Sekadar menjadi tukang kritik itu mudah. Namun, menjadi pengkritik cerdas dan beradab itu sulit. Di era demokrasi digital seperti saat ini, nyaris semua orang bisa menjadi opinion maker dan kritikus di semua bidang. Semua isu mulai isu sosial, ekonomi, politik, hukum, agama dan sejenisnya bisa ditanggapi secara real time. Tidak perlu menulis di media massa dengan segala kerumitan redaksionalnya. Bermodal akun medsos dan kuota internet, nyaris semua orang bisa menjadi pakar dan kritikus “palugada” alias apa yang lu mau gua ada.
Namun, di tengah euforia ruang publik digital yang memberikan kesempatan seluas mungkin bagi semua orang untuk menyuarakan aspirasinya, kita justru kesulitan menemukan kritik dan yang layak dan opini yang layak didengarkan. Sebagian besar kritik dan opini yang beredar di medsos saat ini lebih mirip seperti kumpulan buih tanpa isi. Tom Nichols dalam buku berjudul The Death of Expertise telahmenjelaskan fenomena menjamurnya pakar dan kritikus dadakan di medsos yang justru menggeser otoritas pakar yang sebenarnya. Di medsos orang-orang yang tidak memiliki kompetensi dan otoritas keilmuan justru kerapkali lebih produktif memproduksi opini dan melontarkan kritik ketimbang mereka yang memiliki kompetensi dan otoritas.
Fenomena ini bisa dibaca dari dua sudut pandang. Pertama, ada kecenderungan para ahli yang otoritatif tidak tertarik beropini atau menyampaikan kritiknya di media sosial, alih-alih melakukan publikasi di jurnal akademik atau menulis buku. Kedua, kenyataan bahwa media sosial memang telah dikuasai oleh kelompok awam yang mendaku diri sebagai pakar merangkap tukang kritik palugada. Konsekuensi dari kondisi ini ialah riuhnya panggung demokrasi digital kita oleh kegaduhan dan kontroversi yang seolah tiada akhir.
Kegaduhan dan kontroversi itu umumnya berakar dari lontaran kritik terhadap pemerintah yang hanya didasarkan pada asumsi dan opini tanpa validitas fakta dan data. Apalagi kritik itu kental dengan nuansa sentimen kebencian dan provokasi yang alih-alih mencerahkan justru meresahkan publik. Demokrasi digital yang digadang mampu membawa kehidupan manusia selangkah lebih maju lantas terjebak pada banjir opini dan semburan kritik yang nyaris tidak memberikan tawaran atau sekadar perspektif baru dalam melihat persoalan kebangsaan.
Kritik Berbasis Kebencian Mendelegitimasi Negara
Di Twitter misalnya, nyaris saban hari kita temukan tagar yang secara eksplisit menyerang pemerintah. Jika diamati, para pengusung tagar ini ialah akun anonim dan akun bot yang memang memiliki agenda untuk menebar kebencian dan provokasi perpecahan. Ribuan akun anonim dan akun bot itu dikendalikan oleh kekuatan tertentu untuk mendelegitimasi pemerintah. Kritik dan opini yang mereka suarakan bukalah bagian dari upaya merawat demokrasi. Sebaliknya, apa yang mereka suarakan lebih sering justru menimbulkan kegaduhan dan kontroversi. Hal ini jelas tidak sehat bagi iklim demokrasi kita.
Sistem demokrasi membutuhkan partisipasi publik dalam menyampaikan kritik dan masukan pada pemerintah. Dalam sistem demokrasi, masyarakat merupakan pilar penting dalam mekanisme check and balance. Apalagi dalam konteks demokrasi Indonesia yang secara prosedural tidak mengenal istilah oposisi. Kritik publik dengan demikian, merupakan stimulus demokrasi dan suplemen penting dalam mewujudkan good governance. Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kritik dan opini yang mampu menjadi stimulus dan suplemen demokratisasi ialah kritik dan opini yang berbasis fakta dan data, ditopang rasionalitas dan argumentasi, serta menawarkan solusi atau cara pandang baru atas sebuah persoalan.
Sebaliknya, kritik yang didasari sentimen kebencian, dikemas melalui propaganda dan provokasi serta nirsolusi akan menjadi virus jahat bagi demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, konsolidasi demokrasi di era disrupsi digital ini kiranya harus dibarengi dengan membangun budaya kritik santun. Tanpa budaya kritik yang mengedepankan kesantunan, demokrasi kita akan berjalan ke arah yang berlawanan dengan spirit Pancasila yang menjunjung tinggi konsep musyawarah, perwakilan dan permufakatan. Tiga kata itulah yang idealnya menjadi unsur penting demokrasi di era disrupsi digital seperti sekarang ini.
Musyawarah bermakna bahwa setiap persoalan hendaknya diselesaikan dengan mengedepankan nalar diskursif sehingga kepentingan semua pihak bisa terakomodasi ke dalam satu konsensus. Perwakilan bermakna bahwa tidak setiap individu harus menyuarakan aspirasinya, melainkan cukup diwakilkan oleh pihak yang otoritatif untuk memproduksi opini dan kritik. Mekanisme perwakilan ini akan meminimalisasi kegaduhan dan kontroversi di ruang publik yang diakibatkan oleh banjir opini dan kritik. Sedangkan permufakatan merupakan bentuk sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan transformasi sosial dan politik yang bertumpu pada asas kesejahteraan dan keadilan. Dalam asas permufakatan, pemerintah dan masyarakat idealnya memiliki visi dan misi yang sama serta saling mendukung dalam mewujudkannya.
Revitalisasi Masyarakat Madani
Selain membudayakan kritik santun dan beradab, tantangan terberat demokrasi di era digital ialah membersihkan para penumpang gelap (free rider) yang membonceng kebebasan ruang publik untuk tujuan-tujuan pragmatis yang mengancam keutuhan bangsa. Para pendompleng demokrasi inilah yang selama ini menjadi benalu bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita belakangan ini. Mereka membajak ruang publik dengan mengumbar nyinyiran dan sinisme yang diklaim sebagai kritik.
Di titik inilah pentingya kita merevitalisasi gagasan masyarakat madani yang belakangan sempat meredup gaungnya. Masyarakat madani merupakan tafsiran dari gerakan civil society yang berkembang di Barat (AS dan Eropa) serta mengambil inspirasi dari kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi Muhammad. Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani secara definitif merupakan masyarakat ideal yang mengandung dua komponen utama yakni masyarakat yang berpendidikan dan beradab. Dalam konteks Indonesia kontemporer, keberadaan masyarakat madani penting sebagai mitra-kritis pemerintah. Menurut Madjid, masyarakat madani ditopang oleh tiga unsur pokok.
Pertama, independensi alias non-partisan yakni bahwa masyarakat madani merupakan represetasi warganegara sipil yang tidak berafiliasi dengan kekuatan politik praktis. Kedua, kesukarelaan (voluntary) yakni bahwa gerakan masyarakat madani murni dilandasi oleh kesadaran, bukan paksaan dari pihak mana pun. Ketiga, keswasembadaan (self–sufficiency) yakni bahwa gerakan masyarakat madani benar-benar dimotori oleh masyarakat dan tidak tergantung pada kekuatan lain, termasuk dalam hal pembiayaan dan sejenisnya. Arkian, membudayakan kritik santun serta merevitalisasi masyarakat madani kiranya menjadi jawaban atas sengkarut persoalan demokrasi yang belakangan ini mencuat.