasi pemahaman yang kaffah terhadap Alquran dan hadis. Jika konsep tersebut dikontekstualisasikan di Indonesia, maka sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia saat ini tidak “islami” (dawlah kafiriyah). Maka, harus diganti dengan sistem yang “islami”. Kira-kira begitu arah pikiran dan gerakan kelompok ini.

Kedua, golongan yang menganggap bahwa sistem khilafah bukan sistem yang baku dalam Islam, dan umat Islam boleh menerapkan sistem selain khilafah—yang dimaksudkan khilafah di sini adalah sebagaimana pemahaman kelompok pertama. Kelompok ini memiliki pemikiran yang lebih luwes-kontekstual. Sehingga, sistem Indonesia saat ini sudah Islami, karena nilai-nilainya secara subtansial didasarkan pada ruh ajaran Islam itu sendiri.

Sementara alasan yang kedua lebih bersifat pribadi. Bahwa saat ini penulis sedang mengerjakan tesis, dengan tema tentang tafsir sektarian; studi kasus Tafsir Ayat-ayat Pilihan Al-Wa’ie karya Rokhmat S. Labib. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa, Al-Wa’ie adalah media dakwah dan politik milik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Di dalam tafsir tersebut, telah diulas secara panjang lebar mengenai khilâfah dengan segala unsur yang terkait.

Dalam penelitian tersebut, penulis akan menguliti konsep khilafah yang diusung oleh HTI. Sehingga uraian ini di Jalan Damai ini saya anggap sebagai pelecut munculnya kajian-kajian ilmiah dalam rangka menyibak kepentingan-kepentingan tertentu di balik penafsiran ayat-ayat Alquran, khususnya yang berkaitan dengan tema khilafah. Harapannya, agar masyarakat tidak terkecoh.

Khilafah: Pragmatisme Politik

Imam Al-Qurtubi menjelaskan kata khalîfah mengandung makna fâ’il, yang berarti orang yang mengganti orang sebelumnya di bumi. Dalam konteks Al-Baqarah ayat 30, dapat dipahami bahwa yang dimaksud mengganti orang sebelumnya adalah malaikat atau orang sebelumnya daripada selain malaikat. Kemudian khalîfah ketika menjadi maf’ul, berarti digantikan.

Baca Juga :Manusia, Khalifah Penjaga Kelestarian Alam

Itulah makna dasarnya. Seluruh ulama sepakat bahwa makna dasar khalifah ada mengganti atau pengganti. Diskursus kemudian beralih pada term khilâfah, yang merujuk pada tatanan politik dalam Islam di masa-masa generasi awal Islam. Dalam tataran pemahaman ini, ulama berselisih pendapat tentang definisi khilafah itu sendiri hingga konsep serta kewajiban untuk mendirikan atau memilih sistem lain. Bahkan diskusi terkait tema khilafah ini sampai menyentuh terma lain seperti syûra; apakah ia bagian demokrasi atau justru bertentangan.

Hizbut Tahrir, organisasi transnasional, memiliki pemahaman dan gerakan tersendiri terhadap konsep khilafah dan kewajibannya menegakkan serta menolak bahwa syûrâ bukan demokrasi (Baca; Tafsir Ayat-ayat Pilihan Al-Wa’ie, 2013: 589). Lebih lanjut lagi, menurut keyakinan HTI, hukum Islam mustahil untuk bisa diterapkan dengan sempurna, kecuali dengan adanya khilafah dan seorang khalifah (pemimpin yang diangkat melalui baiat untuk didengar dan ditaati oleh semua rakyat atas dasar Alquran dan As-Sunnah. Selain itu, mereka juga berkoar-koar bahwa hanya sistem khilafah yang mampu mengeluarkan umat Islam dari keterpurukan, kemiskinan dan sejenisnya (Lihat buku pedoman HTI: Ajhizah al-Daulah al-Khilafah).

Namun, sebagaimana diungkapkan oleh M Sulton Fatoni dalam Catatan untuk Felix Siaw (2018), bahwa terminologi khilafah sudah jauh dipolitisir sehingga lepas dari gagasan dasar penggagas utamanya, yakni Taqiyuddin An-Nabhani. Perlu diketahui bersama bahwa, menurut Taqiyuddin, khilafah mencakup negara yang memiliki pemimpin, udang-undang, dan sistem yang memberi kebebasan umat Islam untuk menjalankan agamanya. Namun, ditangan pemuja khilafah, justru konsep khilafah, dijadikan sebagai jalan untuk memenuhi pragmatisme politik, yakni menggulingkan pemerintahan yang sah, dengan dalih menggantinya dengan sistem yang lebih solutif, yakni khilafah Islamiyah.

