Radikalisme masih terjadi. Gerakannya yang laten, tidak mudah dihentikan begitu saja. Kerja keras dan kerja cerdas deradikalisasi harus terus digalakkan tanpa henti, baik oleh pemerintah melalui BNPT, lembaga sosial-kemasyarakatan, maupun tokoh-tokoh agama.
Deradikalisasi atau upaya pelemahan tindak radikalisme baik secara ideologis maupun praksis, sesungguhnya telah gencar dilakukan. Aneka kegiatan untuk narapidana teroris maupun kelompok potensi paparan radikalisme, terutama kalangan muda, juga tak henti digeliatkan.
Namun tentunya, agenda-agenda deradikalisasi itu perlu dievaluasi secara bertahap dan berkala, dioptimalkan sistem kerjanya dan dikawal serius oleh semua komponen bangsa, hingga berjalan semestinya dan membuahkan hasil, dan tidak menjadi – dalam bahasa Hendardi dari Setara Institute – mantra yang tumpul.
Sesungguhnya, aneka gerakan radikal, baik yang bersifat keagamaan, sosial-kemasyarakatan, maupun pidana, telah terjadi sepanjang zaman. Hanya saja, barangkali frekuensi, bentuk dan bobotnya kini kian beragam, seiring pergolakan politik dan ekonomi dunia yang terus menuju ketimpangan.
Karena itu, ada baiknya kita menengok sejenak ke belakang dan merenungi program deradikalisasi Rasulullah Saw 14 abad silam. Beliau juga menghadapi tantangan dan tentangan gerakan radikal, baik skala kelompok maupun individu. Banyak di antara pelakunya yang berhasil dijinakkan olehnya tanpa tetesan darah, kendati dalam beberapa kasus terjadi peperangan dahsyat untuk membela diri (defensive).
Dikisahkan, Tsumamah bin Itsal, lelaki asal Yamamah, suatu ketika pergi ke Madinah. Membunuh Rasulullah Saw menjadi misi besarnya. Persenjataan telah disiapkan dengan matang. Menangkap gelagat lelaki asing yang mencurigakan, insting Umar bin al-Khaththab mencium ada yang tidak beres. Tsumamah dihadangnya. “Apa tujuanmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?” tanyanya menyelidik.
“Aku ke sini untuk membunuh Muhammad!” jawabnya menantang.
Lelaki pemberani itu begitu membenci putera Abdullah dan Aminah. Penyebaran ajaran Islam menjadi akar kebenciannya yang memuncak. Tak heran, keinginannya membunuh Rasulullah Saw begitu besar. Menjadi cita-cita hidupnya yang tak mudah dipadamkan. Keberhasilan membunuhnya dinilai sebagai kebaikan puncak.
Tak ingin kecolongan, Umar langsung meringkusnya. Kalah perkasa, Tsumamah tak berkutik dan tak kuasa melepaskan pitingan Singa Padang Pasir. Tangannya diikat. Senjatanya dilucuti. Umar melaporkannya pada Rasulullah Saw.
Oleh Rasulullah Saw, dipandangnya wajah lelaki Yamamah yang mengancam nyawanya itu dengan seksama. Tidak terlihat kebencian sedikitpun di wajahnya yang ramah. Tidak ada bentakan dari mulutnya. Juga tidak ada kekerasan dari tangan atau kakinya. Juga tidak ada instruksi pada sahabat-sahabat untuk mengeksekusinya.
“Apakah kalian sudah memberinya makan?” tanyanya pada para sahabatnya.
Pertanyaan yang ganjil. Di tengah ancaman kematian, Rasulullah Saw justru menanya soal makan. Pertanyaan yang tidak dimafhum para sahabatnya. Padahal, Umar menunggu perintah eksekusi untuk memancung lehernya.
“Makanan apa wahai Rasulullah Saw? Dia datang ingin membunuhmu, bukan ingin masuk Islam!” sergah Umar.
“Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku dan buka tali pengikatnya,” pinta Rasulullah Saw.
“Ucapkanlah la ilaha illa Allah,” ajak Rasulullah pada lelaki Yamamah.
“Aku tidak sudi mengucapkannya!” ketusnya.
“Katakanlah, Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad utusan Allah,” ajak Rasulullah penuh kelembutan.
“Aku tidak akan mengucapkannya!” tegasnya lagi.
