Demokrasi, UU ITE dan Urgensi Membumikan Kritik Santun

Demokrasi, UU ITE dan Urgensi Membumikan Kritik Santun

- in Narasi
1415
0
Demokrasi, UU ITE dan Urgensi Membumikan Kritik Santun

Beberapa waktu yang lalu, Presiden Jokowi meminta masyarakat Indonesia untuk lebih aktif mengkritik kinerja pemerintah. Hal ini sebagai bentuk aktualisasi kebebasan berpendapat serta sebagai upaya untuk menguatkan sendi demokrasi di Indonesia. Karena berdasarkan laporan dari Economist Intelligence Unit, dari 180 negara yang disurvei, posisi Indonesia anjlok 17 peringkat dari rangking ke-85 (2019) ke posisi 102 (2020), jauh tertinggal dari negara maju lainnya seperti Norwegia, 9.81 dan Islandia ,9.37.

Era demokrasi meniscayakan kritik, namun kritik yang harus dilontarkan sejatinya kritik yang santun dan konstruktif. Kritik adalah realitas faktual yang berkelindan dengan demokrasi. Tanpa kritik, demokrasi akan pincang karena dalam aral demokrasi meniscayakan check and balance. Berbagai kritik muncul biasanya digaungkan oleh berbagai kalangan melalui platform media sosial. Media sosial menjadi jembatan komunikasi antara masyarakat dan Pemerintah.

Namun yang cukup disesalkan, cukup banyak dari kalangan masyarakat malah bukan menyampaikan kritik, namun menggelembungkan nyinyiran bahkan berita bohong (hoaks) terkait dengan kinerja pemerintah dan regulasi pelayanan publiknya di media sosial. Maka dari itu, kritik, nyinyir, dan penyebaran hoaks ini kemudian diawasi oleh regulasi hukum melalui UU ITE.

Berkenaan dengan hal itu, UU ITE dalam perjalanannya sebagai bagian dari landasan hukum di ranah media mengalami pro kontra. UU ITE dianggap sebagai senjata pemerintah untuk menumpas para pengkritiknya, dan dalam UU ITE sendiri tidak ada perlindungan hukum bagi masyarakat yang mengemukakan pendapatnya, artinya kritik hanya wacana belaka, karena jika seseorang mengkritik pemerintah, maka akan dijerat dengan UU ITE.

Hal ini bukan didasarkan pada laporan dari kontraS bahwa hingga bulan Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. Lalu dari 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan obyek kritik Polri, dan 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Mereka diproses dengan penggunaan surat telegram Polri maupun UU ini.

Menurut beberapa pengamat, sebelum pemerintah menghimbau masyarakat untuk mengkritik kinerjanya, alangkah baiknya pemerintah merevisi terlebih dahulu UU ITE yang telah menjadi bom rudal pemerintah selama ini. Padahal pada dasarnya, UU ITE sendiri memiliki semangat untuk menjaga ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika dan produktif.

Terlepas dari itu semua, jika dalam praktiknya UU ITE banyak disalahgunakan oleh oknum pemerintah dan masih multitafsir dalam aktualisasinya, maka merevisi UU tersebut harus segera dilakukan. Mengingat hal ini akan menjadi hantu bagi masyarakat yang ingin mengkritik pemerintah, namun takut dengan UU tersebut yang akhirnya mengurungkan niat untuk menyampaikan kritikannya.

Membumikan Kritik Santun

Sebagai masyarakat Indonesia, mengkritik pemerintah harus dengan proyeksi yang santun dan beradab, sesuai dengan realitas budaya Nusantara yang menjunjung tinggi etika dan moralitas. Kritik sejatinya harus konstruktif, bukan provokatif.

Pada dasarnya, dalam Islam kritik itu termasuk dalam ajaran amar makruf nahi mungkar (QS Ali-Imran: 110). Menurut Mochammad Hisyam (2020), Islam sendiri mengatur tentang etika dalam menyampaikan kritikan. Pertama, memberi kritikan dengan ikhlas. Kita tidak boleh melancarkan kritik dengan tujuan menonjolkan diri, termotivasi oleh hasad (kedengkian) atau berbagai tendensi tertentu.

Kedua, mengkritik harus disertai dengan ilmu. Artinya, kritikan yang disampaikannya benar-benar didasari dengan penguasaan ilmu yang mumpuni. Kita tidak boleh mengritik tanpa wawasan keilmuan. Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Fatawa mengatakan, “Hendaknya setiap orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar adalah seorang yang alim terhadap apa yang dia perintahkan dan dia larang.”

Ketiga, sampaikan kritikan dengan kelembutan dan kesantunan. Bersikap lembut dan santun adalah hukum asal dalam mengritik, apalagi bila pihak yang dikritik merupakan seorang tokoh yang memiliki pengikut atau memiliki peluang besar untuk rujuk kepada kebenaran. Karena pada dasarnya, kelembutan dan kesantunan akan memudahkan setiap perkara.

Akhiran, mengkritik itu diperbolehkan, bahkan sangat dianjurkan. Kritik menjadi media penyeimbang pemerintah dalam melaksanakan tugasnya, sehingga kinerja yang belum maksimal bisa diatasi dengan baik. Kritik haruslah disertai dengan maksud untuk memberikan solusi, bukan malah menambah masalah baru, yang pada gilirannya menyebabkan kegaduhan di tengah masyarakat. Naudzubillah.

Facebook Comments