Miskonsepsi Khilafah

Di Kalangan ulama mujtahid, mayoritas konsep khilafah disepakati bukan merupakan sistem pemerintahan berdasarkan syariat (formalisasi), tapi sekedar ketentuan dalam bidang politik yang bisa dibentuk berdasarkan kesepakatan sesuai dengan kebutuhan sosio-kultural masing-masing negara. Maka jelas sekali, ulama dan ilmuan sepakat bahwa khilafah merupakan salah satu dari konsep politik di kalangan umat Islam.

Entah karena tidak mau berpikir logis dan menerima kenyataan atau bagaimana, para pendukung khilafah selalu mengelak akan fakta bahwa khilafah bukan sistem baku dalam Islam. Namun lagi-lagi mereka ngotot, sembari berdalih bahwa khilafah adalah satu-satunya sistem terbaik dalam Islam, dan kejayaan Islam terwujud ketika menerapkan sistem ini, maka menjadi kewajiban umat Islam untuk menegakkannya.

Dalam tataran tersebut, penulis hendak menyibak; betapa para pemuja khilafah tersebut telah terlalu jauh menikmati adanya miskonsepsi tentang khilafah, sehingga menjadikan mereka lupa akan segalanya.

Terkait dengan adanya miskonsepsi ini, Mohammad Nasih (209) membeberkan beberapa mis tersebut: pertama, empat khalifah paling awal disebut dengan sebutan berbeda-beda.

Hal tersebut terkonfirmasi pada saat Abu Bakar ra. menjadi pemimpin menggantikan Rasulullah, ada salah seorang sahabat yang menyebutnya dengan sebutan “khalîfatullâh”. Namun, Abu Bakar menolak sebutan itu dan menegaskan bahwa dirinya bukanlah pengganti Allah, melainkan pengganti Nabi Muhammad saw.. Kisah ini disampaikan oleh Ibnu Mulaikah, bahwa seseorang berkata kepada Abu Bakar: “Wahai khalifah Allah”. Abu Bakar langsung bereaksi dengan mengatakan: “Saya adalah khalifah Muhammad saw., dan saya suka dengan itu.”

Demikian pula dengan Umar Bin Khaththab. Bahkan ia sampai menghardik orang yang memangginya dengan sebutan khalîfatullâh. Umar berkata:

“Kamu ini bagaimana? Kamu telah melakukan tindakan berlebihan. Ibuku menamaiku dengan Umar. Jika kamu memanggilku dengan nama ini, aku akan menerimanya. Setelah aku besar, aku diberi kunyah (sebutan) Abu Hafsh. Jika kamu memanggilku dengan kunyah ini, aku bisa menerimanya. Kemudian kalian mengangkatku sebagai pemimpin, lalu kalian memanggilku amir al-mu’minin. Jika kamu memanggilku dengan panggilan ini, itu sudah cukup bagimu.” (al-Adzkâr, hal. 361).

Kedua, mekanisme pengangkatan empat khalifah pertama. Sejarah mencatat bahwa mekanisme pengangkatan empat Khalifah pertama ditempuh dengan cara berbeda-beda. Abu Bakar misalnya, disebut sebagai pemimpin yang dipilih melalui mekanisme syura.

Ketiga, menganggap bahwa terakhir umat islam menerapkan sistem khilafah terjadi pada saat Daulah Utsmaniyaah pada tahun 1924. Padahal kita tahu bahwa daulah Utsmaniyaah dan juga daulah Abbasiyah, menerapkan sistem kerajaan, bikan khilafâh.

Selain itu, fakta sejarah juga menyebutkan bahwa belum ada, jika tak mau disebut tidak akan pernah ada, contoh penerapan sistem khilafah sebagaimana yang dikonsepsikan oleh HTI dan semacamnya. Pada saat berdirinya ke-Khalifahan Turki Utsmani misalnya, dibelahan dunia lain, sebut saja Maroko, ada ke-Khalifahan lainnya. Bahkan Jamaluddin al-Afghani pun yang memliki gerakan Pan-Islamisme, pun gagal. Maka, mendirikan khilafah di era sekarang merupakan sebuah utopia.

Mengakhiri uraian ini, penulis hendak mengetengahkan dan menegaskan bahwa mari beranjak dari memperbincangkan khilafah sebagai ideologi yang ternyata merupakan sebuah utopis ke manusia sebagai khalifah. Allah menugaskan manusia menjadi khalifah di muka bumi, sebagaimana termaktub dalam Alquran, adalah untuk memelihara bumi, menebar perdamaian, menjadi ujung tombak persatuan, dan mencegah kerusakan bumi.

Facebook Comments