Yang menyaksikan geram. Begitu jengkelnya mereka mendengar jawaban-jawaban ketus itu. Uniknya, dan ini yang membuat sahabat tidak habis pikir, Rasulullah Saw justru melepaskannya dan memintanya segera meninggalkan Madinah. Tsumamah bangkit. Baru beberapa langkah meninggalkan masjid, ia bersuara: “Wahai Rasulullah, aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.”
Semua kaget. Rasulullah Saw tersenyum. “Mengapa engkau baru mengucapkannya?’ tanyanya.
“Ketika belum engkau bebaskan, aku tidak mengucapkannya, khawatir dianggap aku masuk Islam karena takut padamu. Setelah engkau bebaskan, aku mengucapkannya semata-mata karena mengharap ridha-Nya,” jawabnya menggetarkan batin.
Inilah rahasia permintaan makan oleh Rasulullah Saw, yang tidak dimengerti para sahabatnya. Andaikan pembencinya dibunuh seketika itu, maka kematiannya tetap dalam kemusyrikan. Hatinya tetap menyimpan kebencian dan dendam. Dengan memberinya pemaafan dan kasih sayang, kebaikan justru merasuk dalam dirinya. Dengan suka rela, ia memasrahkan dirinya pada ajaran kebaikan. Inilah dakwah dengan kesantunan yang diajarkan Rasulllah Saw.
“Ketika memasuki Madinah, tidak ada yang lebih aku benci selain Muhammad. Setelah meninggalkan Madinah, tidak ada yang lebih aku cintai selain Muhammad Saw,” katanya.
Itulah deradikalisasi yang dilakukan Rasulullah Saw. Beberapa makna penting kiranya patut direnungkan. Pertama, beliau memposisikan pengancamnya bak sahabatnya sendiri; dirangkul, dimanusiakan dan dihormati. Pelakunya akan merasa dihargai sebagai manusia, bukan sebagai binatang atau musuh. Perhatian lembut inilah yang meluluhkan hati yang keras. Dan inilah sejatinya ajaran kelembutan yang dititahkan Allah Swt dalam Qs. Ali Imran [3]: 159.
Kedua, beliau tidak serta-merta mengeksekusi pengancamnya secara sadis, kendati kesempatan itu terbuka lebar. Keluarga, masyarakat dan keberlangsungan keturunannya (hifdh al-nasl), dipertimbangkan dengan matang. Beliau ingin pengancamnya berubah positif tanpa harus meregang nyawa. Penghargaan pada nyawa (hifdh al-nafs) ini sangat diperhatikannya.
Ketiga, beliau melihat, kegarangan yang ditampakkan pengancamnya dilatari kelemahan fisik dan mentalnya. Akalnya tidak digunakan semestinya, karena tertutupi persoalan perutnya. Tak heran, ketika Umar menunggu instruksi untuk memancung lehernya, Rasulullah Saw justru memintanya memberi makanan. Beliau ingin memastikan, perut pengancamnya dalam keadaan kenyang, sehingga akalnya tidak terganggu.
Jika urusan perutnya selesai, maka diyakini urusan yang lain juga selesai, termasuk tindak kekerasannya. Ali bin Abi Thalib mengingatkan; kada al-faqru an yakuna kufran (kefakiran/kelaparan acapkali mendekatkan pada kekufuran). Dalam kondisi perut yang lapar dan ekonomi yang terhimpit, orang bisa melakukan tindakan apapun di luar normalitasnya. Inilah yang disasar dengan cerdas oleh Rasulullah Saw, sehingga musuhnya takluk dan berbalik 180 derajat.
Melihat deradikalisasi ala Nabi ini, dan melihat fakta pelaku tindak radikal yang seringkali berangkat dari kalangan ekonomi sulit, maka upaya memenuhi isi perut mereka menjadi penting. Dengan SDA yang melimpah, pemerintah harus membuka peluang kerja secara serius, termasuk dengan memperbanyak pelatihan, untuk memberikan jaminan ekonomi bagi mereka dan mengikis kemiskinan. Selain itu, potensi kekerasan mereka harus dialihkan pada kegiatan-kegiatan positif, sehingga di benaknya tidak ada lagi obsesi radikalisme.
Di sisi lain, lembaga-lembaga resmi pemerintah, lembaga masyarakat maupun tokoh-tokoh agama, tidak boleh berhenti melakukan deradikalisasi di level ideologi. Karena, dua hal itulah yang dilakukan Rasulullah Saw: deradikalisasi perut dan deradikalisasi otak.